Aceh dan Amanah Indonesia Emas 2045
Ansari Hasyim November 20, 2025 11:32 PM

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonmomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

PENYELENGGARAAN Silaknas ICMI pada 5-6 Desember 2025 yang mengusung tema “Meneguhkan Peran Cendekiawan Muslim untuk Mewujudkan Indonesia Emas” adalah sebuah penegasan sekaligus panggilan kolektif. Tema ini bukanlah retorika kosong, melainkan mandat intelektual dan spiritual yang harus dijawab dengan aksi nyata, khususnya di daerah yang memiliki kekhasan sejarah dan budaya seperti Aceh.

Visi Indonesia Emas 2045, yang menargetkan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi top lima dunia dengan pendapatan per kapita USD 23.199, adalah sebuah impian besar. Namun, impian itu akan menguap jika tidak diiringi dengan pembangunan manusia yang berkualitas dan merata di seluruh penjuru Nusantara, termasuk di Serambi Mekkah.

Tantangan Indonesia Emas di Bumi Serambi Mekkah

Di balik optimisme nasional, Aceh menghadapi tantangan yang unik dan kompleks. Untuk mewujudkan kontribusi nyata bagi Indonesia Emas, kita harus jujur membaca peta masalah di depan mata.

Pertama Bonus Demografi yang Belum Optimal: Aceh, seperti Indonesia secara keseluruhan, juga menikmati bonus demografi. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh mencatat jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang signifikan. Namun, potensi ini belum sepenuhnya tergarap. Data Februari 2024 menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh masih sebesar 6.62 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Yang lebih memprihatinkan adalah tingginya pengangguran di kalangan tamatan SMA dan sederajat (12.22 % ) serta diploma/universitas (8.12 % ). Ini adalah sinyal darurat bahwa terdapat kesenjangan antara dunia pendidikan dengan pasar kerja.

Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh pada 2023 berada di angka 73,49, masih di bawah rata-rata nasional (73,84) dan jauh di bawah DKI Jakarta yang mencapai 82,48. Jika kualitas SDM tidak ditingkatkan, bonus demografi hanya akan menjadi beban.

Kedua Ketimpangan dan Ketergantungan pada Sumber Daya Alam: Struktur ekonomi Aceh masih sangat bergantung pada sektor migas dan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Sementara itu, kesenjangan antara kabupaten/kota masih terasa. Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh Jaya, misalnya, memiliki IPM yang jauh lebih rendah dibandingkan Kota Banda Aceh.

Ketergantungan ini membuat ekonomi Aceh rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Di sisi lain, ancaman degradasi lingkungan, seperti alih fungsi hutan dan lahan serta kerusakan ekosistem pesisir, juga merupakan tantangan serius yang mengancam keberlanjutan pembangunan.

Ketiga Revolusi Digital dan Tantangan Nilai: Gelombang Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 telah sampai ke Aceh. Sayangnya, akses dan literasi digital yang tidak merata berpotensi memperlebar kesenjangan.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2023-2024 mencatat penetrasi internet di Aceh masih perlu ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalan dari pulau Jawa. Di ruang digital yang sudah terakses, kita dihadapkan pada banjir informasi yang memicu merebaknya hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial.

Nilai-nilai keislaman yang menjadi jiwa Aceh, seperti kejujuran, amanah, dan ukhuwah, terancam tergerus oleh arus deras individualisme dan materialisme.

Tiga Pilar Peran Cendekiawan Muslim Aceh

Dalam menghadapi tantangan ini, cendekiawan muslim Aceh tidak boleh menjadi menara gading yang hanya pandai berteori. Peran kita harus diteguhkan pada tiga pilar yang sinergis: Intelektualitas, Spiritualitas, dan Sosialitas.

