TRIBUNNEWS.COM – Produksi wood pellet di Gorontalo mengalami lonjakan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, di tengah sorotan publik terhadap isu deforestasi Gorontalo, pemerintah menegaskan bahwa seluruh produksi tersebut tidak berasal dari hutan alam, melainkan dari hutan tanaman industri (HTI) yang legal dan berkelanjutan.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Kementerian Kehutanan, Erwan Sudaryanto, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki mekanisme hukum yang disebut SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian). Sistem ini memastikan bahwa seluruh produk hasil hutan, termasuk wood pellet, diambil dan dikelola dari sumber yang sah dan tidak menyebabkan deforestasi.
“SVLK memastikan semua hasil hutan diproduksi secara legal dan berkelanjutan. Produk Indonesia, termasuk dari Gorontalo, telah diakui oleh Jepang, Korea, dan Uni Eropa sebagai bagian dari due diligence compliance,” ujar Erwan dalam FGD yang digelar oleh APREBI, Rabu (5/11) di Jakarta.
Berdasarkan data resmi Kementerian Kehutanan, produksi wood pellet nasional tahun 2024 mencapai 333.971 m⊃3;, meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan 2020 yang hanya 103.356 m⊃3;. Dari angka tersebut, Gorontalo menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi 29,96 persen, disusul Jawa Timur sebesar 23,08%.
Sekretaris Jenderal APREBI, Dikki Akhmar, menegaskan bahwa peningkatan kapasitas ini tidak seharusnya diartikan sebagai bentuk deforestasi.
“Semua perusahaan wood pellet telah menyiapkan HTI sebagai sumber bahan baku. Tidak ada yang membuka hutan alam. Mereka justru menjaga keberlanjutan agar pasokan tetap terjamin,” jelas Dikki.
Menurut Dikki, isu deforestasi Gorontalo yang dihembuskan sejumlah LSM adalah bentuk disinformasi yang bisa merusak kredibilitas Indonesia sebagai penyedia energi hijau. Ia menyayangkan penyebaran informasi yang menyesatkan ke pasar luar negeri, terutama Jepang dan Korea.
“Kampanye negatif terhadap industri biomassa akan berdampak besar, bukan hanya bagi produsen, tapi juga masyarakat yang bergantung pada rantai pasok ini,” katanya.
Pemerintah dan pelaku industri menyerukan perlunya edukasi publik tentang perbedaan HTI dan deforestasi permanen. Dalam praktiknya, HTI merupakan sistem tanam tebang tanam ulang yang justru mempertahankan fungsi ekosistem dan memenuhi aspek legal.
KLHK sendiri menyatakan, “Kayu Indonesia adalah kayu legal, lestari, dan terverifikasi. Ini adalah wujud nyata komitmen pemerintah menjaga kepercayaan pasar global serta keberlanjutan sumber daya hutan bagi generasi mendatang.”
Dengan data, regulasi, dan mekanisme pengawasan yang kuat, Pemerintah berharap masyarakat tidak lagi menyamakan peningkatan produksi biomassa dengan deforestasi, apalagi dalam konteks legalitas seperti yang telah diterapkan di Gorontalo.