TRIBUNNEWS.COM - Peran jurnalis dianggap menjadi garda terdepan dalam menjaga kebenaran publik, di tengah pusaran arus disinformasi dan misinformasi yang kian deras.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disinformasi adalah penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain.
Sementara misinformasi adalah informasi tidak benar atau tidak akurat yang disebarkan tanpa bermaksud mengelabui penerima.
Gempuran misinformasi dan disinformasi ini tercatat menyebar cepat di media sosial, jurnalis pun dituntut tak hanya cermat menulis, tetapi juga tangguh memverifikasi setiap fakta.
Tujuan besar jurnalisme bukan sekadar memberitakan peristiwa, melainkan memastikan publik memperoleh informasi yang benar, utuh, dan dapat dipercaya.
Semangat ini pula yang dihidupi oleh jurnalis, bahkan pers mahasiswa (persma) di berbagai kampus Indonesia.
Seperti halnya pengalaman yang dibagikan Aqill Adhitya (23) Pemimpin Redaksi dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), kepada Tribunnews.com, saat dikonfirmasi Senin (10/11/2025).
Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam ini menyebut jurnalis di LPM Pabelan UMS sangat berhati-hati dalam memproduksi dan membagikan suatu produk jurnalistik, terlebih dengan menyandang status 'mahasiswa'.
"Kami menyandang status mahasiswa, hal itu tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi kami yang liputan di lapangan," ujar Aqill.
Aqill mengatakan, walaupun demikian, usaha LPM Pabelan UMS untuk menjaga produk jurnalistik berkualitas terus 'membara', pun ketika terjun langsung ke lapangan untuk meliput berita, membaur dengan jurnalis dari media arus utama.
Salah satu konsekuensi dari tantangan tersebut termasuk menghadapi intimidasi hingga penganiayaan saat proses menghasilkan produk jurnalistik yang kritis dan berkualitas.
Diketahui dua anggota LPM Pabelan UMS yang dilaporkan menjadi korban intimidasi dan pemukulan oleh aparat kepolisian saat meliput aksi demonstrasi di depan Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas 1 Surakarta, Jalan Slamet Riyadi, pada Jumat (29/8/2025) lalu.
Insiden tersebut terjadi ketika kedua jurnalis mahasiswa tengah mendokumentasikan jalannya aksi demonstrasi.
Berdasarkan keterangan jurnalis mahasiswa dari LPM Pabelan UMS yang tidak mau disebutkan namanya tersebut, sejumlah polisi berseragam mendatangi dan melarang kegiatan peliputan.
Tak berhenti di situ, mereka juga mengalami tindakan kekerasan berupa pemukulan di lokasi kejadian.
"Tentunya ketika kami ke lapangan, kami selalu berusaha memproduksi berita dengan pendekatan faktual dengan berbagai strategi dan berimbang, dan tentunya dengan judul yang tidak asal bombastis saja."
"Kita akan selalu berusaha mengonfirmasi narasumber terkait. Dan yang paling kami tekankan saat menulis atau memberitakan suatu persoalan adalah keberpihakan kepada korban atau yang tidak mendapat keadilan, dan tentunya kepada kebenaran," lanjutnya.
Di LPM Pabelan UMS sendiri terdapat 4 produk jurnalistik, terdiri dari dua produk audio visual, dua produk berita tulis, sementara untuk proses transkrip, perekaman, dokumentasi, editing, layout, mencari referensi, dan sebagainya dibantu dengan peran teknologi digital.
Produk jurnalistiknya pun disajikan secara online.
Aqill menyebut untuk mempersolek kualitas jurnalisnya, LPM Pabelan UMS rutin melakukan pelatihan, hal ini juga menjadi strategi untuk melawan disinformasi dan misinformasi.
"Dengan pendidikan dan pelatihan dasar, kami baik itu anggota baru maupun lama, kita belajar bersama teknologi yang ada, perangkat yang ada, teknisnya bagaimana, etika jurnalistik bagaimana, reportase yang benar bagaimana. Baik itu dengan mengundang pemateri dari luar, dari jurnalis media mainstream, atau dari alumni kami sendiri," imbuh Aqill.
LPM Pabelan UMS juga melakukan diskusi kultural, dan berupaya meningkatkan literasi sebagai jurnalis.
Dalam situasi derasnya arus misinformasi dan disinformasi seperti saat ini peran jurnalis diuji.
Mereka bukan hanya pelapor peristiwa, tetapi juga penjaga kebenaran di tengah belantara misinformasi dan disinformasi.
Dalam hal ini Kode Etik Jurnalistik bak 'kompas moral' yang harus dipegang teguh para jurnalis ketika memproduksi konten, sehingga berita yang beredar bukanlah propaganda yang bisa memperkeruh keadaan.
Jamalul Insan, jurnalis senior sekaligus Anggota Dewan Pers periode 2019 - 2022 menyoroti bahwa jurnalis saat ini bekerja di tengah era digital yang memungkinkan siapa saja menjadi "produser konten".
“Begitu mudahnya situasi hari ini membuat semua orang punya kesempatan menjadi reporter, menjadi produser konten,” ujarnya, kepada Tribunnews, dalam kelas Journalism Fellowship on Corporate Social Responsibility (CSR) 2025 Batch 2 melalui Zoom, Kamis (4/9/2025).
Hal itu justru membuat arus informasi yang dikonsumsi publik berpotensi menjadi kian liar
Data dari Mamik S Leonardo, Research Director Deka Insight, pada Juli 2019 mendukung pernyataan tersebut.