Pertama, Peran Intelektual (Al-‘Aql): Menjadi Problem Solver Kontekstual. Cendekiawan muslim Aceh harus memimpin inovasi yang menjawab persoalan lokal. Ini berarti:

  • Mendorong Riset Aplikatif: Dunia kampus dan lembaga riset di Aceh harus fokus pada penelitian yang dapat diimplementasikan. Misalnya, riset tentang budidaya pala, kopi, atau porang dengan teknologi tepat guna untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani. Riset tentang energi terbarukan seperti mikrohidro dan solar cell untuk mengatasi ketergantungan pada listrik dari fosil dan membawa listrik ke daerah terpencil.
  • Revolusi Pendidikan Vokasi: Kita harus menjadi garda depan dalam merancang kurikulum pendidikan yang link and match dengan kebutuhan industri, sekaligus mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan (entrepreneurship) dan akhlak. Lulusan tidak hanya siap kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja.
  • Memimpin Inovasi Digital: Cendekiawan muslim di bidang teknologi informasi harus mengembangkan platform-platform digital yang mendukung ekonomi kerakyatan, seperti e-marketplace untuk produk UMKM Aceh, aplikasi wisata halal, atau sistem edukasi daring untuk daerah pelosok.

Kedua, Peran Spiritual (Al-Qalb): Menjadi Penjaga Moral dan Moderasi. Sebagai Serambi Mekkah, Aceh memiliki tanggung jawab moral untuk menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Cendekiawan muslim harus:

  • Menjadi Role Model: Menjadi teladan dalam integritas, kejujuran, dan sikap amanah dalam setiap bidang yang digeluti. Kepercayaan publik harus dibangun dengan keteladanan, bukan janj
  • Aktif Melawan Hoaks: Memimpin gerakan literasi digital dengan menyebarkan narasi-narasi berbasis data dan ilmu pengetahuan. Meluruskan hoaks dengan cara yang santun dan argumentatif, bukan dengan emosi.
  • Promosikan Wasathiyyah: Mempromosikan Islam yang moderat dan toleran melalui kajian, tulisan opini, dan dakwah yang menyejukkan. Dalam konteks Aceh yang multietnis, peran ini sangat krusial untuk menjaga kerukunan dan persatuan.

Ketiga, Peran Sosial (Al-‘Amal): Turun Gunung Membumi Bersama Masyarakat. Ilmu tanpa amal adalah kesia-siaan. Cendekiawan muslim harus turun dari menara gadingnya dan membumi.

  • Program Pemberdayaan Nyata: ICMI Aceh, misalnya, dapat menginisiasi program "Satu Desa Satu Cendekiawan" dimana anggota ICMI mendampingi satu desa untuk mengidentifikasi potensi dan menyelesaikan masalahnya. Bisa melalui pendirian rumah baca, pelatihan keterampilan digital untuk pemuda, atau pendampingan hukum bagi masyarakat marginal.
  • Jembatan Aspirasi: Menjadi mediator yang konstruktif antara pemerintah dengan rakyat. Menyampaikan aspirasi masyarakat dengan data, sekaligus mensosialisasikan kebijakan pemerintah dengan bahasa yang mudah dipahami.
  • Advokasi Berkelanjutan: Melakukan advokasi kebijakan yang pro-pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pro-lingkungan, dan pro-kaum lemah.

Kolaborasi untuk Aceh Tangguh, Indonesia Emas

Kepada seluruh cendekiawan muslim Aceh, baik yang berada di birokrasi, akademisi, dunia usaha, maupun organisasi masyarakat, marilah kita satukan langkah. Mewujudkan Indonesia Emas dimulai dari mewujudkan Aceh yang Emas: Aceh yang maju, sejahtera, berdaulat pangan dan energi, serta tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam yang berkemajuan.

Mari kita renungkan firman Allah dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11: “...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...”

Derajat yang tinggi itu bukan untuk disombongkan, melainkan untuk semakin tunduk dan bersyukur, serta untuk semakin tulus mengabdi bagi kemaslahatan umat dan bangsa.

Dengan meneguhkan tiga pilar peran cerdas tersebut, akal, hati, dan tangan insya Allah, cendekiawan muslim Aceh akan menjadi pilar kokoh yang menyangga tegaknya Indonesia Emas 2045. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.