Ponidjo alias Brindil, korban salah sasaran penembakan misterius alias Petrus. Alih-alih gali, dia mengaku sebagai bakul sapi | Sejarah Penembakan Misterius (Petrus).
---
Intisari hadir di whatsapp channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Penembakan Misterius atau Petrus pada 1982-1985 memang berhasil mengurangi angka kriminalitas di beberapa kota di Indonesia. Meski begitu, operasi ini juga disebut sarat pelanggaran HAM, termasuk di antaranya adalah salah sasaran.
Ponidjo atau Brindil adalah salah satu korbannya.
Petrus yang terjadi di Yogyakarta menyasar mereka yang dilabeli sebagai gali alias gabungan anak liar. Operasi itu punya nama resmi yaitu Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang inisiatornya adalah Komandan Kodim 0734 Yogyakarta Letkol CZI M. Hasbi.
Sialnya, Brindil, sebagaimana pengakuannya kepada BBC News Indonesia sebagaimana dilansir Kompas.com, masuk dalam daftar gali yang harus dihabisi, dibunuh.
"Nama saya masuk daftar," aku sosok yang mengaku sebagai pedagang sapi alih-alih gali atau preman itu.
Ketika itu 1982, ada pemilihan lurah di Desa Sidorejo, Kulonprogo, Yogyakarta. Keponakan Brindil maju sebagai salah satu calon lurah. Dia pun meminta pamannya itu untuk ikut berkampanye, datang ke masyarakat untuk minta dukungan bagi sang keponakan.
Brindil mengaku waktu itu omongannya sering digugu atau diikuti, meski cuma lulusan Sekolah Rakyat. Hasilnya, sang keponakan terpilih menjadi lurah.
Di waktu yang bersamaan, operasi pembersihan gali tengah digalakkan. Brindil pun tak khawatir, wong dia bukan gali. Hingga akhirnya dia tahu bahwa namanya masuk daftar yang harus dihabisi.
Kabar itu dia dengar dari kantor kelurahan, dari keponakannya sendiri yang sekarang jadi lurah. "Saya dikirim surat, dianggap sebagai gali," cerita Brindil. Sang keponanakan yang tahu kabar itu hanya bisa menangis dan bingung, tak taku harus berbuat apa.
Meskipun tetap bersikap tenang, dia tetap cemas juga. Bagaimanapun juga, dia tetap manusia yang punya rasa takut. Tapi dia tak mau lari atau bersembunyi.
Yang dia lakukan kemudian adalah datang ke Kodim 0731 Kulonprogo yang terletak di Wates. Sesampainya di sana, dia menjelaskan bahwa dirinya bukan gali atau gentho. Dia tak pernah merampok, mengutip toko-toko, atau memalak sopir-sopir. Dengan tegas dia bilang bahwa dirinya "cuma bakul sapi."
Sepertinya kedatangannya ke Kodim adalah keputusan tepat. Paling tidak, yang dia hadapi kemudian adalah cuma "harus lapor" setiap hari dalam satu minggu.
Karena itulah, setiap hari dia berjalan kaki 17 km dari rumahnya ke kantor Kodim untuk melapor, membubuhkan tanda tangan, dan pulang lagi. Di hari terakhir wajib lapor, Brindil mendapatkan sepucuk surat. Perintahnya, dia disuruh menyerahkan surat ke kantor Koramil yang ada di wilayahnya.
Dari situlah dia akhirnya tahu bahwa dirinya adalah korban salah sasaran. Apa pun itu, Brindil merasa lega. Upayanya meyakinkan aparat bahwa dirinya bukan gali akhirnya berhasil.
Sekilas sejarah penembakan misterius alias Petrus
Pada tahun 1980-an suasana kota Yogyakarta tiba-tiba berubah menjadi mencekam.Para preman yang saat itu dikenal sebagai gabungan anak liar (gali) dan menguasai berbagai wilayah operasi tiba-tiba diburu seperti hewan.
Mereka diburu oleh tim Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang kemudian dikenal sebagai penembak misterius (Petrus).Ketika melakukan aksinya, tak jarang suara letusan senjata api para penembak misterius terdengar oleh masyarakat sehingga suasana tambah mencekam.
Mayat para korban penembakan atau pembunuhan misterius itu umumnya mengalami luka di kepala serta leher dan dibuang di lokasi yang mudah ditemukan penduduk.Ketika ditemukan, mayat biasanya langsung dikerumuni penduduk dan menjadi headline media massa yang terbit di Yogyakarta.
