Grid.ID- Dalam setiap hubungan, terutama dalam pernikahan, tantangan adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Tidak ada pasangan yang benar-benar sempurna, dan perbedaan dalam komunikasi, nilai hidup, hingga cara mengelola emosi sering kali menjadi sumber gesekan kecil sehari-hari.
Namun, ada garis tipis yang membedakan antara perilaku manusiawi dan tindakan yang sudah melewati batas hingga merusak hubungan. Banyak perempuan sering kali bertanya-tanya apakah sikap suami mereka hanya merupakan bentuk kelemahan manusiawi atau tanda bahwa mereka sedang menghadapi situasi yang tidak sehat.
Penting bagi setiap individu dalam pernikahan untuk memahami perbedaan ini agar tidak terjebak dalam hubungan yang penuh tekanan dan pelecehan. Saat pasangan menunjukkan tanda-tanda sikap kelewatan, maka langkah pertama adalah mengenali situasinya dan melindungi diri.
Dalam pernikahan, sifat manusiawi seperti kesulitan berkomunikasi, memiliki pandangan berbeda soal uang atau seks, bahkan rasa lelah akibat tanggung jawab pekerjaan adalah hal yang wajar. Seorang suami mungkin membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri atau sesekali melupakan hal-hal kecil tanpa niat menyakiti pasangannya.
Semua hal tersebut bisa diperbaiki bersama melalui komunikasi terbuka dan empati. Namun, masalah mulai muncul ketika kebiasaan ini berubah menjadi sikap mengontrol, menyakiti, atau merendahkan pasangan. Saat itu terjadi, hubungan tak lagi sehat dan bukan lagi tentang memperbaiki bersama, melainkan tentang menjaga keselamatan diri.
Sikap pasangan yang sudah melewati batas dalam pernikahan bisa dilihat dari beberapa aspek seperti fisik, seksual, emosional, dan finansial. Mengutip Marriage.com, Minggu (26/10/2025), kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, atau menahan pasangan agar tidak bisa bergerak jelas merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Sementara itu, pelecehan seksual terjadi ketika pasangan memaksa melakukan hal-hal yang tidak diinginkan atau memperlakukan pasangannya sebagai objek seks. Di sisi lain, kekerasan emosional sering kali lebih halus namun tak kalah menyakitkan seperti menghina, menyalahkan, mengisolasi dari keluarga, mengancam, atau menggunakan intimidasi dan tatapan menakutkan untuk menundukkan pasangan.
Tak jarang, bentuk penyalahgunaan dalam pernikahan juga terjadi dalam aspek keuangan. Ketika seseorang mencegah pasangannya untuk bekerja, mengendalikan penghasilan, atau membuat keputusan finansial besar tanpa berdiskusi, itu adalah bentuk kontrol yang merampas kemandirian pasangan.
Dalam jangka panjang, perilaku semacam ini bisa membuat korban kehilangan rasa percaya diri dan kebebasan dalam mengambil keputusan hidup. Parahnya, banyak korban tidak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam hubungan yang penuh tekanan hingga dampaknya terasa begitu dalam.
Kesadaran menjadi langkah awal untuk keluar dari lingkaran yang merusak ini. Tidak semua masalah dalam pernikahan dapat diselesaikan dengan komunikasi semata, terutama jika salah satu pihak terus mengulangi perilaku abusif tanpa rasa tanggung jawab.
Dalam situasi seperti ini, keselamatan dan kesejahteraan diri harus menjadi prioritas utama. Jika Anda merasa tidak lagi aman secara fisik maupun emosional, mencari bantuan melalui lembaga perlindungan kekerasan dalam rumah tangga atau konselor profesional bisa menjadi langkah yang tepat untuk menemukan jalan keluar. Karena dalam pernikahan yang sehat, cinta dan rasa hormat seharusnya selalu berjalan berdampingan.