CPI Rilis Dasbor Pembiayaan Ketenagalistrikan, Soroti Kesenjangan Investasi EBT 2019–2023
Sanusi November 01, 2025 06:32 PM
Ringkasan Berita:
  • Climate Policy Initiative (CPI) meluncurkan Dasbor Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan Indonesia 2019–2023 yang mencatat total investasi 38,02 miliar dolar AS, masih jauh dari kebutuhan 19,4 miliar dolar AS per tahun untuk capai target iklim 2030. 
  • Investasi energi terbarukan baru 1,79 miliar dolar AS per tahun, jauh di bawah bahan bakar fosil.
  • CPI menilai transparansi dan arah investasi yang tepat penting untuk mempercepat transisi energi rendah karbon.

 

 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Climate Policy Initiative (CPI) merilis pembaruan Dasbor Pembiayaan Sektor Ketenagalistrikan Indonesia 2019–2023. 

Laporan ini mengungkap total investasi di sektor kelistrikan Indonesia mencapai 38,02 miliar dolar AS atau rata-rata 7,6 miliar dolar AS per tahun selama lima tahun terakhir.

Dalam paparannya, Director of CPI Indonesia Tiza Mafira mengatakan, angka tersebut masih kurang dari setengah kebutuhan investasi tahunan sebesar 19,4 miliar dolar AS yang diperlukan untuk mencapai target iklim nasional 2030.

"Temuan CPI menunjukkan peluang besar untuk mengalihkan pembiayaan secara strategis menuju energi baru terbarukan (EBT) dan infrastruktur pendukung yang mendorong transisi energi rendah karbon di Indonesia," katanya saat  Media Briefing Pembaruan Dasbor Pembiayaan Pembangkit Listrik di Indonesia (Periode 2019–2023) di Jakarta, Jumat (31/10/2025).

Investasi EBT Masih Rendah Dibanding Fosil

Selama 2019–2023, investasi rata-rata tahunan EBT hanya 1,79 miliar dolar AS, jauh di bawah kebutuhan 9,1 miliar dolar AS per tahun untuk mencapai target Enhanced NDC.

Sementara itu, investasi bahan bakar fosil masih mendominasi dengan rata-rata 2,55 miliar dolar AS per tahun.

"Meski begitu, pembiayaan EBT variabel seperti surya dan angin menunjukkan tren peningkatan, dari hanya 0,03 miliar dolar AS pada 2019 menjadi 0,68 miliar dolar AS pada 2023," katanya.

Sebanyak 60,4 persen pembiayaan EBT berasal dari sektor swasta, sementara pembiayaan publik berkontribusi 37 persen.

Secara keseluruhan, sektor swasta menyumbang 73,72 persen pembiayaan ketenagalistrikan Indonesia, dengan porsi terbesar (59,25 persen) masih dialokasikan untuk proyek bahan bakar fosil.

"Investasi dari Tiongkok  sebesar 2,48 miliar dolar AS dan Korea Selatan yakni 1,52 miliar dolar AS menjadi yang paling menonjol dalam proyek berbasis fosil.

CPI memperkirakan ada lebih dari 10,6 miliar dolar AS investasi PLTU batu bara yang belum tercatat secara resmi, terutama dari proyek PLTU captive yang digunakan sektor industri.

Hal ini menunjukkan kesenjangan data yang signifikan dan nilai investasi batu bara yang kemungkinan jauh lebih besar dari laporan resmi.

Efisiensi Energi dan Potensi Penurunan Biaya Surya

Data PLN menunjukkan biaya operasional per kWh tertinggi berasal dari tenaga surya (Rp3.111), sementara batu bara (Rp603) dan gas (Rp1.450) masih dominan.

Namun, perbandingan global menunjukkan biaya tenaga surya di Indonesia bisa ditekan hingga Rp731 per kWh, jika efisiensi PLTS meningkat dari 4% menjadi 16%, sesuai rata-rata Asia Tenggara.

Tanpa subsidi DMO, biaya PLTU batu bara sebenarnya bisa mencapai Rp1.211 per kWh, jauh di atas angka yang tercatat di PLN.

 Tiza mengatakan, transisi energi Indonesia terus bergerak maju, namun keberhasilannya bergantung pada ke mana dan bagaimana investasi tersebut mengalir.

“Data menunjukkan kemajuan, tetapi ketimpangan masih ada — bahan bakar fosil masih memperoleh porsi investasi lebih dari dua kali lipat dibandingkan energi terbarukan," katanya.

Ditambahkan Tiza, dengan data yang transparan seperti di dasbor ini, kebijakan dan investasi dapat diarahkan lebih tepat untuk mempercepat transisi menuju masa depan rendah karbon.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.