 
            Ringkasan Berita:
- Militer dan sipil saling berinteraksi dan tidak bisa sepenuhnya dipisahkan
- Sinergi antara militer dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam menjaga stabilitas
- Penempatan personel TNI di posisi sipil sebaiknya dilakukan atas dasar kebutuhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Keterlibatan TNI dalam jabatan sipil masih terus diperdebatkan. Hal itu juga tampak dalam uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hubungan sipil-militer dinilai seharusnya diperkuat. Karenanya, diskursus perlunya redefinisi peran militer dewasa ini merupakan sesuatu yang tidak boleh dipandang secara kaku, hitam-putih, atau akan mengancam supremasi sipil.
Dalam praktiknya, militer dan sipil saling berinteraksi dan tidak bisa sepenuhnya dipisahkan, seperti dalam penanggulangan bencana, keamanan dalam negeri, dan lain-lain. Dikotomi yang terlalu kaku dinilai bisa menghambat koordinasi nasional dan mengabaikan kenyataan bahwa militer juga bagian dari masyarakat sipil.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan di negara-negara eropa hubungan sipil dan militer diperkuat alih-alih dibikin sekat baru.
“Di luar negeri, khususnya di negara-negara Eropa, hubungan sipil dan militer justru semakin kuat dan harmonis melalui konsep Civil-Military Cooperation (CIMIC). Jadi, yang dibangun adalah sinergi, bukan sekat-sekat baru,” ujar Margarito saat menjadi narasumber dalam diskusi publik bertajuk “Redefinisi Hubungan Sipil-Militer Menuju Indonesia Kuat dan Berdaulat” yang digelar Partai Negoro di Kantor SinKos Indonesia, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Selain Margarito, hadir pula sejumlah narasumber lain, antara lain pemerhati militer dan intelijen Kolonel (Purn) Sri Rajasa, dosen dan analis politik Eduardus Lemanto, pengamat militer sekaligus dosen komunikasi politik Selamat Ginting, pakar sosial politik Massa Djafar, serta inisiator Aliansi Mahasiswa Nusantara Muhammad Fadil.
Margarito mengatakan hubungan sipil dan militer harusnya dipandang sebagai satu kesatuan.
“Militer dan sipil seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan yang berkolaborasi untuk mencapai tujuan nasional,” ujarnya.
Menurut Margarito, sinergi antara militer dan masyarakat sipil menjadi kunci dalam menjaga stabilitas sekaligus mendorong kemajuan bangsa.
“Kolaborasi yang baik akan memperkuat pertahanan negara dan mendukung pembangunan masyarakat secara menyeluruh,” katanya.
Pandangan senada disampaikan Muhammad Fadil. Ia menilai, keterlibatan personel TNI dalam jabatan sipil dimungkinkan sepanjang sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,” ujar Fadil.
Namun, Fadil mengakui bahwa pengaturan tersebut masih menimbulkan perdebatan karena kekhawatiran akan munculnya kembali konsep dwifungsi ABRI dan potensi tumpang tindih antara kontrol sipil dan militer.
“Saya setuju militer harus kembali ke barak, tetapi saya juga tidak sepakat jika mereka sama sekali dilarang menduduki jabatan sipil,” ujarnya.
Fadil menekankan, penempatan personel TNI di posisi sipil sebaiknya dilakukan atas dasar kebutuhan dan permintaan dari kementerian atau lembaga terkait, bukan atas inisiatif TNI sendiri.
“Yang paling penting, mereka harus melalui seleksi kompetensi yang ketat, bukan karena faktor kedekatan politis,” pungkas Fadil.
Aturan mengenai pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU TNI. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menentukan batasan limitatif terhadap pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI aktif yang berfungsi sebagai mekanisme pembatasan, bukan sebagai peluang membuka seluas-luasnya pengisian jabatan sipil oleh TNI.
“Sekali lagi, mekanisme pembatasan, bukan sebagai peluang membuka seluas-luasnya pengisian jabatan sipil oleh TNI,” ucap Anggota Komisi III DPR Utut Adianto yang mewakili DPR menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan uji UU TNI dikutip dari situs MK, Kamis (9/10/2025).
Sidang keempat dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah ini digelar untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Prabu Sutisna (Pemohon I), Haerul Kusuma (Pemohon II), Noverianus Samosir (Pemohon III), Christian Adrianus Sihite (Pemohon IV), Fachri Rasyidin (Pemohon V), dan Chandra Jakaria (Pemohon VI); Perkara Nomor 82/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan oleh Muhammad Imam Maulana (Pemohon I), Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban (Pemohon II), Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar (Pemohon III), dan Ursula Lara Pagitta Tarigan (Pemohon IV); dan Perkara Nomor 92/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang, Tri Prasetio Putra Mumpuni.
Lebih lanjut, Utut menyebut hal ini sebagaimana ditetapkan juga pada 14 instansi pemerintah pusat yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, yakni instansi yang memiliki karakteristik tugas yang membutuhkan keahlian sesuai dengan latar belakang militer.
“Ketentuan ini juga selaras dengan Pasal 19 UU ASN yang memperbolehkan jabatan ASN tertentu diisi oleh prajurit TNI atau anggota Polri,” ucap Utut.
Selain itu, Utut menyampaikan dalam praktik internasional, pembatasan ini berlaku di negara demokrasi seperti Amerika, India, Prancis, dan Singapura yang juga membatasi peran militer di ranah sipil melalui regulasi khusus.
Dengan demikian, DPR menilai bahwa ketentuan Pasal 47 UU TNI menempatkan Indonesia sejajar dengan praktik negara demokrasi lainnya, sekaligus memastikan partisipasi militer dalam ranah sipil tetap terkendali dan sesuai dengan standar hukum.
Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum Eddy Omar Sharif Hiariej yang mewakili Pemerintah. Ia menyebut Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertujuan untuk membatasi penugasan prajurit TNI aktif di luar struktur organisasi TNI dan penugasan prajurit aktif di Kementerian/Lembaga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) UU TNI.
Penugasan prajurit TNI pada Kementerian/Lembaga tidak hanya berdasarkan keahlian yang dimiliki oleh Prajurit TNI, tetapi juga terkait dengan sarana dan prasarana yang hanya dimiliki dan didayagunakan oleh prajurit TNI aktif berdasarkan permintaan dari Kementerian/ Lembaga yang dalam melaksanakan tugas fungsinya sebagian tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Kementerian/Lembaga tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Apabila ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU 3/2025 dimaknai agar dapat menduduki jabatan pada Kementerian/Lembaga atau jabatan sipil lain, maka prajurit TNI harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan sebagaimana petitum Para Pemohon 68/PUU- XXIII/2025, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena memperlakukan sama jabatan pada kementerian/lembaga dalam Pasal 47 ayat (1) UU 3/2025 yang memang sejalan dengan tugas pokok TNI dengan jabatan pada kementerian/lembaga lain yang tidak menjalankan tugas yang dapat dilaksanakan oleh prajurit TNI,” terang Eddy.