Kekuatan besar riset pertanian Indonesia tidak pernah terletak pada satu figur atau satu lembaga, tetapi pada ekosistem yang kolaboratif dan saling menguatkan
Jakarta (ANTARA) - Pelantikan Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si. menjadi Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuka harapan baru bagi dunia pertanian Indonesia.
Arif bukan hanya seorang ilmuwan dan sosiolog pertanian yang memiliki kedekatan dengan petani, tetapi juga aktifis sosial yang memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai ketua umum.
Rekam jejak arif menunjukkan dirinya bukan sekadar ilmuwan yang berada di menara gading yang jauh dari masyarakat, tetapi ilmuwan yang turun langsung ke masyarakat memberikan solusi terutama pada isu-isu strategis bangsa. Sosok Arif mungkin mendekati konsep rausyan fikr seperti yang diusulkan filsuf Iran Ali Syari’ati.
Rausyan fikr merupakan sosok cendekiawan ideal karena memiliki kesempurnaan jati diri dan mampu menjadi pembaru masyarakat. Konsep ini menggambarkan sosok yang melampaui ilmuwan biasa, karena memiliki kesempurnaan spiritual dan intelektual.
Rausyan fikr memiliki kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan untuk memperbaiki masyarakat, merumuskan masalah, serta menawarkan solusi dan pembaruan. Semoga penyebutan ini tidak berlebihan.
Kehadiran Arif memimpin BRIN di tengah cita-cita besar Presiden Prabowo Subianto meraih swasembada pangan nasional, menjadi momentum penting untuk merumuskan kembali arah riset pertanian Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, ekosistem riset pertanian nasional menghadapi tantangan yang kompleks sehingga membutuhkan ‘imam’ yang tepat dan "ma’mum" yang siap menyokong dengan penuh gairah.
Konsolidasi kelembagaan peneliti pertanian ke dalam BRIN telah membawa semangat efisiensi yang positif serta membuka mata peneliti pertanian bahwa dunia tak selebar daun kelor.
Di sisi lain, integrasi ke dalam BRIN juga melahirkan kekhawatiran mengenai terputusnya mata rantai sejarah penelitian pertanian yang selama puluhan tahun dibangun oleh Kementerian Pertanian.
Saat ini para peneliti pertanian di daerah-daerah terpaksa merapat ke Jakarta dan Cibinong, meninggalkan petani-petani di daerah yang selama ini menjadi mitra dalam membangun pertanian Indonesia.
Para peneliti juga meninggalkan ruang laboratorium di kantor tempat asal dan laboratorium alam di lahan yang sangat spesifik komoditi dan spesifik agroekosistem di setiap daerah.
Arif diharapkan dapat meramu formula yang tepat untuk menjembatani ide integrasi para peneliti dalam satu wadah BRIN yang cemerlang dengan langkah kebijakan pertanian Indonesia di wilayah tropis yang beragam komoditas, beragam agroekosistem, dan beragam sosio-kultur petani.
Keragaman agroekosistem
Tentu kekuatan riset pertanian di negara seperti Indonesia terletak pada kedalaman kajian berbasis lokasi, berbasis komoditas, berbasis agroekosistem, serta berbasis sosio kultur yang spesifik dan beragam. Pada hari-hari pertama kepemimpinannya, Arif pernah mengemukakan rencananya mengembalikan peneliti ke daerah.
Di sinilah kepemimpinan baru Arif Satria akan diuji, apakah mampu menghadirkan arah baru riset pertanian yang tidak ahistoris, tetapi tetap adaptif terhadap kebutuhan zaman?
Semua yang mengamati rekam jejak Arif sejak memimpin Institut Pertanian Bogor (IPB) tentu paham bahwa tiga frase kepemimpinan Arif yaitu memimpin perubahan, memimpin masa depan, dan menciptakan masa depan.
Indonesia bukan negara yang dapat mengandalkan satu paket inovasi pertanian untuk semua wilayah. Keragaman hayati dan agroekosistem membuat pendekatan “one size fits all” hampir pasti gagal.
Pertanian di Kalimantan bagian selatan dan Sumatera bagian timur dengan ekosistem rawa lebak dan rawa pasang surut tidak bisa disamakan dengan pertanian lahan kering di Nusa Tenggara Timur, atau dataran tinggi hortikultura di Jawa Barat.
Padi rawa membutuhkan varietas dan teknologi budidaya yang sepenuhnya berbeda dengan padi sawah irigasi di Jawa. Desain jaringan irigasinya saja berbeda.
Demikian pula tanaman dataran tinggi termasuk kentang, wortel, kubis menuntut riset berbeda dengan tanaman dataran rendah seperti padi, jagung, atau singkong. Terdapat pula buah-buahan yang berasal dari daerah tropis dan introduksi dari daerah subtropis.
Keragaman ini bukan hambatan, tetapi merupakan kekuatan strategis ketika riset dapat dilakukan tepat lokasi dan tentu multilokasi.
Pada dua dekade terakhir, berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan mendongkrak produktivitas pertanian lebih banyak ditentukan oleh kemampuan memahami kondisi spesifik lokasi dibanding sekadar mengadopsi teknologi genetik.
Faktor tanah, iklim mikro, pola musim, sosial-ekonomi petani, hingga budaya lokal, semuanya berperan penting dalam menentukan keberhasilan suatu inovasi.
