Sentani (ANTARA) - Di bawah terik Matahari yang memantul pada halaman SMA Negeri 1 Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, suasana belajar siswa dalam ruangan kelas tampak sangat hidup.

Siswa terlihat antusias menirukan pengucapan kata-kata dalam Bahasa Sentani yang diajarkan oleh guru mereka dengan penuh semangat.

Ketika itu, rombongan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, berkunjung ke SMA Negeri 1 Sentani, guna melakukan studi banding.

Mereka ingin melihat langsung penerapan pembelajaran muatan lokal Bahasa Sentani yang telah berjalan di Kabupaten Jayapura.

Cuaca siang itu panas menyengat, namun semangat para peserta studi banding tidak surut sedikit pun. Dengan buku catatan di tangan, mereka mengikuti penjelasan guru di dalam kelas bersama para siswa.

Kehadiran mereka bukan tanpa alasan, Kabupaten Merauke, kini tengah menyiapkan pelaksanaan kurikulum muatan lokal berbasis bahasa daerah pada 2026, setelah sejumlah guru mengikuti bimbingan teknis selama tiga hari di Balai Bahasa Provinsi Papua.

Widyabasa Ahli Madya Balai Bahasa Provinsi Papua Antonius Maturbongs kepada ANTARA menjelaskan bahwa program studi banding ini merupakan hasil kerja sama antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke dan balai bahasa, guna melestarikan bahasa daerah.

Personel Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke dibimbing selama tiga hari, lalu diajak langsung melihat praktiknya di sekolah di Kabupaten Jayapura, agar mereka memiliki gambaran nyata untuk diterapkan.

Kabupaten Jayapura layak dijadikan tujuan studi banding dan contoh sukses dalam mengintegrasikan bahasa daerah ke dalam sistem pendidikan formal.

SMA Negeri 1 Sentani dan SMP Negeri 6 Sentani menjadi dua sekolah percontohan yang menunjukkan bagaimana pembelajaran muatan lokal Bahasa Sentani dapat berjalan efektif.

Di ruang kelas, siswa dari berbagai latar belakang etnis tampak belajar bersama, tanpa sekat. Anak-anak asli Sentani, Biak, Toraja, dan Batak, semua mencoba memahami struktur Bahasa Sentani dengan semangat yang sama.

Guru mata pelajaran Bahasa Sentani Samuel Suebu menuturkan bahwa pengajaran bahasa ibu, bukan hanya sekadar mengenalkan kosa kata, tetapi menanamkan rasa bangga terhadap identitas lokal di tengah keberagaman.

Anak-anak dari berbagai suku di Indonesia belajar Bahasa Sentani dengan antusias, bahkan siswa asal luar Sentani, kini mulai terbiasa menggunakan kata-kata sederhana dalam percakapan sehari-hari di sekolah.

Ia mengaku telah mengajar selama tiga tahun dan melihat perubahan signifikan, terkait kebiasaan siswa. Dulu, hanya sedikit siswa yang tahu Bahasa Sentani, kini semakin banyak yang mampu berbicara dengan pelafalan yang benar dan memahami maknanya dalam konteks budaya.

Bagi Samuel, semangat para siswa menjadi tanda bahwa pelestarian bahasa daerah tidak lagi sekadar slogan, melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan belajar di sekolah. Karena itu, diharapkan hal serupa dapat berkembang di kabupaten lain di wilayah Papua.

Pembelajaran muatan lokal bahasa daerah merupakan salah satu strategi utama dari Balai Bahasa Papua dalam melindungi bahasa-bahasa daerah yang terancam punah.

Balai Bahasa Papua mencatat daerah itu memiliki 428 bahasa daerah, banyak di antaranya berada di ambang kepunahan karena penuturnya hanya tersisa satu atau dua orang. Karena itulah, program yang telah dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura ini sangat penting.

Peran pemerintah daerah sangat menentukan dalam upaya pelestarian bahasa lokal. Kabupaten Jayapura menjadi pelopor melalui Peraturan Bupati Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penerapan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Ibu.

Peraturan tersebut menjadi landasan hukum bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan bahasa daerah sebagai bagian dari kurikulum. Upaya ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh berbagai pihak, termasuk Sekolah Adat Negeri Papua.

