BEM Undip Nilai Partisipasi Publik pada RKUHAP Palsu, Proses Legislasi Dipertanyakan
muh radlis November 21, 2025 02:30 PM

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Adam Firdaus sedang berada di sekretariat ketika kabar itu mampir ke ponselnya.

Kabid Sosial dan Politik BEM Universitas Diponegoro tersebut merasa pencatutan dukung RUU KUHAP tidak pernah dilakukan.


“Kita kaget. Tidak ada informasi apa pun yang masuk,” ujarnya dikutip dari YouTube Tribun Jateng pada program Saksi Kata, Jumat (21/11/2025).


Nama BEM Undip tercantum sebagai salah satu pihak yang disebut menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). 


Padahal, kata Adam, mereka sama sekali tidak pernah memberikan dukungan.

Bahkan, audiensi yang semula hendak mereka lakukan justru dibatalkan karena merasa proses partisipasi politik yang ditawarkan DPR tidak tulus.


“Dari awal kita sudah berniat audiensi, tetapi banyak yang kita rasa hanya bentuk partisipasi palsu.

Banyak yang diundang, tetapi daftar inventarisir masalah yang disampaikan tidak diakomodir.

Makanya kita tidak melangsungkan audiensi,” jelasnya.


Adam menyebut pencatutan nama ini bukan sekadar kekeliruan teknis.

Ia menyebutnya sebagai keluputan fatal lembaga negara.


“Sebetulnya saya pribadi kecewa dan sedih.

Karena sebuah lembaga legislatif punya kesalahan dalam mencantumkan lembaga lain. Itu hal yang krusial,” katanya.


Ancaman Somasi Jika Tidak Diklarifikasi


BEM Undip kemudian mengirimkan pernyataan sikap.

Dalam dokumen itu, mereka memberi tenggat 3x24 jam kepada DPR RI untuk memberikan klarifikasi.

Jika tidak digubris, mereka siap menempuh jalur hukum.


“Kita awalnya ingin mensomasi DPR RI, karena berkaitan dengan kecacatan pencatatan nama lembaga.

Kita sudah menyampaikan, kalau 3x24 jam tidak direspons, ya kita akan somasi,” ujarnya menegaskan.


Yang diminta BEM Undip tidak bertele-tele: klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka dari jajaran pimpinan DPR.

Adam menyebut minimal dari Ketua Komisi III Habiburrahman, Ketua DPR RI Puan Maharani, atau Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.

Mereka ingin pertanggungjawaban langsung, bukan sekadar unggahan grafis.


“Bukan hanya BEM Undip yang dicatat.

Ada beberapa lembaga dan NGO lain yang juga masuk.

Ini bukan kesalahan kecil,” kata Adam.


Kritik Substansial: Reformasi Kepolisian Terancam Mandek


Terlepas dari polemik pencatutan nama, BEM Undip sejak awal memang menolak pengesahan RKUHAP.

Bagi mereka, aturan itu memperluas kewenangan kepolisian dan berpotensi memperlambat agenda reformasi di institusi tersebut.


“Dalam hukum materinya kan sudah disahkan. Dan formilnya ya diperlukan RKUHAP untuk disahkan.

Tapi banyak catatan substansial. Disahkannya RKUHAP ini malah memperlambat reformasi kepolisian,” tegas Adam.


Ia menyebut sejumlah pasal berpotensi memperluas ruang penyelewengan.

Karena itu, BEM Undip menegaskan sikap resminya menolak pengesahan RKUHAP dan mendorong perubahan pada pasal-pasal bermasalah.


Langkah lanjutan pun disiapkan.

Seperti turun kejalan dan membuka opsi judicial review apabila payung hukum tersebut sudah resmi berlaku. 


“Kalau sudah disahkan, perlu upaya hukum lewat judicial review,” ujarnya.


Keraguan atas Klaim “Partisipasi Publik” DPR-RI


Bagi Adam, pencatutan nama BEM Undip tak bisa dilepaskan dari isu yang lebih besar: klaim DPR soal proses partisipasi publik dalam penyusunan RKUHAP.

Ia menyebutnya sebagai praktik “claiming” yang mencederai transparansi demokrasi.


“Ini bentuk partisipasi palsu. DPR menyebarkan bahwa mereka sudah membuka partisipasi, meaningful participation, transparan.

Padahal di dalamnya hanya formalitas dan seremonial,” tukasnya.


Ia menilai daftar lembaga yang dicantumkan oleh DPR menunjukkan pola yang sama: menghadirkan nama untuk mengesankan keterlibatan publik, tanpa benar-benar mencatat substansi masukan yang pernah diberikan.


Ruang Demokrasi di Kampus: Tetap Bersuara


Meski kecewa, Adam menegaskan BEM Undip tak akan mundur.

Ruang demokrasi di kampus, katanya, harus dijaga dari segala bentuk pencatutan atau manipulasi.


“Terkhusus di Undip, ruang demokrasi tetap terjaga.