Berita tentang terbunuhnya para tokoh gali itu sontak menjadi heboh dan menjadi bahan pembicaraan di semua wilayah DIY hingga ke pelosok-pelosok kampung.Meskipun merupakan pembunuhan misterius, hampir semua penduduk Yogyakarta saat itu paham bahwa pelaku atau eksekutornya adalah para aparat militer dan sasarannya adalah para galiterkenal.
Disebut sebagai gali terkenal karena tokoh di dunia kejahatan itu secara terang-terangan menguasai satu lokasi.Mereka memungut uang dari lokasi yang menjadi kekuasaannya, bisa seenak hati menganiaya orang yang dianggap melawan, merampok atau melakukan kejahatan lainnya secara terang-terangan.
Kadang-kadang aparat polisi setempat malah tidak berani bertindak karena pengaruh si tokoh gali demikian besar. Terbunuhnya para tokoh gali secara misterius sebenarnya membuat warga senang. Tapi para gali yang hanya memakai status itu sebagai ajang gagah-gagahan menjadi sangat ketakutan.
Aparat keamanan di Yogyakarta memang mengakui bahwa pihaknya sedang melakukan OPK (Operasi Penumpasan Kejahatan) terhadap para gali. Tapi siapa tim OPK yang menjalankan tugas tidak pernah diberi tahu dan hingga kini masih tetap misterius.
Aparat militer di Yogyakarta saat itu terpaksa turun tangan untuk melakukan pembersihan mengingat tindak kejahatan para gali sudah keterlaluan. Bahkan masyarakat cenderung lebih takut terhadap para gali dibandingkan aparat kepolisian.
Turunnya aparat militer dalam operasi OPK itu diakui sendiri oleh Letkol M.Hasbi yang saat itu menjabat sebagai komandan Kodim 0734 yang juga merangkap Kepala Staf Garnisun Yogyakarta. Meskipun cara kerja tim OPK itu tidak pernah diumumkan, modus operandinya mudah ditebak.
Tim OPK melakukan briefing terlebih dahulu, menentukan sasaran yang akan disikat, melaksanakan penyergapan pada saat yang paling tepat, saat korban berhasil ditemukan langsung ditembak mati atau dibawa ke suatu tempat dan dieksekusi.
Mayat korban yang tewas biasanya langsung dimasukkan karung atau dilempar ke lokasi yang mudah ditemukan. Hari berikutnya tim OPK bisa dipastikan akan mengecek hasil operasinya lewat surat kabar yang terbit hari itu sambil memberikan penilaian terhadap kehebohan yang berlangsung di masyarakat.
Aksi OPK melalui modus Petrus itu dengan cepat menimbulkan ketegangan dan teror bagi para pelaku kejahatan secara nasional karena korban OPK di kota-kota lainnya juga mulai berjatuhan. OPK yang berlangsung secara rahasia itu secara psikologis justru merupakan tindakan menekan angka kriminalitas yang dilaksanakan terang-terangan.
Di tingkat nasional sendiri operasi rahasia untuk menumpas para bromocorah itu malah bisa dirunut secara jelas meskipun pelakunya tetap misterius. Pada tahun 1982 misalnya, Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya saat itu, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar aksi perampokan yang meresahkan masyarakat.
Selain mampu membongkar aksi perampokan, Anton Soedjarwo juga dinilai sukses dalam melancarkan aksi OPK. Pada bulan Maret tahun yang sama pada acara khusus yang membahas masalah pertahanan dan keamanan, Rapim ABRI, Presiden Soeharto bahkan meminta kepada Polri (masih menjadi bagian dari ABRI) untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dlam upaya menekan angka kriminalitas.
Keseriusan Soeharto agar Polri/ABRI menggencarkan operasi yang efektif untuk menekan angka kriminalitas bahkan kembali diulangi dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1982.
Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius.
Permintaan Soeharto itu sontak disambut Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya 19 Januari 1983.
Dalam rapat yang membahas keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi, Operasi Celurit di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya.
Dari segi jumlah, Operasi Celurit yang notebene merupakan aksi Petrus itu, pada tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan.
Tahun 1984 korban OPK yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban OPK tewas dan 28 di antaranya tewas karena tembakan.
Secara umum para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun. Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau bersusah-susah membuang korbannya karena bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan lebih efektif.
Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita yang demikian gencar mengenai OPK yang berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi negara pun akhirnya berkomentar positif dan negatif..
Kendati sejumlah petinggi negara telah melontarkan pendapatnya, toh Petrus yang beraksi secara rahasia itu tetap tidak tersibak misterinya. Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar belakang permasalahannya.
Tindakan keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi kejahatan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas.
Seperti tertulis dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan, Pak Harto berujar:
“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan.Tapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak.
Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya’.Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikan itu."
Begitulah kisahPonidjo alias Brindil, salah satu korban salah sasaran penembakan misterius alias Petrus.