Direktur Sekolah Adat Negeri Papua Origenes Monim menceritakan bahwa sejak berdiri pada 2016, sekolah adat telah menjadi ruang belajar bagi anak-anak di sekitar Danau Sentani. Mereka belajar tentang bahasa, adat, hingga kearifan lokal.

Dengan dukungan pemerintah, akhirnya lembaga tersebut bisa mengembangkan kurikulum muatan lokal, sehingga diresmikan menjadi Sekolah Adat Negeri Papua.

Kini, sudah ada 104 sekolah dari tingkat SD, SMP, hingga SMA yang menerapkan kurikulum muatan lokal bahasa ibu di Kabupaten Jayapura. Sebuah langkah besar dalam membangun kesadaran generasi muda terhadap pentingnya melestarikan bahasa daerah.

Dari sistem yang awalnya bersifat mandiri, kini sekolah adat telah memiliki modul, hingga buku mata pelajaran yang akan diluncurkan tahun 2026. Mata pelajaran itu mencakup berbagai topik, seperti adat istiadat, benda budaya, makanan khas, hingga sistem pembayaran mas kawin.

Kolaborasi lintas lembaga antara sekolah adat, balai bahasa, dan dinas pendidikan merupakan kunci keberhasilan program ini. Diharapkan model serupa dapat diterapkan juga di wilayah lain, termasuk Merauke.

Bagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke, kunjungan ke Kabupaten Jayapura menjadi pengalaman berharga yang menjadi pembelajaran rujukan.

Kepala Bidang Pengendali Perizinan dan Bahasa serta Sastra Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke Untung mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti hasil studi banding itu dengan menyusun modul pembelajaran bahasa ibu.

Pemkab Merauke ingin agar bahasa-bahasa di daerah itu, seperti Bahasa Marind, tidak hilang. Karena itu, pemerintah daerah akan menyiapkan modul pelestarian bahasa ibu agar bisa diterapkan di sekolah dasar, hingga menengah.

Dari kunjungan ke SMA Negeri 1 Sentani dan SMP Negeri 6 Sentani, pihaknya mendapatkan banyak inspirasi baru. Mereka melihat langsung bagaimana siswa dan guru membangun interaksi yang hidup, melalui bahasa daerah.

Dari kunjungan ini Pemkab Merauke mempelajari bahwa pelestarian bahasa, bukan hanya tugas lembaga kebudayaan, tetapi juga bagian dari sistem pendidikan. Komitmen itu membawa semangat untuk menyukseskan program tersebut di Merauke.

Sementara itu di dalam ruang kelas, para siswa tampak bersemangat, saat berlatih percakapan pendek menggunakan Bahasa Sentani, seperti "Helem Foi" yang artinya terima kasih. Ucapan itu disampaikan siswa, ketika rombongan studi banding Merauke meninggalkan ruang kelas.

Antusiasme itu menunjukkan bahwa bahasa daerah, bukan sekadar pelajaran, tetapi jembatan kebersamaan di tengah keberagaman.

Siswa dari berbagai daerah di Nusantara di Kabupaten Jayapura, kini mengenal dan mencintai Bahasa Sentani sebagai bagian dari pengalaman belajar mereka.

Bagi Balai Bahasa Papua, apa yang dilakukan di Kabupaten Jayapura merupakan contoh nyata implementasi kebijakan perlindungan bahasa daerah. Sebuah upaya yang mempertemukan nilai-nilai adat, pendidikan, dan semangat kebangsaan.

"Kalau bukan kita yang meindungi bahasa daerah, lalu siapa lagi? Bahasa adalah identitas, dan kehilangan bahasa berarti kehilangan sebagian dari jati diri kita," ujar Antonius Maturbongs.

Hari semakin siang, Matahari makin terik di langit Sentani, namun semangat peserta studi banding dan para guru tidak pudar. Mereka masih berdiskusi, mencatat, dan sesekali berfoto bersama di ruangan kelas.

Di antara tawa dan percakapan hangat, terlihat secercah harapan baru. Harapan bahwa dari ruang-ruang kelas seperti ini, lahir generasi muda Papua yang mencintai bahasanya, menghargai budayanya, dan siap menjaga warisan leluhurnya.

Ketika rombongan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Merauke bersiap pulang, mereka membawa lebih dari sekedar catatan dan modul. Mereka membawa semangat dari Sentani, sebuah semangat untuk menanam, menjaga, dan menumbuhkan bahasa ibu di tanah sendiri.