Ringkasan Berita:
- Mantan Kepala Sekolah, Rasnal, PTDH sebagai ASN setelah divonis pidana karena berinisiatif mengumpulkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa untuk membayar honor guru honorer.
- Meskipun niatnya murni untuk membantu guru honorer dan tidak menikmati uang sepeser pun, Rasnal tetap dihukum dan menjalani hukuman satu tahun dua bulan karena dianggap pungutan liar.
- Kini, Rasnal berharap Gubernur Sulawesi Selatan meninjau kembali keputusan PTDH tersebut, menegaskan dirinya hanya ingin menolong
TRIBUNJATENG.COM, LUWU UTARA – Duduk perkara mantan Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Luwu Utara, Rasnal yang tak menerima gaji selama setahun hingga akhirnya berujung pemecatan karena membela guru honorer.
Bersama wali murid yang tergabung dalam komite sekolah, Rasnal merancang iuran sebesar Rp 20 ribu untuk guru honorer.
Namun hal itu justru menjadi blunder hukuman penjara 1 tahun 2 bulan, tak menerima gaji hampir setahun hingga berujung pada pemecatan yang membuatnya kehilangan uang pensiun.
Baca juga: Sosok Rasnal Eks Kepsek SMAN 1 Dipenjara dan Dipecat Tak Jadi ASN Lagi Gegara Uang Rp 20 Ribu
Bagaimana cerita lengkap, Rasnal, sang penolong guru honorer namun mendapatkan hukuman yang amat berat.
Di ruang pertemuan Sekretariat PGRI Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Rasnal duduk berdiskusi dengan rekan guru.
Sesekali matanya menerawang jauh, seperti mengulang masa ketika ia berdiri di depan kelas, mengajar, membimbing, dan memotivasi siswa untuk bermimpi.
Kini, papan tulis itu tinggal kenangan.
Statusnya sebagai aparatur sipil negara dicabut melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD, setelah ia menjalani vonis pidana satu tahun dua bulan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023.
Ironisnya, semuanya berawal bukan dari korupsi atau penyelewengan untuk kepentingan pribadi, melainkan dari niat membantu guru honorer agar tetap mendapatkan hak mereka.
“Saya hanya ingin membantu. Tidak ada sepeser pun yang saya nikmati,” ucapnya lirih.
Awal Niat Membantu Guru Honorer
Kisah itu bermula pada Januari 2018, tak lama setelah Rasnal dilantik menjadi Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara.
Sekitar sepuluh guru honorer datang mengadu karena honor mengajar selama sepuluh bulan pada 2017 belum dibayarkan.
“Saya kaget sekali. Bagaimana bisa mereka tidak dibayar selama itu? Padahal mereka tetap mengajar,” kenangnya.
Sebagai kepala sekolah baru, ia menanyakan ke bendahara dan staf Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).
Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) dana BOSP, hanya guru yang memenuhi empat syarat—terdaftar di Dapodik, memiliki NUPTK, SK Gubernur, dan akta mengajar—yang berhak menerima honor.
Dari sepuluh guru itu, hanya satu yang memenuhi kriteria.
“Saya tidak tega melihat mereka tetap mengajar tanpa bayaran. Ini soal kemanusiaan,” ujarnya.
Musyawarah Orangtua dan Komite Rasnal menggelar rapat dewan guru untuk mencari solusi, kemudian melibatkan komite sekolah dan orangtua siswa pada 19 Februari 2018.
Rapat itu melahirkan kesepakatan: sumbangan sukarela Rp 20.000 per bulan per siswa, dikelola komite untuk membantu honor guru.
“Semua orang tua setuju. Tidak ada paksaan, tidak ada yang menolak. Komite sendiri yang mengetuk palu,” kata Rasnal.
Dana komite itu membuat sekolah bergeliat.
Guru kembali bersemangat, lingkungan sekolah lebih terawat, dan kegiatan belajar mengajar meningkat.
“Saya melihat perubahan nyata. Sekolah hidup kembali,” ujarnya.
Dianggap sebagai Pungli Pandemi 2020
Muncul laporan dari sebuah LSM yang menilai sumbangan orang tua itu sebagai pungutan liar (pungli).
Laporan diterima kepolisian, dan Rasnal menjadi pihak pertama yang dimintai keterangan.
Ia menjalani pemeriksaan dan persidangan hingga akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.
Rasnal menjalani hukuman satu tahun dua bulan, delapan bulan di penjara dan sisanya tahanan kota.
“Saya tidak punya uang 50 juta untuk membayar denda, jadi saya jalani semuanya,” katanya, tersenyum getir.
Kembali Mengajar Tanpa Gaji
Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMA Negeri 3 Luwu Utara.
Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening sejak Oktober 2024.
“Saya sudah mengajar, sudah bebas, tapi gaji saya tidak dibayar. Saya bertahan hampir setahun tanpa gaji,” tuturnya.
Hingga akhirnya keluar keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Pemerintah Provinsi Sulsel melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD.
“Saya terdiam lama. Saya pikir, beginikah nasib seorang guru yang ingin menolong?” ujarnya pelan.
Harapan Tinjauan Ulang Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menyebut kasus Rasnal sebagai pelajaran berharga.
“Pak Rasnal mungkin dianggap melanggar aturan formal, tapi kita tidak bisa menutup mata terhadap niat baiknya. Ia membela guru honorer ketika banyak yang memilih diam,” ucapnya.
Kini, Rasnal hidup bersama keluarganya dan mengandalkan anak-anaknya untuk kebutuhan sehari-hari.
Meski begitu, semangatnya untuk mendidik belum padam.
“Saya hanya berharap, Gubernur Sulsel mau meninjau kembali keputusan itu. Saya bukan malaikat, saya manusia yang ingin membantu,” tuturnya.
“Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi kadang, nasib pahlawan itu justru tak mendapat keadilan,” tambahnya. (*)