Jual Produk Kesehatan Tanpa Izin Edar, Bisa Dipenjara 12 Tahun
Bayu Susena October 28, 2025 12:40 AM
Di era digital seperti sekarang, menjual produk secara daring terasa begitu mudah. Cukup unggah foto, beri caption menarik, dan tunggu pembeli datang. Namun, di balik kemudahan itu, ada ranjau hukum yang tak banyak disadari para pedagang kecil terutama ketika produk yang dijual berkaitan dengan kesehatan.
Salah satunya adalah jual beli produk farmasi atau alat kesehatan tanpa izin edar dari BPOM atau Kementerian Kesehatan. Perbuatan ini ternyata bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bisa berujung pada pidana penjara hingga 12 tahun dan denda Rp5 miliar.
Pasal 435 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.”
Artinya, siapa pun baik individu maupun badan usaha yang membuat, menjual, mendistribusikan, atau menawarkan produk obat, suplemen, kosmetik, atau alat kesehatan tanpa izin resmi dari BPOM/Kemenkes dapat dijerat pidana berat.
Agar seseorang dapat dipidana berdasarkan Pasal 435, aparat penegak hukum harus membuktikan beberapa unsur berikut:
Setiap orang berarti bisa individu atau badan hukum.
Dengan sengaja ada niat atau kesadaran melakukan perbuatan.
Memproduksi atau mengedarkan meliputi membuat, menjual, mengimpor, atau mendistribusikan produk.
Sediaan farmasi atau alat kesehatan jenis produk yang diatur dalam UU.
Tanpa izin edar dari BPOM atau Kemenkes.
Jika semua unsur ini terpenuhi, maka pelaku dapat dijerat pasal pidana tersebut.
Banyak kasus di lapangan melibatkan pedagang kecil yang hanya menjual barang tanpa tahu soal izin edar. Misalnya, menjual jamu atau suplemen tradisional yang dibeli dari pemasok, tanpa tahu bahwa produk tersebut belum terdaftar di BPOM.
Sayangnya, dalam hukum pidana Indonesia, ketidaktahuan terhadap hukum tidak bisa dijadikan alasan pembenar. Prinsip ini dikenal sebagai ignorantia juris non excusat ketidaktahuan hukum tidak dapat dimaafkan.
Artinya, meskipun seseorang tidak tahu bahwa produk yang dijualnya melanggar hukum, ia tetap bisa dipidana jika unsur perbuatannya terbukti. Dalam hukum, ketidaktahuan dianggap sebagai kelalaian besar (ignorante legis est lata culpa).
Meski begitu, bukan berarti peluang pembelaan tertutup sama sekali. Unsur “dengan sengaja” dalam pasal ini bisa menjadi titik penting pembelaan. Jika pelaku benar-benar tidak tahu dan hanya menjadi perantara tanpa memahami bahwa produk tidak memiliki izin, maka unsur kesengajaan dapat diperdebatkan di pengadilan.
Selain itu, perlu juga dipastikan apakah produk yang dijual benar-benar termasuk kategori “sediaan farmasi” atau “alat kesehatan”. Jika ternyata produk tersebut hanya berupa makanan atau minuman biasa, maka tidak memerlukan izin edar seperti obat atau suplemen.
Jika seseorang sudah terlanjur terjerat kasus serupa, berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Kumpulkan bukti-bukti pendukung seperti bahan pembuatan jamu, izin edar bahan baku, atau faktur pembelian dari pemasok. Ini bisa menunjukkan bahwa produk tidak termasuk kategori obat/suplemen berizin khusus.
Sampaikan penjelasan kepada penyidik atau jaksa bahwa tidak ada niat jahat atau kesengajaan dalam menjual produk tersebut.
Minta bantuan hukum dari lembaga bantuan hukum.
Kasus seperti ini menjadi pengingat penting bagi para pelaku usaha, terutama yang bergerak di bidang kesehatan, jamu, kosmetik, dan suplemen. Sebelum menjual produk apa pun, pastikan bahwa produk tersebut memiliki izin edar dari BPOM atau Kemenkes. Izin ini bukan sekadar formalitas, tapi bentuk jaminan keamanan dan mutu bagi konsumen. Dengan semakin ketatnya pengawasan terhadap peredaran obat dan alat kesehatan, kehati-hatian menjadi keharusan. Jangan sampai niat mencari nafkah justru berujung pada jeratan pidana.