Oleh: Edi Nursalam
Pemerhati Transportasi Perkeretaapian
Isu mengenai utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) kembali menjadi sorotan publik. Proyek prestisius yang digadang-gadang menjadi simbol kemajuan transportasi nasional ini kini menghadapi tantangan berat: beban utang yang menggunung dan rencana pembangunan tahap lanjut menuju Surabaya.
Menurut informasi terakhir, restrukturisasi utang Kereta Cepat senilai $7,27 miliar atau Rp118 triliun sedang dalam proses negosiasi antara pihak Indonesia dan Bank Pembangunan China (CDB). Salah satu opsi yang tengah dipertimbangkan adalah skema REIT (Real Estate Investment Trust) dengan memperpanjang tenor pembayaran hingga 50 tahun.
Secara konsep, skema REIT cukup menarik karena memungkinkan pengelolaan aset proyek secara produktif sambil menekan beban fiskal jangka pendek. Namun, persoalan muncul ketika utang jangka panjang tersebut berpotensi mewariskan beban ke generasi mendatang.
Alih-alih memperpanjang tenor hingga setengah abad, penulis mengusulkan pendekatan alternatif yang praktis namun realistis: restrukturisasi utang dengan memperpendek tenor menjadi hanya 5 hingga 10 tahun.
Sekilas, ide ini terlihat berat karena akan meningkatkan nilai cicilan tahunan. Namun, langkah tersebut memiliki nilai moral dan ekonomi yang penting — yakni menghindari kesan melempar tanggung jawab kepada anak cucu kita. Dengan strategi pembayaran yang singkat, Indonesia menunjukkan komitmen menyelesaikan tanggung jawabnya secara cepat dan mandiri.
Tantangannya tentu saja: dari mana pemerintah mendapatkan dana besar dalam waktu singkat?
Solusi yang diusulkan adalah menggunakan skema barter berbasis sumber daya alam (SDA).
Skema ini bukan hal baru, bahkan pernah digunakan di berbagai negara berkembang sebagai bentuk diplomasi ekonomi dan penyelesaian utang strategis.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, dan salah satu yang paling potensial adalah nikel. Berdasarkan data tahun 2024, Indonesia adalah pemilik cadangan dan produsen terbesar nikel di dunia. Cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 17,7 miliar ton bijih dan 176,8 juta ton logam, dengan nilai ekspor mencapai Rp126,5 triliun per tahun.
China sendiri merupakan negara dengan kebutuhan nikel sangat tinggi, terutama untuk industri otomotif listrik dan baja tahan karat (stainless steel).
Dengan potensi besar tersebut, nikel dapat dijadikan alat tukar atau instrumen barter untuk menutup utang proyek kereta cepat.
Dalam konsep ini, perlu dilakukan pemisahan komponen biaya proyek, yakni:
Komponen biaya prasarana inilah yang bisa dibarter menggunakan nilai produk nikel, sementara biaya sarana dan operasional tetap ditanggung oleh konsorsium sesuai proyeksi bisnis mereka.
Dengan mekanisme ini, tenor pembayaran utang dapat dipersingkat menjadi maksimal 10 tahun, bahkan idealnya 5 tahun, sesuai dengan nilai produk nikel yang dibarter.
Keuntungan skema ini jelas:
Jika pemerintah melanjutkan pembangunan kereta cepat hingga Surabaya, diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp500 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen atau Rp350 triliun merupakan biaya prasarana.
Melalui skema barter, pemerintah cukup menyediakan produksi nikel senilai Rp35 triliun per tahun selama 10 tahun. Angka ini bahkan kurang dari 30ri total nilai ekspor nikel Indonesia saat ini, sehingga secara ekonomi sangat realistis dan tidak membebani APBN.
Selain lebih efisien, skema barter juga selaras dengan kebutuhan China terhadap nikel — menjadikannya win-win solution bagi kedua negara.
Skema barter mungkin terdengar kuno di era ekonomi digital modern. Namun, untuk negara sebesar Indonesia, yang kaya sumber daya alam tetapi masih menghadapi keterbatasan likuiditas, barter justru bisa menjadi solusi praktis, efisien, dan bermartabat.
Daripada terus memperpanjang utang hingga generasi mendatang, lebih baik menyelesaikannya dengan cara yang cerdas dan berbasis kekayaan nasional sendiri.
Pemerintah harus berani menghadirkan terobosan seperti ini, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan oleh Menko Infrastruktur AHY pada konferensi pers 3 November 2025, bahwa negara harus hadir dalam setiap pembangunan infrastruktur strategis nasional untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.