TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi XII DPR RI, Ramson Siagian, menekankan perlunya percepatan revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Menurutnya, aturan baru ini sebagai fondasi untuk mendukung visi Presiden Prabowo mencapai swasembada energi nasional.
Ramson menyebutkan bahwa revisi UU Migas sebenarnya sudah masuk daftar prioritas sejak periode 2014–2019 dan dilanjutkan pada 2019–2024. Namun sampai sekarang, prosesnya belum selesai. Padahal, kondisi energi nasional makin berat karena tingginya ketergantungan terhadap impor minyak.
Oleh karena itu, Ramson menerangkan bahwa Komisi XII menargetkan agar pembahasan revisi RUU Migas dapat diselesaikan pada persidangan pertama tahun depan, yakni paling lambat Maret 2026.
“Kalau kita reses 9 Desember dan masuk kembali awal Januari, maka Januari–Maret itu kami ingin bisa menuntaskan pembahasan. Harapannya selesai pada persidangan pertama tahun depan, artinya Maret 2026,” ujar Ramson dalam keterangan resminya.
Hal itu disampaikan Ramson saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI dengan PT Pertamina (Persero) beserta seluruh subholding, di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Legislator Fraksi Partai Gerindra tersebut kembali menegaskan bahwa percepatan revisi UU Migas adalah kebutuhan mendesak, terutama karena tren penurunan produksi minyak yang berpotensi mengganggu ketahanan energi nasional.
“Saat Bapak Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden RI, permintaan BBM kita sudah mencapai 1,6 juta barel per hari. Sementara lifting kita hanya sekitar 600 ribu barel per hari. Proyeksi 2025 hanya naik menjadi 605 ribu, artinya kita masih harus impor sekitar 1 juta barel per hari,” jelas Ramson.
Ramson memaparkan untuk mencapai swasembada energi, terdapat dua langkah besar yang harus dipercepat, yakni diversifikasi energi serta peningkatan lifting minyak dan gas. Kondisinya kian mendesak karena produksi migas nasional justru terus menurun sejak UU Migas diterbitkan pada 2001.
“Dulu tahun 2000 produksi minyak kita 1,4 juta barel per hari, sekarang tinggal 600 ribu. Banyak keluhan dari K3S soal birokrasi yang berbelit. Sejak UU 22/2001 diundangkan, produksi malah menurun terus,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ramson menyampaikan usai DPR menyelesaikan draf revisi RUU Migas, selanjutnya Presiden akan menerbitkan Surat Presiden (Surpres) untuk menunjuk Menteri atau Pejabat Pemerintah yang akan mewakili eksekutif dalam pembahasan.
Mengingat, meski Indonesia tengah mendorong transisi menuju energi bersih dan target Net Zero Emission 2060 kebutuhan BBM untuk sektor transportasi masih akan tetap tinggi dalam jangka panjang.
“Populasi kendaraan listrik masih sangat kecil, termasuk di Jepang. Jadi sampai 2060 pun BBM masih dibutuhkan dalam jumlah besar, khususnya untuk sektor transportasi,” ujarnya.
Menutup wawancara, Ramson menjelaskan sejumlah poin substansi krusial yang akan diperkuat dalam revisi UU Migas, terutama yaitu pembentukan/penataan ulang badan pengelola perizinan migas. Badan ini akan mengatur seluruh proses perizinan, mempercepat dukungan terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S), dan mempermudah kegiatan survei, eksplorasi, hingga produksi.
Selain itu, Ia menekankan perlunya evaluasi terhadap model lembaga seperti pada UU Nomor 8 Tahun 1971, di mana sistem berada di bawah Hulu Pertamina sehingga proses perizinan menjadi lebih sederhana.
Poin kedua, yang tak kalah penting yakni penguatan kebijakan fiskal dan insentif. Pemerintah perlu merancang skema fiskal yang lebih menarik bagi investor migas agar kegiatan eksplorasi kembali bergairah. Serta pembentukan dana khusus eksplorasi. Dana ini diproyeksikan untuk mendorong survei dan pencarian cadangan-cadangan migas baru.
Dengan percepatan revisi UU Migas, Ramson berharap regulasi baru nantinya dapat menjadi landasan kuat untuk meningkatkan produksi migas nasional, mengurangi ketergantungan impor, dan mendukung visi Presiden Prabowo dalam mewujudkan swasembada energi Indonesia.