Indonesia perlu membangun budaya yang mengizinkan orang rentan tanpa menghakimi, yang memberi ruang untuk menangis tanpa dianggap lemah, yang mendorong saling peduli karena setiap manusia membawa perangnya masing-masing.

Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa tahun terakhir, kita semua bisa menyaksikan meningkatnya tantangan psikologis di tengah masyarakat.

Tekanan ekonomi, tuntutan sosial, perkembangan teknologi yang serba cepat, hingga perubahan dinamika keluarga dan pekerjaan, membuat banyak orang kehilangan ruang untuk bernapas.

Berbagai riset menunjukkan bahwa kesehatan mental masyarakat semakin rentan, terutama pada generasi muda. Namun, persoalan ini tidak hanya milik satu generasi.

Orang tua dan para lansia membawa beban hidup yang panjang, sementara generasi produktif sering terjebak dalam persimpangan antara tuntutan hidup dan kebutuhan diri yang sering terabaikan.

Bangsa ini sedang menghadapi keadaan yang menuntut pemahaman baru, bahwa ketahanan sebuah bangsa tidak hanya ditopang oleh kecerdasan intelektual maupun pembangunan ekonomi, tetapi juga oleh kekuatan psikologis dan spiritual masyarakatnya.

Literasi psikologis selama ini banyak berkembang dalam ruang formal, lewat teori dan layanan profesional. Namun, pemahaman tentang bagaimana manusia mengenali, mengelola, dan menenangkan batinnya masih belum menjadi pengetahuan umum yang mudah dijangkau.

Banyak orang tidak tahu bagaimana menghadapi rasa sakit batin, lalu memendam semuanya dalam diam. Luka yang tidak terkelola sering menjelma menjadi kemarahan, kecemasan, ataupun perilaku yang melukai diri sendiri dan orang sekitar.

Ini bukan sekadar masalah individu, tetapi persoalan sosial yang perlu ditangani bersama. Wajar jika kini kemudian berkembang gerakan literasi psikologis-spiritual yang bahkan memperoleh tempat yang semakin penting.

Psikologis-Spiritual

Gerakan ini memberikan ruang bagi setiap orang untuk memahami batinnya, mencintai dirinya apa adanya, dan tetap mampu melangkah meski memikul luka yang belum sembuh.

Spiritualitas di dalamnya dimaknai sebagai kedalaman relasi manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur, mencakup kasih sayang, harapan, ketenangan, dan keyakinan bahwa hidup selalu punya alasan untuk diteruskan.

Spiritualitas bukan eksklusif milik satu keyakinan atau agama tertentu, tetapi merupakan pengalaman universal yang dimiliki setiap manusia tentang keinginan untuk merasa berarti, terhubung, dan tidak sendirian.

Chichi Sukardjo, seorang konselor psikologi dan penulis yang banyak bergelut dengan isu pemulihan diri, telah mempopulerkan pendekatan penyembuhan yang menggabungkan kesadaran diri dan latihan psikologis sederhana.

Ia mengajak masyarakat untuk kembali mengenali kekuatannya sendiri, menjadi sahabat terdekat bagi dirinya, serta belajar bernapas dan hadir dalam tiap kesulitan yang dihadapi.

Menurut Chichi, setiap orang memiliki luka dan cerita yang tidak selalu bisa dibagikan kepada orang lain. Namun, setiap manusia juga memiliki kemampuan bawaan untuk memulihkan dirinya sedikit demi sedikit, sepanjang ia memiliki panduan dan keberanian untuk mulai.

Melalui metode self-coaching dan latihan pengelolaan napas yang ia kembangkan, Chichi memperkenalkan cara-cara realistis untuk menenangkan batin tanpa harus bersembunyi dari kenyataan hidup.

Pesannya bukanlah “hilangkan lukamu”, tetapi “hiduplah bersama lukamu dengan lebih damai”. Sebuah pesan yang memberi ruang bagi manusia untuk menerima ketidaksempurnaan dirinya tanpa kehilangan harapan.

