Jakarta (ANTARA) - Tim Percepatan Reformasi Polri menyerap masukan dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk FKUB, Setara Institute, hingga Gusdurian, untuk perbaikan institusi kepolisian.
Ketua FKUB Bali, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, dalam agenda di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, mengusulkan mekanisme “takut sama takut” sebagai strategi mencegah praktik suap di kepolisian.
"Mekanismenya, kalau ada yang menyuap, terima dulu lalu, langsung laporkan. Atau, kalau tidak dilaporkan dalam sehari, pemberi suap bisa melapor dan penerimanya ditangkap. Dengan begitu orang akan berpikir dua kali," katanya.
Ia menjelaskan mekanisme tersebut memberi ruang bagi pelapor dari kedua pihak, sehingga praktik suap akan sulit dilakukan dan memberi efek jera.
Menurutnya, praktik suap “tahu sama tahu” masih terjadi karena sistem hukum memberi celah dan tidak ditegakkan secara tegas.
Ida Penglingsir menilai persoalan suap hingga jual-beli hukum bukan hanya kesalahan individu aparat, tetapi merupakan persoalan sistemik dalam penegakan hukum nasional.
Dalam agenda yang dipimpin langsung Ketua Komite Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, ia juga menyoroti dugaan jual-beli jabatan di kepolisian, mulai dari proses rekrutmen, kenaikan pangkat, hingga pendidikan.
Menurutnya, praktik tersebut hanya bisa dihapus jika disiplin internal dan sistem hukum ditegakkan secara konsisten.
Ia turut menekankan pentingnya memberi kewenangan yang jelas kepada polisi saat menghadapi tindakan anarkis agar tidak ragu bertindak karena khawatir dituduh melanggar HAM.
Selain itu, ia mendorong pembenahan kewenangan penahanan agar tidak bergantung pada subjektivitas penyidik, serta perbaikan sistem perizinan yang dinilai masih rawan diperjualbelikan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menyoroti regulasi dan praktik kepolisian yang dinilai masih membatasi kelompok minoritas dalam menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Ia menyinggung aturan pendirian rumah ibadah yang kerap diterapkan secara tidak adil karena keberpihakan terhadap kelompok mayoritas.
Halili mendorong Polri memperkuat peran pencegahan agar tidak terjadi pembatasan atau persekusi terhadap minoritas, sekaligus menjamin hak warga untuk beribadah maupun berdemonstrasi.
"Harusnya semua pihak dijamin," katanya.
Ia menilai reformasi Polri merupakan bagian dari reformasi hukum yang lebih luas dan melihat diskusi audiensi sebagai langkah konstruktif bagi penguatan toleransi serta perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.







