Sejarawan Unnes Sebut Soeharto Belum Layak Jadi Pahlawan Nasional, Ini Sebabnya
rival al manaf November 09, 2025 03:30 PM

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Sejarawan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Tsabit Azinar Ahmad menanggapi isu pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional yang memantik perdebatan publik.

Dia menilai wacana itu terlalu prematur dan sebaiknya tidak dibahas dulu sebelum sejarah masa lalu benar-benar dituntaskan.

“Kalau untuk jadi pahlawan nasional, saya kira belum waktunya. Karena masih ada hal-hal yang belum clear, terutama soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di masa pemerintahannya,” kata Tsabit Minggu (9/11/2025).

FOTO - Sejarawan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Tsabit Azinar Ahmad
FOTO - Sejarawan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Tsabit Azinar Ahmad (Dokumentasi Pribadi)

Menurutnya, Soeharto memang memiliki jasa besar dalam menstabilkan ekonomi nasional pasca-1966, ketika inflasi mencapai lebih dari 600 persen. Namun di sisi lain, ada catatan kelam yang tidak bisa dihapus begitu saja.

“Kalau mau jujur, Pak Harto itu memang berjasa memulihkan ekonomi yang terpuruk setelah era Soekarno. Tapi dia juga punya banyak dosa sejarah, terutama dalam hal pelanggaran HAM,” ujarnya.

Tsabit mencontohkan sejumlah peristiwa seperti penembakan misterius (Petrus), kasus Timor Timur, dan represi pasca-1965 terhadap tahanan politik yang menjadi catatan merah pada masa pemerintahan Orde Baru.

“Sebagian pelanggaran HAM berat yang ditetapkan pemerintah era Jokowi itu juga terjadi di masa Soeharto, karena ada keterlibatan negara di situ,” katanya.

Menurutnya, jika melihat dari sisi normatif, Soeharto sebenarnya memenuhi sebagian syarat administratif sebagai pahlawan nasional: tidak pernah berkhianat kepada negara dan tidak pernah dijatuhi hukuman pidana. 

Namun, pahlawan nasional bukan hanya soal kriteria hukum.

“Kalau secara normatif ya bisa saja pantas, tapi kita tidak bisa hanya pakai kacamata itu. Karena gelar pahlawan itu juga bicara tentang nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Ini yang masih jadi persoalan besar,” jelas Tsabit.

Ia menilai, sebelum bicara soal gelar pahlawan, negara harus terlebih dahulu mengurai dan mengakui berbagai persoalan sejarah yang masih menyisakan luka bagi korban.

“Kita harus bisa melihat kajian yang benar-benar ril seberapa besar dosa-dosa politik dan militernya. Jangan sampai pengusulan ini justru membuka kembali trauma lama sebagian masyarakat,” tegasnya.

Menanggapi pernyataan sejumlah pihak, termasuk politisi Fadli Zon, yang menilai Soeharto memenuhi syarat pahlawan nasional, Tsabit menyebut penilaian itu sah-sah saja selama disertai dengan kajian komprehensif.

Tsabit juga menegaskan, Soeharto tidak terlibat langsung dalam peristiwa 1965, namun memanfaatkan momentum tersebut untuk menguatkan posisinya secara politik.

“Dia tidak terlibat dalam peristiwa 65-nya, tapi setelah itu dia mengambil langkah-langkah represif terhadap orang-orang yang dianggap berhubungan dengan PKI. Di situlah letak masalahnya,” kata Tsabit.

“Kalau mau menempatkan Soeharto secara objektif, kita harus jujur menilai. Ia memang punya jasa besar, tapi juga meninggalkan luka yang belum sembuh. Jadi, belum saatnya dia disebut pahlawan nasional.” tambahnya. (Rad)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.