Mau dicatut atau tidak, kita tetap bersuara, tetap turun ke jalan, tetap menyampaikan aspirasi,” ujarnya.


Ia berharap ada tindak lanjut nyata dari DPR, bukan sekadar permintaan maaf. 


“Harus dibuka secara transparan: audiensi itu apa saja, hasilnya apa, dan apa yang berubah dari masukan publik,” katanya.


Perwakilan Undip Yang Ikut Diskusi RKUHAP


Pada kesempatan yang sama Ilman Nurfathan merupakan perwakilan Pekan Progresif FH Undip yang diundang untuk diskusi pendapat umum pada 20 Mei 2025 di Jakarta.


Ilman sebagai ketua pelaksana datang bersama rekannya hadir membawa setumpuk rekomendasi 21 poin kritik atas RKUHAP yang mereka susun berbulan-bulan bersama mahasiswa lainnya.


Namun ia pulang dengan dada sesak.


“Yang kami rasakan itu meaningful participation-nya tidak ada.

Right to be heard, right to be considered, right to be explained tiga hal itu tidak kami dapat. 

Bahkan ada penolakan, pembatasan, yang terasa mengintimidasi.” jelasnya.


Ia baru benar-benar naik pitam ketika DPR mencantumkan nama BEM Universitas Diponegoro sebagai pihak yang setuju terhadap RKUHAP, alih-alih menyebut penyelenggara forum, yaitu Pekan Progresif FH Undip. 


Padahal segala persuratan, undangan, hingga pelaksanaan audiensi dilakukan atas nama Pekan Progresif, bukan BEM tingkat universitas.


“Ini sangat disayangkan.

Nama lembaga itu krusial. 

Ketika salah, interpretasi publik ikut salah,” tuturnya. 


Ilman Sebut : "Ada Pembatasan Bicara"


Cerita Ilman mengenai audiensi hari itu menggambarkan suasana yang jauh dari ideal.

Ia menyebut ada pembatasan waktu yang ketat dan batasan topik yang harus dipatuhi.


“Kami hanya boleh menyampaikan poin-poin tertentu. Tidak boleh utuh.

Dibatasi waktu.

Itu yang membuat kami tidak bisa menjelaskan secara kompeten, itulah yang kami maksud tidak adanya right to explain.” jelasnya.


Ketika Pekan Progresif mencoba mengangkat isu pra-peradilan salah satu titik paling krusial dalam agenda reformasi hukum acara pidana jawaban dari pimpinan rapat membuat mereka kecewa.


Ilman mengutip respons Ketua Komisi III, Habiburrahman, yang menurutnya hanya menjawab dari sudut pandang political will, bukan substansi.


“Menurut beliau, hambatan RKUHAP sejak 2012 itu ada di isu hakim pemeriksaan pendahuluan. Jadi tidak perlu dibahas terlalu dalam.

Yang penting sahkan dulu RKUHAP.” ujarnya.


Ilman menggeleng saat bercerita, seolah masih tak percaya. 


“Padahal itu rekomendasi utama kami.

Pra-peradilan hari ini bersifat pasif, sementara tidak semua warga negara punya kecakapan hukum yang sama.

Perlu peradilan yang aktif, yang memeriksa potensi penyelewengan sejak awal.” paparnya.


Kritik terhadap RKUHAP yang Disahkan: “Polri Jadi Superpower”


Pekan Progresif secara resmi menolak RKUHAP yang kini telah disahkan pemerintah.

Menurut mereka, problem paling besar justru ada pada perluasan wewenang kepolisian.


“Dalam pasal 7 dan 8 RKUHAP, PPNS dan penyidik lain berkoordinasi langsung dengan Polri.

Di atas kertas ini terlihat rapi, tetapi pada praktik hari ini, banyak kasus intimidasi dan penyalahgunaan wewenang dalam tahap penyelidikan,” ujar Ilman.


“Dengan aturan baru ini, kontrol terhadap kepolisian semakin sulit.

Polri makin overpower. 

Itu yang membuat kami sangat menolak KUHAP versi sekarang.”


Tak Berhenti di Audiensi: Pekan Progresif Siapkan Judicial Review


Ilman menegaskan bahwa penolakan mereka bukan sekadar aksi simbolik.

Pekan Progresif sudah membicarakan rencana judicial review ke Mahkamah Konstitusi bersama BEM Undip. 


Fokusnya pada isu-isu fundamental: pra-peradilan, ketimpangan kuasa negara, warga, hingga struktur penyidikan yang memberi dominasi penuh kepada kepolisian.


“Yang akan diuji itu yang paling mendasar.

Ketimpangan peradilan yang masih pasif, kecakapan hukum masyarakat yang timpang, hingga wewenang Polri yang terlalu dominan,” jelasnya.


“Kritik kami akan terus berlanjut. Tidak berhenti di postingan, tidak berhenti di audiensi.

Kita akan terus kawal. Karena relasi negara dan warga dalam hukum acara pidana itu inti demokrasi,” katanya. (Rad)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.