TRIBUNJATIM.COM - Kisah Adi Prasetyo (34) yang menikahi janda sembilan anak, Ida Hayati (63), menarik perhatian publik.
Banyak yang menuding jika ia menikahi Ida Hayati yang terpaut 29 tahun tersebut karena mengincar hartanya.
Namun, ia menegaskan tidak memandang harta dan mengatakan pernikahannya murni karena cinta.
Kini pernikahan mereka telah berjalan selama 1,5 tahun.
Ida Hayati memiliki sembilan anak dan yang paling tua berusia 45 tahun.
Usia anak pertama Ida lebih tua dari Adi Prasetyo.
Kata Adi Prasetyo, dia menikahi sang janda karena memang terpesona dengan wajah dan perilaku Ida Hayati.
Hal ini terungkap saat Adi Prasetyo dan istrinya, Ida Hayati, hadir dalam podcast Melaney Ricardo yang tayang pada Rabu (22/10/2025).
Di sana, Adi Prasetyo mengungkap alasannya menikahi Ida Hayati.
"Sifatnya dia perhatiannya lebih, kasih sayangnya lebih," katanya, dikutip dari Tribun Bengkulu.
"Kalau harta saya enggak mandang, ngobrol nyambung, kemana-mana seru berdua," imbuh dia.
Adi Prasetyo bercerita awal perkenalannya dengan Ida Hayati terjadi melalui media sosial.
Kala itu, Adi Prasetyo mengenal Ida Hayati melalui Facebook lalu berusaha mengajaknya bertemu.
Ia yang pertama kali mengirimkan pesan ke Ida Hayati.
"Saya dulu yang ngechat duluan. Hai, boleh kenalan enggak, gitu," ungkap Adi Prasetyo.
Ketika Adi mengajak bertemu itu, Ida ternyata sedang sakit.
"Aku lagi di rumah sakit, kalau mau datang bawa makanan," tantang Ida saat itu.
Siapa sangka, Adi benar-benar melakukan tantangannya tersebut.
Tiba-tiba saja Adi sudah berada di rumah sakit untuk menemui Ida.
Awalnya Ida ragu dengan niat Adi dan merasa Adi tidak serius.
Namun, sangkaan Ida ternyata salah.
Semenjak pertemuan pertama, Adi tak berhenti mendekati Ida.
"Saya kan dulu pernah pacaran juga sama yang seumuran, cuma enggak tahan lama."
"Akhirnya ya udah saya berhenti nyari cewek dan fokus ibadah. Sambil berjalan lihat dia di Facebook, kayaknya lucu dan seru orangnya," ucap Adi.
Ketika menikah dengan Adi, Ida adalah janda dengan sembilan anak.
Anak-anak Ida sudah beranjak dewasa, bahkan anak pertama berusia 45 tahun yang berarti lebih tua dibanding Adi.
Meski begitu, Adi tetap bertanggung jawab berusaha memberi nafkah pada istrinya.
Sebelum menikah, Adi sempat bekerja sebagai driver ojek online, namun kini ia juga punya pekerjaan lain.
"Tapi hari-hari suami (Adi) masih nge-Grab?" tanya Melaney Ricardo.
"Masih, sekarang juga lagi di pabrik. Paling kalau misalkan ojek itu pas pulang, sekalian arah balik. Tapi sekarang kerja jadi pegawai pabrik," ungkap Adi.
Sementara itu, Ida sang istri bekerja di dunia entertainment.
Ida rupanya kerap ikut syuting film atau iklan.
"Ibu emang main layar lebar?" tanya Melaney.
"Iya ada syuting, jadi apa aja misalnya iklan gitu. Kalau pas rezeki ya ada," ungkap Ida.
Namun, sekarang ia lebih membatasi aktivitas dengan hanya ikut kegiatan lenong saja.
"Tapi sekarang suka jauh-jauh, enggak ada yang anter juga kalau misal suami kerja, jadi enggak ngambil syuting."
"Sekarang khusus lenong aja, nanti ke Solo tanggal 14 bulan depan," ungkap Ida.
Ida mengaku sebenarnya sempat menolak keinginan Adi untuk melangkah lebih jauh.
Penolakan tersebut bahkan terjadi sebanyak dua kali.
Anehnya, setiap kali dirinya menolak, Adi selalu mengalami kejadian buruk.
"Udah dua kali (menolak), yang pertama marah, dia pulang dengan emosi, hapenya ilang. Kedua, dia tabrakan. Jadi (saya) merasa bersalah," ujar Ida.
Selama 1,5 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Adi mengaku rasakan banyak hal bersama Ida.
"Nano-nano, banyak ya yang kita rasain, suka dukanya, senengnya, suka bercanda," kata Adi.
Psikolog Danti Wulan Manunggal dari Ibunda.id menegaskan, bahwa kunci utama pernikahan langgeng bukan usia, melainkan kedewasaan emosional dan kejelasan tujuan hidup.
"Tanpa keduanya, pasangan akan kesulitan menghadapi konflik dan tantangan yang pasti ada dalam pernikahan," ujarnya saat dimintai pandangan Kompas.com, Senin (22/9/2025).
Kedua aspek ini, kata dia, berfungsi sebagai fondasi hubungan yang sehat dan stabil. Dengan kata lain, tanpa keduanya, pasangan bisa jadi akan kesulitan menghadapi konflik dan tantangan dalam pernikahan.
Menurut Danti, tidak ada usia universal yang ideal untuk menikah. Yang lebih penting adalah kesiapan psikologis, yang meliputi:
"Bisa saja seseorang di usia 30-an belum siap, sementara yang menikah di akhir 20-an sudah punya fondasi matang," jelasnya.
Perbedaan pengalaman hidup: akhir 20-an vs awal 30-an
Menurut Danti, menikah di akhir usia 20-an biasanya masih sarat eksplorasi diri dan karier. Pernikahan pada fase ini kerap dilandasi romantisme, tetapi rawan ketidakstabilan finansial dan kurangnya pengalaman.
Sementara itu, mereka yang menikah di awal 30-an umumnya lebih stabil dalam karier maupun finansial.
Mereka juga lebih realistis menghadapi tantangan rumah tangga dan memiliki tujuan hidup yang lebih jelas sehingga mudah menyelaraskan visi dengan pasangan.
Selain faktor usia, Danti menekankan ada aspek psikologis lain yang sangat berpengaruh pada keberhasilan rumah tangga, antara lain:
Risiko menikah terlalu muda atau terlalu tua
Danti mengingatkan, menikah terlalu muda berisiko pada kurangnya kedewasaan emosional dan ketidakstabilan finansial.
Identitas diri yang belum matang juga bisa menimbulkan ketidaksesuaian saat pasangan berkembang.
Sementara menikah di usia terlalu tua memang lebih matang dan stabil secara finansial, tetapi bisa menimbulkan kesulitan lain.
"Individu yang terbiasa mandiri lama mungkin kesulitan beradaptasi dengan rutinitas, nilai, dan kebiasaan pasangan. Hal ini bisa memicu friksi dan sulit kompromi," jelasnya.