Ringkasan Berita:
- Rumah Cendana kini sunyi, hanya suara burung dan genting amblas yang tersisa.
- Slamet, penjaga setia, ungkap anak-anak Soeharto tak lagi datang sejak pandemi.
- Soeharto dianugerahi gelar pahlawan oleh mantan menantunya, Prabowo, di Hari Pahlawan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Suasana sepi menyelimuti rumah di Jalan Cendana nomor 6 hingga 8, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah yang dulu menjadi tempat berkumpul keluarga Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kini tampak usang dan termakan waktu.
Di tengah kesenyapan rumah Cendana, Soeharto justru dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden ke-8 Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam rangka peringatan Hari Pahlawan, Senin, 11 November 2025.
Prabowo adalah mantan suami dari Siti Hediati Hariyadi, yang lebih dikenal sebagai Titiek Soeharto, putri keempat Soeharto.
Dalam upacara di Istana Negara, keluarga Soeharto diwakili oleh dua anaknya: Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut Soeharto.
Di balik pagar besi yang mulai berkarat, rumah Cendana yang pernah menjadi pusat kekuasaan selama 32 tahun itu kini berdiri dalam keheningan.
Tak ada lagi riuh keluarga besar, hanya sisa-sisa kenangan yang tertinggal di sudut-sudut bangunan.
Dari tampak depan, pagar setinggi sekitar 1,5 meter memisahkan rumah dari jalan satu arah.
Cat putih pada pagar telah memudar, dan karat mulai menjalar di bagian penguncinya.
Di balik pagar rumah, pohon-pohon besar masih rimbun, memberi kesan rindang yang kontras dengan suasana sunyi.
Rumah bergaya arsitektur lama itu masih mempertahankan warna hijau militer khas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), dipadu putih di bagian pilar.
Genting rumah terlihat memudar, beberapa bagian bahkan mulai amblas.
Pos penjagaan di bagian depan dan samping rumah masih berdiri, dengan tembok hijau menyerupai pos militer.
Di teras, patung Kartika Eka Paksi—lambang TNI AD yang menggambarkan kekuatan dan kesetiaan—masih terpajang. Namun, plafon rumah banyak yang lapuk dan berlubang.
Di salah satu sudut, terlihat sarang burung di dekat palaron. Beberapa kendaraan roda dua dan empat masih terparkir, milik para penjaga dan pengurus rumah.
Di tengah sunyi rumah tua itu, Slamet berdiri sebagai penjaga yang masih setia. Pria sepuh berbaju batik itu menyambut Tribunnews dengan senyum tipis. Ia telah lama menjaga rumah tersebut.
“Kalau di sini, keadaan seperti ini aja, rumah tidak berubah, paling tambah rusak doang,” ujar Slamet.
Slamet tak mengizinkan wartawan masuk ke dalam rumah. Ia hanya menyebut bahwa rumah itu kini hanya dihuni oleh penjaga berbaju batik dan tactical.
Menurut Slamet, enam anak Soeharto sudah lama tak datang ke rumah Cendana, terutama sejak pandemi Covid-19. Kehadiran keluarga besar Soeharto di rumah itu kini tinggal cerita.
“Dulu waktu sebelum Covid, biasanya ngumpul pas lebaran. Sekarang udah enggak ada yang ke sini,” kata Slamet.
Ia menyebut, anak-anak Soeharto dulu masih datang karena ada Prabosutedjo, adik Soeharto, yang dianggap sesepuh. Namun sejak Prabosutedjo wafat pada 2018, rumah itu tak lagi jadi tempat berkumpul.
“Ya, masih ada sesepuhnya. Semenjak Pak Prabosutedjo almarhum, wacana mau jadi museum kan, akhirnya beliau almarhum, ya sudah. Enggak ada yang dituakan lagi,” jelas Slamet.
Hingga kini, belum ada keputusan resmi terkait wacana museum tersebut.
Meski begitu, Slamet tetap merawat rumah, meski tak seintensif dulu. Ia mengaku bangga saat Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional.
“Ya kalau kita sih senang-senang aja ya. Namanya juga kita menghormati, bagaimanapun juga bos kita, pemimpin kita zaman itu. Terlepas dari plus minusnya, namanya manusia kan, pasti ada plus minusnya. Pro dan kontra itu pasti ada,” tuturnya.
Pengakuan negara terhadap jasa Soeharto datang melalui Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025. Gelar pahlawan nasional diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara kenegaraan di Istana Negara.
Selain Soeharto, gelar pahlawan nasional juga dianugerahkan kepada sembilan tokoh lainnya dari berbagai latar perjuangan.
Mereka adalah Marsinah, aktivis buruh dari Jawa Timur; Abdurachman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 RI; Mochtar Kusumaatmadja, ahli hukum internasional; serta Hajjah Rahma El Yunusiyyah, tokoh pendidikan dari Sumatera Barat.
Nama-nama lainnya meliputi Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin dari NTB, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abisin Syah dari Maluku Utara.
Penganugerahan ini mencerminkan keberagaman kontribusi para tokoh terhadap bangsa, dari perjuangan kemerdekaan, pendidikan, hingga hak-hak pekerja.
Di tengah kondisi rumah yang mulai lapuk, suasana di Cendana menjadi latar yang tak terduga bagi momen reflektif ini.
Rumah yang dulu menjadi pusat kekuasaan selama tiga dekade kini berubah menjadi ruang kenangan yang dijaga oleh mereka yang masih setia.
Tak lagi didatangi oleh keluarga besar yang dulu memenuhinya, rumah ini berdiri dalam keheningan.
Dari pagar berkarat hingga genting yang amblas, setiap sudut menyimpan jejak masa lalu yang perlahan memudar, namun tetap berbicara tentang sejarah yang pernah hidup di dalamnya.