Ia menyebutkan bahwa lebih dari 93 persen pemilik smartphone lebih sering menggunakannya untuk mengambil gambar, sementara hanya 87 persen yang menggunakannya untuk menelepon.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya kecenderungan masyarakat dalam memproduksi konten visual secara instan.
Pria yang karib disapa Jamal ini mengingatkan bahwa meskipun teknologi telah memudahkan proses distribusi informasi, jurnalisme tetap harus dijalankan dengan prinsip, metode, dan tanggung jawab yang jelas.
Menurutnya cara kerja jurnalistik tidak bisa disamakan dengan sembarang produksi konten.
Harus melalui proses perencanaan, riset, menentukan angle, produksi, hingga pascaproduksi dan distribusi. Semua itu dilakukan dengan mengikuti rambu-rambu kode etik jurnalistik.
Ia juga menjelaskan bahwa pekerjaan jurnalis bukan hanya soal teknis pengambilan gambar atau menulis teks berita.
Tetapi yang paling penting adalah bagaimana menyediakan informasi yang dibutuhkan publik agar mereka mampu mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan sosialnya.
"Ini tujuannya, kita harus menyediakan informasi yang dibutuhkan publik sehingga publik mampu memutuskan dan mengatur diri. Bukan bekerja untuk senang-senangnya saja, bukan, tugas kita adalah termasuk menyediakan informasi yang dibutuhkan publik," ujar Jamal.
Lebih lanjut, Jamal mengingatkan agar jurnalis juga memanfaatkan privilege yang dimilikinya, seperti kemudahan dalam mengakses pusat-pusat informasi.
“Jurnalis bisa langsung menghubungi kepala dinas atau bahkan wali kota. Ini keunggulan yang tidak dimiliki sembarang orang, dan itu harus dimanfaatkan untuk kepentingan publik,” pungkasnya.
Semetara itu jurnalis senior sekaligus Anggota Tim Perumus Pedoman Perilaku dan Standar Pers Profesional Nurcholis MA Basyari menekankan bahwa pers Indonesia wajib menegakkan kaidah-kaidah kerja jurnalistik yang berlandaskan Undang-Undang (UU) Pers, Kode Etik Jurnalistik, serta peraturan lain yang berkaitan dengan dunia pers.
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) ini mewajibkan wartawan untuk selalu menguji informasi, menjaga keberimbangan, dan tidak mencampurkan fakta dengan opini.
Prinsip ini yang diyakini bisa menjadi tali penyelamat dari jebakan misinformasi dan disinformasi.
Menurutnya, hal ini merupakan wujud nyata dari implementasi pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Disebutkannya fungsi pers yang ideal mencakup tiga nilai utama, yakni informasi, edukasi, dan ekspektasi.
“Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sebagai bagian dari kehidupan bernegara ini. Kita (pers) sesungguhnya memiliki peran, berdasarkan juga undang-undang pers (UU Pers) hingga berpatokan pada kode etik."
"Dan peran kita dalam konteks demokrasi adalah pada pilar ke-4 Demokrasi," imbuh Nurcholis, yang juga asesor Uji Kompetensi Wartawan dan Ahli Pers Dewan Pers tersebut, kepada Tribunnews Oktober 2025 lalu.
Nurcholis menekankan bahwa dalam konteks informasi media massa, bukan melulu soal informasi saja namun juga informasi yang mengedukasi.
Informasi yang akurat dan terverifikasi menjadi dasar agar masyarakat tidak terjebak pada hoaks.
Fungsi edukasi menuntut media agar memberikan pemahaman mendalam atas isu yang diangkat.
Sedangkan nilai ekspektasi diwujudkan melalui pemberitaan yang membuka ruang dialog antara masyarakat dengan pemerintah.
Frans Surdiasis, jurnalis senior sekaligus Anggota Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas periode 2024 - 2027, menambahkan bahwa untuk melawan disinformasi dan misinformasi, wajib disiplin verifikasi data.
Disiplin verifikasi data ini ia anggap sebagai ‘nyawa utama’ jurnalisme.
“Berita berbasis data dan fakta adalah semacam jalan lebar menuju era jurnalisme berkualitas,” ujarnya kepada Tribunnews.com, Rabu (10/9/2025).
Frans mengatakan di tengah lingkungan informasi yang makin kompleks, wartawan tidak bisa lagi sekadar mengandalkan nose for news atau insting berita.
Pria yang juga seorang Dosen di Universitas Atma Jaya, Jakarta ini juga menyebut bahwa jurnalis butuh memahami dunia yang kompleks melalui alat bantu yang lain: data.
“Informasi saja tidak lagi cukup. Saat ini kita berada di sebuah era kelimpahan informasi (the abundance of information). Situasi ini justru melahirkan paradox: semakin banyak informasi, semakin sulit bagi kita untuk menentukan mana yang sungguh berarti (meaningful),” ujarnya.
Hingga akhirnya tuntutan terhadap jurnalis makin tinggi.
Menurutnya, kecakapan di dalam managing information dengan pengelolaan data sebagai instrumennya menjadi salah satu prasyarat penting bagi jurnalis untuk mengerjakan tanggung jawabnya.
Frans menerangkan bahwa jurnalisme data memberi ruang lebar-lebar bagi seorang wartawan dalam menegakkan independensinya dalam menyajikan informasi.
Jika independensi ini dianut semua media massa, bukan tidak mungkin tingkat kepercayaan publik terhadap media ikut meningkat.
“Jurnalisme kita tidak sedang baik-baik saja. Kita perlu menyegarkan Kembali jurnalisme dengan memperkuat perannya dalam menyediakan informasi yang bermakna bagi khalayak,” tutupnya.
(Garudea Prabawati)