Chichi Sukarjo memperkenalkan tiga karya yang menjadi fondasi program self-healingnya, yaitu Self Coaching GREAT(bagaimana seseorang bisa menjadi sahabat terbaik bagi dirinya sendiri); Bahagia Dengan Stres (perjalanan menemukan makna di balik tekanan hidup dengan menggunakan QS Al Insyirah sebagai solusinya) dan 1st Aid Asmaul Husna (pertolongan pertama psikologis dan spiritual melalui Napas 1 Menit Asmaul Husna).

Ia percaya bahwa pemulihan adalah perjalanan personal yang tidak bisa dipaksakan kecepatannya. Yang terpenting adalah keberanian untuk terus bertahan hari ini dan bangkit lagi esok hari.

Gerakan literasi psikologis-spiritual ini menjangkau lintas lapisan masyarakat. Generasi muda belajar menemukan jati dirinya tanpa harus mengikuti tekanan pencitraan digital. Generasi dewasa menemukan kembali makna dalam kompleksitas hidup yang penuh tanggung jawab.

Generasi yang lebih senior mendapatkan cara baru untuk berdamai dengan ingatan masa lalu yang mungkin masih menyisakan perih. Kesamaan mereka adalah satu, yaitu keinginan untuk tetap hidup sepenuh hati meski pernah tersakiti.

Penyembuhan Sosial

Tidak berhenti pada ranah personal, gerakan ini juga mendorong kepedulian sosial. Melalui karya dan pengabdian yang ia lakukan, Chichi mengarahkan sebagian hasil karyanya untuk mendukung akses belajar bagi anak-anak dan guru di daerah.

Ini mempertegas bahwa jiwa yang pulih akan berusaha terlibat dalam penyembuhan sosial, memperbaiki apa yang masih timpang dalam masyarakat. Pemulihan batin menjadi tindakan bergotong royong untuk menciptakan masa depan yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Penulis memandang gerakan literasi psikologis-spiritual sebagai kebutuhan strategis bangsa. Jika bangsa ini ingin melahirkan generasi yang kuat dan penuh empati, maka setiap manusia harus diberi kesempatan untuk memahami dirinya dan mengelola rasa sakitnya dengan bijak.

Sumber daya manusia yang unggul tidak hanya dilihat dari kompetensi profesional, tetapi juga dari kesehatan jiwanya. Negara yang masyarakatnya damai di dalam akan melahirkan kehidupan sosial yang lebih harmonis dan kolaboratif.

Sudah waktunya pendekatan psikologis dan spiritual ini menjadi bagian dari pendidikan dan kebijakan publik.

Indonesia perlu membangun budaya yang mengizinkan orang rentan tanpa menghakimi, yang memberi ruang untuk menangis tanpa dianggap lemah, yang mendorong saling peduli karena setiap manusia membawa perangnya masing-masing.

Gerakan ini bisa menjadi fondasi baru dalam membangun ketahanan bangsa, ketahanan yang lahir dari kesadaran dan kedalaman jiwa.

Di tengah dunia yang sering mengukur nilai manusia dari pencapaian lahiriah, gerakan ini mengingatkan bahwa keberanian terbesar adalah tetap berjalan meski terluka.

Bahwa kekuatan itu bukan berarti sempurna tanpa cela, tetapi mampu menerima diri apa adanya sambil terus tumbuh. Dan bahwa setiap jiwa pantas mendapatkan kesempatan untuk merasa pulih, merasa terhubung, serta merasa hidup.

Jika gerakan ini terus berkembang, Indonesia akan memiliki generasi yang tidak hanya cerdas dalam berpikir, tetapi juga arif dalam merasakan. Mereka kuat memeluk rasa sakitnya, karena tahu bahwa dari situlah kekuatan paling sejati tumbuh.

Mungkin itulah yang dibutuhkan bangsa ini: masyarakat yang lebih tenang jiwanya, lebih hangat hatinya, dan lebih siap melangkah bersama menuju masa depan.


*) Penulis adalah Direktur GREAT Institute.