dalam lima tahun terakhir, permohonan perlindungan dan layanan ke LPSK menunjukkan tren peningkatan signifikan
Makassar (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersama mitra kerja Komisi XIII DPR RI mengupayakan permohonan perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana di daerah bisa semakin meningkat, termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan.
Salah satu upaya yang dilakukan ialah menghadirkan berbagai kepada desa/lurah dari sejumlah kabupaten/kota di Sulsel, pejabat terkait serta sejumlah komunitas pada sosialisasi Perlindungan Saksi dan Korban di Makassar, Jumat.
Wakil Ketua LPSK Mahyudin menegaskan pentingnya perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana sebagai wujud nyata kehadiran negara yang berprespektif korban serta membantu proses hukum berjalan.
“LPSK hadir sebagai wujud kehadiran negara untuk memastikan saksi dan korban memperoleh perlindungan, rasa aman, serta akses terhadap pemulihan,” ujarnya.
Mahyudin mengungkapkan dalam lima tahun terakhir, permohonan perlindungan dan layanan ke LPSK menunjukkan tren peningkatan signifikan.
Jenis tindak pidana dengan jumlah permohonan tertinggi saat ini adalah tindak pidana pencucian uang dengan lebih dari 6.500 permohonan, disusul kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 2.495 permohonan, dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). berat sebanyak 2.448 permohonan.
Khusus di Provinsi Sulawesi Selatan, sepanjang Januari hingga Oktober 2025 tercatat 173 permohonan perlindungan, dengan jumlah terbanyak berasal dari kasus kekerasan seksual terhadap anak 61 permohonan, pencucian uang (48 permohonan), tindak pidana lainnya yang mengancam jiwa (26), kekerasan seksual (19), perdagangan orang (9), penganiayaan berat (6), terorisme (2), korupsi (1) dan narkotika (1).
Dari jumlah tersebut, terdapat 145 orang terlindung, yang mana 83 orang diantaranya merupakan korban kekerasan seksual terhadap anak.
Kota Makassar menjadi wilayah dengan jumlah pemohon terbanyak yakni 55 pemohon, Tana Toraja (13 pemohon), Gowa (12), Takalar (9), Bone (8), Jeneponto (7) dan lainnya.
Dalam paparannya, Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati mengatakan kesadaran masyarakat Sulawesi Selatan terhadap pentingnya perlindungan saksi dan korban sudah cukup tinggi. Hanya saja, pemahaman terkait peran, fungsi, dan kewenangan LPSK masih perlu diperluas.
“Harapan kami, para peserta tidak hanya memperoleh pemahaman, tetapi juga menjadi bagian dari jejaring yang aktif memperkuat perlindungan saksi dan korban di wilayah masing-masing, sinergi adalah kunci,” urainya.
Anggota Komisi XIII DPR RI Meity Rahmatia sebagai mitra LPSK dalam penjelasannya menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengakses layanan perlindungan LPSK.
Data menunjukkan, permohonan perlindungan dari wilayah Indonesia Timur termasuk Sulsel masih di bawah 10 persen dari total nasional. Hal ini menandakan masih adanya kesenjangan besar antara kebutuhan perlindungan dan akses terhadap layanan negara.
Dia mengungkapkan hasil pengawasan DPR menunjukkan penyebab kesenjangan itu karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang mekanisme pengajuan perlindungan LPSK, keterbatasan sumber daya dan jangkauan lembaga di daerah, lemahnya koordinasi antarpenegak hukum, serta masih kuatnya stigma dan ketakutan korban, terutama dalam kasus kekerasan seksual dan perdagangan orang
"Kami juga memperjuangkan penguatan kelembagaan dan anggaran LPSK agar layanan perlindungan bisa menjangkau hingga ke pelosok daerah,” ujar dia.
Sebagai bagian dari Komisi XIII DPR RI, Meity menyampaikan bahwa pihaknya terus mendorong efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta percepatan pembahasan RUU Perubahan Kedua yang kini telah mencapai tahap akhir.







