AS-Singapura Juga Punya Regulasi Atur Influencer, Supaya Konten Tak Menyesatkan
kumparanNEWS October 31, 2025 02:40 PM
Maraknya influencer di ruang media sosial membuat sejumlah negara mengeluarkan regulasi khusus untuk mengatur mereka. China sudah memiliki aturan ini sejak 2022 dan masih diterapkan hingga sekarang.
Negara mana saja yang punya regulasi khusus mengatur influencer? Berikut yang telah kumparan rangkum:
1. Amerika Serikat
Komisi Perdagangan Federal (FTA) pernah merilis dokumen berjudul "Disclosures 101 for Social Media Influencers". FTA menegaskan ingin menghentikan konten iklan yang bisa menyesatkan masyarakat.
"Sebagai influencer, anda bertanggung jawab membuat pengungkapan ini, memahami panduan endorsement, dan mematuhi UU anti-iklan yang menipu. Jangan mengandalkan orang lain melakukannya untuk anda," kata dokumen FTA itu.
FTA mewajibkan influencer untuk secara terbuka mengungkap jika punya hubungan dengan sebuah brand, baik itu hubungan personal, hubungan keluarga, atau hubungan keuangan.
"Contohnya, brand itu membayar anda atau memberikan produk atau layanan gratis atau diskon. Memberi tahu followers tentang hubungan ini penting karena akan membantu rekomendasi yang anda berikan tetap jujur," kata FTA.
Lebih lanjut, FTA mewajibkan influencer untuk memberikan keterangan atau tagar seperti #advertisement, #ad, #sponsor, atau kalimat penjelasan singkat yang menyatakan konten yang dibuat disponsori oleh sebuah brand.
"Jangan pakai istilah membingungkan seperti 'spon', 'collab', 'ambassador'," lanjut FTA.
Bagi influencer yang sering membuat konten review, FTA menegaskan influencer tidak boleh membuat konten yang membicarakan pengalaman menggunakan produk yang sebetulnya belum pernah digunakan atau dicoba. Influencer juga tidak boleh membuat klaim tanpa bukti, seperti me-review produk kesehatan tapi mengeklaim produk itu bisa menyembuhkan penyakit tanpa menyertakan bukti ilmiahnya.
2. Italia
Otoritas komunikasi Italia, AGCOM, mengeluarkan regulasi ketat untuk meningkatkan transparansi konten media sosial yang dibuat influencer pada 2024 lalu. Regulasi diterbitkan setelah influencer papan atas Chiara Ferragni yang memiliki 30 juta followers di Instagram didenda lebih dari 1 juta euro oleh Badan Antimonopoli Italia atas ketidakjelasan dalam sebuah inisiatif amal Natal.
Dikutip dari Reuters, aturan itu berlaku kepada influencer yang membuat konten atau unggahan dalam bahasa Italia dan bekerja sama dengan brand Italia yang memiliki lebih dari 1 juta followers di media sosial.
Setiap konten iklan yang diunggah harus diberi label yang jelas supaya dikenali. Jika tidak dilakukan, maka influencer terancam kena denda hingga 600 ribu euro.
Tak cuma itu, influencer harus mematuhi kode etik yang berlaku di seluruh media, yang mewajibkan komunikasi yang tidak memihak, menghindari berita palsu dan unggahan diskriminatif atau rasis.
3. Australia
Australia membentuk Australian Influencer Marketing Council (AiMCO) untuk mengatur industri influencer. AiMCO juga mengeluarkan Kode Praktik untuk mengatur influencer serta brand yang ingin bekerja sama dengan influencer.
Kode Praktik itu mengatur pemilihan influencer harus sesuai dengan kredibilitas hingga audiens yang dituju, kecocokan influencer dengan brand yang akan diajak bekerja sama, pengungkapan jenis konten kerja sama antara influencer dan brand, serta kontrak antara influencer dan brand.
Meski sudah ada Kode Praktik, Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) mengungkap masih ditemukan berbagai masalah yang disebabkan oleh influencer. Dikutip dari website resmi ACCC, jajak pendapat mengungkap 81% warga Australia menyuarakan kekhawatirannya atas konten yang dibuat influencer.
Berdasarkan data ACCC, ada tiga kategori influencer yang sering dikeluhkan masyarakat: influencer khusus fashion, influencer khusus rumah tangga dan gaya asuh, dan influencer wisata dan gaya hidup.
ACCC mengungkap, para influencer itu sering tidak mengungkap hubungan konten mereka dengan brand tertentu, apakah konten itu merupakan konten iklan atau konten kolaborasi. Para influencer juga sering memberikan pernyataan salah atau tidak akurat tentang produk atau layanan tertentu.
4. Belanda
Di Belanda, influencer harus mendaftar ke Otoritas Media Belanda (CvdM) agar bisa diawasi.
Influencer yang wajib mendaftar ke CvdM adalah mereka yang memiliki lebih dari 500 ribu follower di platform media sosial seperti YouTube, Instagram hingga TikTok, mengunggah konten secara teratur dan profesional, mendapat penghasilan dari iklan hingga endorsement, dan menargetkan audiens di Belanda.
Tak cuma itu, influencer dengan jumlah followers yang banyak harus terdaftar sebagai entrepreneur di Kamar Dagang Belanda (KVK).
Influencer wajib menjelaskan bahwa konten mereka adalah konten mereka adalah konten iklan, konten sponsor, atau product placement. Influencer juga tidak boleh mengeksploitasi anak di bawah umur. Jika kontennya adalah konten iklan, influencer tidak boleh memberikan penjelasan yang menyesatkan atau salah.
5. Singapura
Sementara di Asia Tenggara, Singapura menjadi salah satu negara yang punya regulasi mengatur influencer. Regulasi ini diatur oleh Infocomm Media Development Authority (IMDA).
Singapura saat ini secara ketat mengatur influencer yang memberikan tips atau saran keuangan dan investasi alias "finfluencer". Otoritas Keuangan Singapura (MAS) menjelaskan finfluencer yang memberikan saran keuangan harus diatur dalam UU Penasihat Keuangan dan harus ditunjuk sebagai perwakilan oleh firma penasihat keuangan yang berlisensi.
Finfluencer yang membuat pernyataan palsu atau menyesatkan tentang produk pasar modal apa pun dapat dikenakan pelanggaran UU Sekuritas dan Berjangka.
Sementara secara umum, influencer harus mengikuti Singapore Code of Advertising Practice (SCAP) yang dikeluarkan Advertising Standards Authority of Singapore (ASAS) dan Guidlines on Interactive Marketing Communication and Social Media. Tujuannya agar influencer terbuka tentang jika konten yang diunggah adalah konten iklan atau kerja sama, serta memastikan konten itu tidak menyesatkan atau menggunakan ulasan palsu.