Ringkasan Berita:
- Penataan tambang ilegal harus dilakukan secara selektif agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi pelaku industri yang telah memenuhi kewajiban perizinan.
- Regulasi yang membuka peluang bagi UKM atau koperasi masuk ke kegiatan tambang harus diterapkan hati-hati.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pemangku kepentingan sektor pertambangan menegaskan penataan tambang ilegal harus dilakukan secara komprehensif agar tak menimbulkan gangguan bagi operasi perusahaan tambang yang telah berizin.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya berkomitmen memberantas tambang ilegal yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun.
Pemerintah mencatat sedikitnya terdapat 1.063 aktivitas penambangan tanpa izin yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, hilangnya potensi pajak, hingga penyelundupan hasil tambang.
“Saya diberi laporan oleh aparat-aparat bahwa terdapat 1063 tambang ilegal. Dan potensi kekayaan yang dihasilkan oleh 1063 tambang ilegal ini dilaporkan potensi kerugian negara adalah minimal Rp300 triliun,” ucap Presiden di Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025.
Untuk menekan aktivitas ini, pemerintah membentuk Satgas Halilintar yang melibatkan TNI, Polri, Kejaksaan, dan Kementerian ESDM. Upaya ini menjadi bagian dari reformasi tata kelola yang lebih luas, termasuk penguatan pengawasan digital dan integrasi izin melalui Mining One Map System.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Sudirman Widhy Hartono, menyampaikan bahwa penataan tambang ilegal harus dilakukan secara selektif agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi pelaku industri yang telah memenuhi kewajiban perizinan.
Menurutnya, praktik tambang ilegal juga berisiko menimbulkan kelebihan produksi yang akhirnya menekan harga komoditas mineral. Selain itu, hal tersebut berpotensi mengganggu stabilitas pendapatan negara.
Di sisi lain, regulasi yang membuka peluang bagi UKM atau koperasi masuk ke kegiatan tambang harus diterapkan hati-hati. Pemilihan komoditas dan wilayah operasi juga perlu disaring secara ketat agar tidak merugikan pelaku usaha resmi dan tidak mendorong ketidakadilan dalam industri.
“Jika ini diterapkan secara sembrono untuk semua komoditas, konsep keadilan yang ditujukan akan menjadi tidak tepat karena mungkin akan mewujudkan ketidakadilan bagi para usaha tambang itu sendiri yang sudah secara serius mengurus perizinannya sejak awal,” ucap Widhy dalam keterangannya dikutip, Kamis (27/11/2025).
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Pol Moh Irhamni menyatakan bahwa penegakan hukum akan menjadi langkah terakhir, sementara fokus utama adalah pembinaan, pencegahan, dan memastikan operasional tambang tetap sejalan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945.
Dia menambahkan penindakan tegas hanya akan dilakukan bila aktivitas ilegal tetap berjalan atau pelaku mengabaikan aspek keselamatan dan lingkungan.
“Jadi pencegahan dan upaya hukum adalah upaya terakhir sehingga masyarakat sendiri bisa menikmati apa yang menjadi hak rakyat Indonesia yang mana kita sangat kaya dengan sumber daya alam,” tutur Irhamni.
Bentuk Gakkum
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) memberantas tambang ilegal.
“Ditjen Gakkum dibentuk untuk memastikan tata kelola minerba berjalan sesuai visi Presiden — kemandirian energi dan kedaulatan tambang. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi legitimasi negara dalam melindungi aset strategis,” ujar Dirjen Gakkum ESDM, Rilke Jeffri Huwae dikutip pada Kamis (30/10/2025).
Rilke mendorong penyelesaian penambangan tanpa izin dapat dijalankan lewat pendekatan yang lebih komprehensif sesuai dengan karakteristik sosial masing-masing wilayah.
“Masalah tambang ilegal ini tidak bisa dilihat semata sebagai pelanggaran hukum, karena ada dimensi sosial di dalamnya. Kita perlu pendekatan yang lebih komprehensif,” ujarnya.
Menurut Rilke, paradigma penegakan hukum di sektor minerba kini bergeser dari sekadar mencatat pelanggaran menjadi mencari solusi struktural. Pemerintah ingin menyelesaikan seluruh akar termasuk disparitas harga hingga keterbatasan akses legalitas.
“Kita tidak ingin hanya menindak, tapi memperbaiki sistemnya. Rantai pasok legal harus lebih menarik dibandingkan rantai pasok ilegal,” kata Rilke.