Jeratan Pasal Bertambah, Polisi Kini Akui Kacab Bank BUMN Ilham Pradipta Korban Pembunuhan
Satrio Sarwo Trengginas November 18, 2025 08:30 PM

TRIBUNJAKARTA.COM, KEBAYORAN BARU - Penyidik Polda Metro Jaya akhirnya menjerat para tersangka penculikan kepala cabang (kacab) bank BUMN, Mohamad Ilham Pradipta, dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.

Semula, para tersangka hanya disangkakan Pasal 328 dan 333 KUHP tentang penculikan dan perampasan kemerdekaan orang lain.

Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Abdul Rahim mengatakan, penambahan pasal ini dilakukan setelah penyidik mendapat petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Abdul menjelaskan, penyidik juga sedang mendalami penerapan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana terhadap para tersangka.

"Benar, di awal memang kami menerapkan Pasal 328 dan 333 KUHP. Kemudian berdasarkan berkas yang sudah kami ajukan ke JPU, diteliti, ada petunjuk kepada kami untuk menambahkan Pasal 338 dan mendalami Pasal 340," kata Abdul, Selasa (18/11/2025).

Saat ini, lanjut Abdul, polisi tengah merampungkan berkas perkara untuk selanjutnya dikembalikan ke kejaksaan.

"Petunjuk itu sedang kami lengkapi juga. Mungkin dalam waktu dekat, berkas akan kami kembalikan kepada JPU," ujar dia.

Sementara itu, Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Putu Kholis mengungkapkan, tidak semua tersangka dalam kasus ini dijerat Pasal 338 KUHP.

Hanya dua tersangka berinisial MN dan YJP yang dijerat pasal pembunuhan.

"Klaster yang masuk ke (pasal) pembunuhan yaitu yang ada di dalam mobil Fortuner, dalam hal ini yaitu MN dan YJP," ungkap Putu.

Sebelumnya, kuasa hukum keluarga korban, Ardian Pratomo, mengatakan peristiwa ini bukan penculikan biasa, melainkan pembunuhan berencana.

"Meskipun mereka ingin mengatakan bahwasanya ini bukan hal yang direncana atau bukan merupakan pembunuhan, tapi faktanya mengatakan dalam rekonstruksi tersebut itu bisa dilihat memang ada unsur pembunuhannya," kata Ardian kepada Senin (17/11/2025).

Ardian mengungkapkan, para tersangka sudah berencana menghabisi nyawa Ilham dengan menyiapkan sejumlah peralatan seperti lakban dan handuk.

Lakban tersebut digunakan para tersangka untuk menutup mulut korban. Sedangkan handuk digunakan untuk mengikat leher dan menyeret korban keluar dari mobil.

"Karena apa? Tidak mungkin seorang yang tidak ingin merencanakan pembunuhan menyiapkan segala macam, termasuk di antaranya lakban, handuk dan sebagainya," ungkap dia.

Ia meyakini korban sudah dalam kondisi tak bernyawa ketika dibuang di lahan kosong di wilayah Bekasi.

Menurut dia, para tersangka memiliki opsi untuk menyelamatkan korban. Namun, hal itu tidak dilakukan hingga korban meninggal dunia.

"Untuk pasalah perencanaannya itu nanti akan kita dorong agar segala macam perencanaan dari awal sampai akhir itu merupakan satu rangkaian terstruktur yang itu memang ending-nya untuk menghabisi korban. Karena ada opsi yang seharusnya bisa dilakukan untuk menyelamatkan korban, tapi itu tidak digunakan," ujar Ardian.

Adapun kasus ini bermula saat tersangka berinisial C alias Ken bertemu dengan pengusaha Dwi Hartono alias DH. 

Ketika itu, Ken mengutarakan niatnya untuk memindahkan uang dari rekening dormant ke rekening penampung.

"Sehingga dalam rencana ini, C alias Ken sudah menyiapkan tim IT," kata Brigjen Wira Satya Triputra yang saat itu menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Selasa (16/9/2025).

Ken menyadari bahwa diperlukan persetujuan dari kacab bank untuk memuluskan aksinya. Ken mengaku sudah berupaya mendekati sejumlah kacab bank, namun upayanya tak pernah berhasil.

Ken, Dwi Hartono, dan tersangka lainnya berinisial AAM lalu menggelar pertemuan untuk membahas rencana jahatnya pada 31 Juli 2025.

"Pada tanggal 12 Agustus 2025, C alias K bersama dengan DH berkomunikasi melalui WhatsApp dan di dalam komunikasi tersebut, mereka memutuskan untuk memilih opsi satu, yaitu melakukan pemaksaan dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan. Setelah itu, korban dilepaskan," ujar Dirreskrimum.

Empat hari berselang, Dwi Hartono mengajak tersangka JP untuk bertemu di wilayah Cibubur. Saat itu, Dwi Hartono meminta JP mencari preman untuk menculik korban.

Dwi menindaklanjuti permintaan Ken dengan mendatangi rumah oknum anggota TNI berinisial Serka N. Setelahnya, Serka N menghubungi Kopda F dan meminta dicarikan tim penculik.

"Kemudian saudara F menunjukan foto (korban) kepada tim saudara E lalu memberitahukan untuk menjemput paksa orang tersebut dan mengantarkannya kepada tim yg disiapkan oleh JP," ungkap Wira.

Pada 20 Agustus 2025, korban diculik oleh kelima tersangka berinisial E, R, B, R, dan A di area parkir supermaket di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Korban dimasukkan secara paksa ke mobil Toyota Avanza berwarna putih.

Korban kemudian diserahkan ke tim lainnya yang beranggotakan tersangka JP, N, U, dan D. Korban dipindahkan ke mobil Toyota Fortuner berwarna hitam di wilayah Kemayoran, Jakarta Pusat.

Dari Kemayoran, korban mulanya hendak dibawa ke safe house yang telah disiapkan. Namun, rencana itu batal karena tim penjemput tak kunjung datang.

Korban pun dibuang di area persawahan yang jauh dari permukiman warga di wilayah Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.

"Korban kondisinya korban sudah agak lemas, akhirnya korban dibuang di daerah Cikarang dalam keadaan kondisi kaki dan tangan masih terikat dan mulut dalam kondisi terlakban atau dilakban," ujar Wira.

Berita terkait

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.