Yang Selamat dari Pembantaian RSF di El-Fasher Sudan Diangap sebagai Budak
M Syofri Kurniawan November 04, 2025 06:30 AM
  • Pasukan paramiliter RSF melakukan pembantaian terhadap warga sipil setelah merebut Kota El-Fasher, Darfur Utara, sementara warga yang selamat disebut sebagai budak.
  • Lebih dari 36.000 warga El-Fasher mengungsi dengan berjalan kaki sekitar 70 km menuju Kota Tawila, bergabung dengan ratusan ribu pengungsi lain yang sudah ada di sana.
  • Laporan PBB dan WHO menyebut terjadinya pembunuhan terhadap tenaga medis dan pasien, serta meningkatnya kelaparan dan wabah penyakit di tengah konflik berkepanjangan di Sudan.

TRIBUNJATENG.COM, KHATOUM - Pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) melakukan pembantaian massal terhadap warga sipil setelah menguasai Kota El-Fasher, Darfur, Sudan.

Diperkirakan, lebih dari 36.000 warga setempat mengungsi dengan berjalan kaki ke Kota Tawila, yang berjarak sekitar 70 kilometer (km) dari El-Fasher.

Korban selamat dari aksi kekejaman paramiliter menyampaikan kesaksian mereka atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, dampak perang saudara yang telah melanda Sudan dalam beberapa tahun terakhir.

Seorang pemuda bernama Hussein menjadi salah satu dari ratusan warga yang ditangkap di Kota Garni, sekitar 25 kilometer dari El-Fasher, ketika mencoba melarikan diri dari pertempuran.

"Kami dikumpulkan dan dibawa pergi," ujar Hussein kepada AFP, Minggu (3/11).

Hussein menambahkan, dia dan sekitar 200 pria muda ditahan selama beberapa hari oleh anggota RSF. Paramiliter menganggap warga sipil yang ditangkap sebagai budak.

"Mereka memukuli kami dengan tongkat dan menyebut kami budak," kata Hussein, yang hanya bersedia disebut dengan nama depannya karena takut akan pembalasan.

Abbas al-Sadek, dosen di Universitas El-Fasher, termasuk di antara warga yang sempat ditahan RSF. Salah satu kerabatnya mengatakan bahwa sebelum menghilang, Abbas mengirim video singkat meminta koleganya mentransfer uang sebesar 900 dollar AS ke sebuah rekening.

"Uang ini menyelamatkan nyawaku. Mereka memberi waktu hanya 10 menit," ujar Abbas dalam video tersebut.

Menurut keluarganya, uang itu diyakini sebagai tebusan. Abbas kemudian dibebaskan dan kini menuju Tawila.

RSF yang telah berperang dengan Tentara Nasional Sudan atau Sudanese Armed Forces (SAF) sejak April 2023 berhasil merebut kota strategis El-Fasher satu pekan lalu.

Hal itu menandai berakhirnya pengepungan selama 18 bulan yang disertai kelaparan dan pengeboman terhadap warga sipil.

Sejak pengambilalihan El-Fasher, muncul laporan tentang eksekusi, kekerasan seksual, penjarahan, serangan terhadap pekerja kemanusiaan, dan penculikan.

Komunikasi di wilayah tersebut kini sebagian besar terputus, membuat informasi sulit diverifikasi.

Dengan jatuhnya El-Fasher, kekuasaan RSF kini meluas di wilayah Darfur dan sebagian selatan Sudan.

Sementara itu, SAF masih menguasai ibu kota Khartoum serta sebagian besar wilayah utara dan tengah negara tersebut.

Kamp pengungsian penuh

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan, lebih dari 36.000 orang telah mengungsi sejak Sabtu (1/11).

Sebagian besar dari mereka berjalan kaki menuju Tawila, kota di sebelah barat El-Fasher yang kini menampung lebih dari 652.000 orang terlantar.

Situasi tersebut menjadikan Sudan sebagai salah satu krisis kemanusiaan dan pengungsian terbesar di dunia, dengan 14 juta orang dari total 51 juta penduduk kini hidup terlantar.

Kelaparan meluas, sementara wabah kolera dan penyakit mematikan lain meningkat tajam.

El-Fasher merupakan ibu kota dari Darfur Utara. Diketahui, wilayah Darfur telah lama menjadi tempat tinggal bagi kelompok etnis non-Arab yang kerap menjadi sasaran milisi bersenjata.

Sementara, RSF sendiri berakar dari kelompok milisi Janjaweed yang dituduh melakukan genosida di Darfur dua dekade lalu.

Kekhawatiran akan terulangnya kekejaman serupa meningkat sejak El-Fasher jatuh ke tangan RSF.

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut lebih dari 65.000 orang telah melarikan diri dari El-Fasher, termasuk sekitar 5.000 ke kota terdekat, Tawila. 

Sementara, puluhan ribu lainnya masih terjebak di dalam kota tersebut dengan kondisi yang porak-poranda.

Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) menyebut adanya pembunuhan terhadap pasien dan tenaga medis di Rumah Sakit Bersalin Saudi serta di gedung-gedung di lingkungan Dara Jawila dan Al-Matar, yang digunakan sebagai pusat medis sementara.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 460 pasien dan pendampingnya tewas dalam dugaan pembantaian tersebut. (Kompas.com)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.