Oleh: Ir M Nasir, SHut, MSi *)
Di ruang-ruang rapat Senayan, draf revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) kembali menjadi perbincangan serius.
Beberapa pasal diusulkan berubah, sebagian ditambah, sementara publik Aceh mulai gelisah menjaga marwah MoU Helsinki agar tidak hilang arah.
Ruang senyap Aceh menjadi gaduh. Namun gaduhnya bukan sekadar bising politik.
Ada kegundahan yang jauh lebih halus namun nyata yaitu kegelisahan alam Aceh.
Dalam suasana seperti ini, Aceh membutuhkan bukan hanya suara politik, tetapi juga suara akal sehat suara yang lahir dari nurani sejarah dan kecintaan terhadap Bumi Serambi Mekah.
Bagi Aceh, UU ini bukan sekadar teks.
Ia adalah jejak panjang sebuah perjuangan, harga diri sebuah bangsa yang pernah menggetarkan dunia, dan kompas yang mengarahkan bangunan masa depan kita.
Namun hari ini, revisi UUPA membawa pesan ganda: peluang besar, tapi juga bayang-bayang risiko.
Di sinilah kita perlu jernih membaca arah.
Aceh dianugerahi kekayaan alam yang tak semua daerah miliki.
Mangrove kita membentang di pesisir, rawa gambut menyimpan jutaan ton karbon di pedalaman, gunung hutan menjadi rumah bagi ribuan spesies endemik.
Semua ini bukan sekadar “lahan”--tetapi penyangga kehidupan dan identitas ekologis Aceh.
Karena itu, setiap pasal yang disentuh dalam revisi UUPA--baik soal kewenangan, fiskal, migas, aset daerah, hingga aturan investasi--secara otomatis menyentuh soal lingkungan.
Tidak ada pembangunan tanpa dampak alam.
Tidak ada keputusan fiskal yang tidak menggerakkan tanah, pesisir, dan sungai kita.
Jika revisi ini keliru arah, maka yang paling dulu merasakan getirnya adalah ekosistem Aceh.
Revisi UUPA sebenarnya membuka peluang besar. Jika dijalankan dengan jernih, ia dapat mempertegas kewenangan Aceh dalam menjaga SDA-nya sendiri.
Ia dapat menjadi dasar hukum bagi ekonomi hijau: perdagangan karbon mangrove, perlindungan gambut, penataan ruang yang adil, serta investasi yang patuh pada prinsip kehati-hatian ekologis.
Aceh bisa menjadi contoh nasional bahkan ASEAN dalam pengelolaan lingkungan berbasis kekhususan daerah.
Inilah jalur modern Aceh: bukan hanya provinsi kaya SDA, tetapi provinsi bijaksana mengelola warisannya.
Bayangkan jika Aceh punya kerangka hukum khusus untuk perdagangan karbon yang transparan dan berpihak pada masyarakat lokal, perlindungan gambut dan restorasi mangrove sebagai investasi masa depan nelayan, dan kebijakan investasi yang tunduk pada prinsip kehati-hatian ekologis.
Itu semua sangat mungkin asal UUPA diperkuat, bukan dipereteli.
Namun, mari kita bicara jujur. Setiap revisi aturan membawa dua wajah.
Ada kemungkinan bahwa revisi ini membuka jalan bagi investasi besar yang belum tentu membawa pembaharuan.
Dalam berbagai kasus di Indonesia, keleluasaan investasi tanpa penjagaan lingkungan berakhir pada kerusakan hutan, banjir bandang, konflik lahan, dan hilangnya ruang hidup masyarakat adat.
Kekuatan UUPA justru terletak pada kewenangan mengatur dan mengawasi.
Jika pengawasan dilemahkan, jika prosedur dipangkas tanpa perhitungan ekologis, maka “kekhususan Aceh” hanya akan menjadi kata kata kosong.
Alam dan rakyatlah yang menanggung akibat paling panjang.
Jangan pernah dan tidak boleh ada alergi terhadap MoU Helsinki.
Sebab MoU itu bukan sekedar dokumen politik, bukan pula catatan teknokratis yang dapat dirumuskan ulang.
MoU adalah kesepakatan martabat, lahir dari luka sejarah, perjuangan panjang dan komitmen Pemerintah Indonesia serta GAM untuk mengakhiri konflik secara “damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua”.
MoU Helsinki memberi Aceh ruang yang sangat jelas: kewenangan luas dalam seluruh sektor publik; hak mengelola sumber daya alam hingga 70 persen; hak menetapkan pajak daerah; hingga hak memiliki simbol wilayah seperti bendera, lambang, dan himne. Aceh diberi ruang untuk mengurus tanah sendiri, menata kekayaannya sendiri, dan menjaga alamnya sendiri.
Revisi UUPA ini harus menjadi penegasan, bukan pelunturan terhadap semangat perdamaian dan kemandirian Aceh. Bila itu terjadi, bukan hanya rakyat yang kehilangan arah alam pun akan semakin gelisah.
Setiap jengkal hutan yang hilang, mangrove yang ditebang, gambut yang dikeringkan, membawa Aceh lebih dekat ke bencana alam yang sama sekali tidak memandang siapa pejabat dan siapa rakyat.
Kepada para pengambil kebijakan, kita berharap memastikan revisi UUPA memperkuat, bukan mengurangi kewenangan Aceh dalam menjaga lingkungan, memasukkan instrumen “ekonomi hijau” sebagai sumber PAD masa depan, membangun mekanisme pengawasan dan pelibatkan masyarakat lokal, dan memastikan setiap keputusan selaras dengan MoU Helsinki sebagai kompas moral Aceh.
Aceh pernah berdiri tegak karena alamnya, pesisir Aceh menjadi benteng sejak zaman kesultanan.
Hutan Aceh menjadi penyelamat ketika gelombang konflik menggulung. Alam Aceh selalu bersama kita maka kita pun harus bersamanya.
Karena pada akhirnya, ketika politik berubah dan regulasi bergeser, hanya alam yang tetap menjadi penopang kehidupan. Ketika UUPA digoyang, alam Aceh pun berhak bersuara.(*)
*) PENULIS adalah praktisi lingkungan hidup/Ketua Yayasan Inisiatif Berkelanjutan Indonesia.