Ringkasan Berita:
- Kanker leher rahim nomor dua di Indonesia yang paling banyak diderita oleh perempuan di Indonesia
- Angka kematian akibat kanker serviks di Indonesia sering dikaitkan tingkat deteksi yang kurang atau tidak memadai
- Banyak perempuan perempuan merasa sungkan untuk pemeriksaan atau skrining
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia (WamenPPPA) Veronica Tan mengungkapkan, dua alasan perempuan Indonesia enggan melakukan pemeriksaan atau skrining kanker leher rahim.
Padahal merujuk data yang ada, kanker leher rahim merupakan kanker nomor dua di Indonesia yang paling banyak diderita oleh perempuan Indonesia, dimana tercatat setiap hari ada 56 kematian karena kanker serviks.
Angka kematian akibat kanker serviks di Indonesia sering dikaitkan tingkat deteksi yang kurang atau tidak memadai.
Dengan kata lain, pemeriksaan jika dilakukan lebih awal, bisa memperbesar peluang kesembuhan.
Skrining kanker leher rahim dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti Pap smear, tes HPV (Human Papillomavirus), dan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA).
Tes-tes ini untuk mendeteksi infeksi HPV agar dapat ditangani sebelum berkembang menjadi kanker.
Veronica merinci, pertama, adalah faktor budaya. Dari dulu perempuan Indonesia kental dengan stigma.
Perempuan seolah-olah harus menerima apapun yang terjadi.
"Faktor itu yang selalu membuat mereka akhirnya ya sudah jalanin hidup apa adanya saja, tanpa harus berjuang," tutur dia saat memberikan keynote dalam acara MSD di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (17/11/2025).
"Jadi balik lagi mindset dari perempuan itu sendiri dan sebagai keluarga itu yang harus diedukasi," lanjut dia.
Kedua, karena faktor agama. Pemeriksaan kanker serviks berkaitkan dengan organ sensitif perempuan.
Banyak perempuan perempuan merasa sungkan untuk pemeriksaan, terutama jika dilakukan oleh dokter laki-laki.
Tak banyak perempuan harus mendapatkan izin dari pasangan sebelum melakukan pemeriksaan kanker serviks.
Ia pun mengajak, semua perempuan untuk mengikuti cek kesehatan gratis (CKG) sebagai upaya deteksi dini.
"Ada faktor yang membuat rasa malu, rasa tidak boleh, faktor agama itu terhambat. Inilah problem yang ada dan menjadi tantangan bagaimana semua mulai mengedukasi para perempuan ini," tutur Veronica Tan.
Ditambahkan Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) Prima Yosephine, sebagai upaya pencegahan lainnnya, pihak sejak 2016 sudah mengimplementasikan secara nasional vaksinasi HPV.
Di 2023, capaian imunisasi HPV 90 persen1,9 dari 2,1 Juta anak perempuan kelas 5 SD telah mendapatan Imunisasi HPV.
Di 2025, dimulai pemberian imunisasi HPV satu dosis untuk anak perempuan usia kelas 5 SD, dan kejar usia kelas 6 SD dan 9 SMP.
"Imunisasi HPV dilakukan pada Anak Sekolah dalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)," kata dr Prima.