Arah baru riset pertanian Indonesia idealnya kembali menempatkan keragaman agroekologi dan spesifik lokasi sebagai fondasi.
Sejarah untuk masa depan
Pendekatan berbasis keragaman spasial tersebut tidak berarti kembali ke masa lalu, tetapi justru memanfaatkan kekuatan sejarah untuk merancang masa depan.
Indonesia pernah memiliki struktur riset pertanian yang sangat kuat melalui jaringan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di seluruh provinsi, balai-balai penelitian komoditas pangan, hortikultura, dan perkebunan, serta balai penelitian berbasis disiplin ilmu seperti pascapanen pertanian, sumber daya lahan pertanian, dan sumber daya genetik pertanian.
Struktur tersebut terbukti mampu menghasilkan varietas unggul, inovasi pemupukan spesifik lokasi, teknologi irigasi, hingga sistem budidaya lahan marginal.
Banyak dari capaian tersebut menjadi tulang punggung produksi pangan Indonesia hingga kini. Mengabaikan sejarah berarti mengabaikan memori kolektif bangsa mengenai bagaimana ilmu, teknologi, dan kebijakan pernah dibangun secara bertahap dan berbasis kebutuhan petani.
Pusat riset sumberdaya lahan pertanian, pusat riset agroindustri atau pascapanen pertanian, pusat riset sumber daya genetik pertanian idealnya dibangun karena merupakan penyokong pertanian Indonesia. Selama ini para peneliti dengan kepakaran bidang-bidang tersebut tercerai berai di pusat riset berbasis komoditas.
Tentu harus diakui, tantangan pertanian saat ini jauh lebih kompleks dibanding tiga dekade lalu. Perubahan iklim membuat musim tak lagi dapat diprediksi.
Tekanan konversi lahan mendorong pangan semakin bergantung pada lahan suboptimal seperti rawa, gambut, dan lahan kering masam.
Di sisi lain, kebutuhan komoditas pangan, industri, dan energi meningkat drastis. Kondisi ini menuntut riset pertanian yang bukan hanya adaptif, tetapi juga responsif.
Riset berbasis lokasi harus dipadukan dengan teknologi modern seperti kecerdasan buatan, digital farming, sensor berbasis IoT, pemodelan iklim, hingga genomic breeding.
Namun, semua itu tidak akan efektif jika dilakukan tanpa pijakan empiris yang kuat di lapangan. Inilah pentingnya menghidupkan kembali jejaring riset yang dekat dengan petani, dekat dengan hamparan produksi, dan dekat dengan dinamika lingkungan.
Peran kepemimpinan Arif Satria menjadi sangat signifikan untuk memberi resep terhadap kebutuhan dan realitas tersebut. Latar belakangnya sebagai sosiolog pertanian memberi kemampuan untuk membaca relasi antara sains, kebijakan, dan masyarakat.
Arif tentu memahami bahwa inovasi bukan sekadar produk laboratorium, tetapi proses sosio-teknis yang membutuhkan dialog, partisipasi, dan rekognisi terhadap pengetahuan lokal.
Dengan jejaringnya yang luas, Arif memiliki peluang untuk merangkul para peneliti BRIN, para akademisi perguruan tinggi, serta para sesepuh riset pertanian Indonesia di Aliansi Peneliti Pertanian Indonesia (Appertani) atau organisasi profesi seperti Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI).
Arif bahkan diuji untuk merangkul Kementerian Pertanian untuk sama-sama mewujudkan swasembada pangan seperti yang diinginkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Bukan sesuatu yang mustahil jika para peneliti pertanian BRIN berkantor di Kementerian Pertanian yang tersebar di berbagai daerah, seperti pernah ditawarkan Menteri Pertanian Amran Sulaeman saat baru masuk ke kabinet untuk kedua kalinya.
Di sisi lain unit eselon satu dan jajarannya di Kementerian Pertanian yang dulu menaungi para peneliti pertanian juga terlihat semakin terbuka memberi ruang untuk bersinergis bersama.
Kekuatan besar riset pertanian Indonesia tidak pernah terletak pada satu figur atau satu lembaga, tetapi pada ekosistem yang kolaboratif dan saling menguatkan.
Tokoh di Appertani, HITI, dan PERAGI dengan beragam peneliti senior yang telah menempuh perjalanan panjang riset komoditas dan agroekosistem, perlu dilibatkan bukan sebagai penonton, tetapi sebagai mitra strategis untuk menyusun roadmap riset yang baru.
Masa depan riset pertanian Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh keputusan-keputusan besar dalam satu sampai dua tahun ke depan.
Jika BRIN di bawah kepemimpinan Arif Satria mampu mengembalikan orientasi riset pada kebutuhan agroekosistem dan spesifik lokasi, menyelaraskan riset komoditas dengan dinamika pasar dan kebutuhan petani, serta merawat memori kelembagaan dari Balitbangtan, maka Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk mencapai swasembada pangan yang berkelanjutan.
Semoga arah baru riset pertanian Indonesia benar-benar lahir dari keberanian untuk belajar dari sejarah, kemampuan memahami keunikan setiap wilayah, dan komitmen kuat untuk menempatkan petani sebagai pusat inovasi nasional.
Terakhir, selamat memimpin perubahan, memimpin masa depan, dan menciptakan masa depan pertanian Indonesia wahai rausyan fikr.
*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Wakil Sekretaris Jenderal 2 Perhimpunan Periset Indonesia (PPI).







