Quarter Love Crisis: Saat Kita Belajar Cinta Tak Selalu Menyembuhkan
imaniar dwi retno pangesti October 29, 2025 08:40 PM
Di usia dua puluhan, kita sering berpikir cinta adalah obat. Bahwa dengan jatuh cinta, hati yang semula luka bisa sembuh seperti semula, bahwa seseorang bisa datang dan menambal bagian diri yang retak. Tapi seiring waktu, kita sadar — tidak semua cinta datang untuk menyembuhkan.
Kadang cinta datang hanya untuk menjadi pembelajaran berharga. Mengajarkan cara menyikapi perpisahan dengan dewasa, mengajarkan menerima kenyataan bahwa tidak semua hubungan harus berakhir bahagia. Dan di titik itu, kita mulai memahami arti sesungguhnya dari quarter love crisis — saat hati dan hidup sama-sama terasa hilang arah.

Krisis di Usia Seperempat Abad: Bukan Sekadar Soal Karier

Menurut Newport Institute, masa “quarter-life crisis” adalah periode di usia 20-an hingga awal 30-an ketika seseorang merasa tidak yakin akan karier, hubungan, dan identitas dirinya. Krisis ini sering dikaitkan dengan pekerjaan atau pencapaian, tapi kenyataannya, cinta juga menjadi bagian besar dari pergulatan itu. Banyak dari kita yang menjalani hubungan di tengah rasa tidak aman, overthinking, dan ketakutan kehilangan arah.
Saya rasa, di usia ini kita tidak hanya mencari cinta, tapi juga mencari versi diri yang utuh. Masalahnya, sering kali kita berharap cinta akan menambal bagian diri kita yang hilang, padahal itu bukan tugas orang lain. Saya pernah berpikir cinta bisa memperbaiki semuanya. Tapi kenyataannya, cinta malah membuat saya bercermin dan melihat luka yang selama ini saya hindari.
Mungkin memang begitu fungsinya cinta di usia seperempat abad: bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk menunjukkan bagian mana dari diri kita yang belum benar-benar sembuh.

Ketika Hubungan Menjadi Cermin Luka Lama

Menurut psikolog Dr. Emma Seppälä dari Yale University, hubungan romantis sering kali memunculkan pola emosi masa lalu yang belum terselesaikan.
Saya sangat setuju dengan itu. Kadang kita berpikir seseorang menyakiti kita, padahal yang sebenarnya terjadi adalah dia hanya menyinggung luka lama yang belum kita sadari. Hubungan yang tampak “toxic” sering kali bukan karena dua orang jahat, tapi karena dua orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri.
Saya pernah mencintai seseorang dengan sepenuh hati, berharap hubungan itu jadi tempat pulang. Tapi ternyata, justru di sana saya belajar tentang kehilangan — kehilangan kendali, kehilangan mimpi, kehilangan ekspektasi, dan akhirnya, kehilangan diri sendiri. Tapi sekarang saya sadar, cinta tidak seharusnya jadi tempat kita sembunyi dari rasa sakit. Cinta seharusnya jadi tempat kita belajar menatap luka itu bersama, dan saling menerima.

Ilusi Bahagia dan Ketakutan yang Kita Sembunyikan

Media sosial membuat semuanya terlihat lebih sederhana: pasangan yang bahagia, perjalanan romantis, hubungan yang tampak sempurna. Namun penelitian dari Thrive Therapy MN menyebutkan bahwa media sosial sering memperburuk rasa cemas dan membandingkan diri pada masa quarter-life crisis.
Saya ingat pernah merasa iri dengan pasangan lain yang tampak bahagia di media sosial. Tapi ketika tahu cerita sebenarnya, ternyata banyak di antara mereka yang juga sedang berjuang dalam diam. Dari situ saya belajar, tidak ada hubungan yang benar-benar sempurna dan tidak semua perpisahan berarti gagal. Kadang, cinta yang berakhir justru membuka ruang untuk mengenal diri sendiri lebih dalam.
Kita belajar bahwa kehilangan bukan selalu pertanda “tidak cukup baik”, tapi kadang justru tanda bahwa kita sedang tumbuh menuju versi diri yang lebih siap mencintai dengan sadar.

3. Cinta Tak Menyembuhkan, Tapi Bisa Mengajarkan

Psikolog Dr. Meg Jay, penulis The Defining Decade, menyebut usia dua puluhan sebagai “masa pembentukan identitas emosional dan romantis.”
Kalimat itu menampar, tapi benar.
Di usia ini, cinta bukan lagi soal kisah dongeng yang berakhir bahagia. Cinta adalah ruang latihan — tempat kita belajar berkata jujur, menahan ego, dan menerima bahwa tidak semua orang bisa berjalan bersama kita sampai akhir.
Mungkin, cinta memang tidak selalu menyembuhkan. Tapi ia selalu mengajarkan sesuatu — dan kadang, pelajaran itu justru yang menyembuhkan pada akhirnya.
Quarter love crisis mengajarkan saya bahwa cinta tidak selalu datang dengan keindahan. Kadang ia datang dengan kebingungan, kesakitan, dan kehilangan. Tapi dari sanalah kita belajar — bahwa cinta tidak selalu menyembuhkan, melainkan memberi sebuah pelajaran.
Cinta mengajarkan bagaimana cara bertahan, melepaskan, memaafkan, dan akhirnya mengikhlaskan. Ia mengajarkan bahwa kita bisa pecah, tapi tetap berharga. Bahwa hati bisa patah, tapi tetap mampu sembuh lagi.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.