"Konstitusi mengatakan bahwa Presiden memperhatikan, memberikan rehabilitasi. Pertimbangan ini tentunya hanya Presiden yang tahu apa sebabnya dia memberikan itu,”
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas) Otto Hasibuan menyatakan bahwa pemberian hak rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto dalam kasus dugaan korupsi ASDP tidak dapat dipandang sebagai bentuk intervensi hukum.
Hal ini disampaikan Otto, seusai dipanggil Presiden ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, menanggapi kritik Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menilai langkah itu berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum.
"Bapak Presiden tidak mau terjadi ada orang yang tidak bersalah di hukum, dan tidak mau juga ada orang yang bersalah bebas," katanya.
Otto menjelaskan bahwa Presiden bertindak berdasarkan hak prerogatif yang secara jelas dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 14 UUD 1945 yang mengatur kewenangan presiden untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi.
Menurutnya, kewenangan tersebut memungkinkan Presiden memberikan rehabilitasi dengan pertimbangan tertentu yang tidak selalu harus diungkap ke publik.
"Konstitusi mengatakan bahwa Presiden memperhatikan, memberikan rehabilitasi. Pertimbangan ini tentunya hanya Presiden yang tahu apa sebabnya dia memberikan itu,” ujarnya.
Dalam diskusi dengan Presiden, Otto melihat adanya komitmen kuat Presiden Prabowo untuk menjaga rasa keadilan masyarakat.
Ia menilai, keputusan rehabilitasi bukanlah upaya melemahkan proses hukum, melainkan bentuk pelaksanaan kewajiban konstitusional Presiden.
Otto juga membedakan antara rehabilitasi yuridis, yang dilakukan pengadilan untuk memulihkan nama baik seseorang yang dinyatakan tidak bersalah, dengan rehabilitasi konstitusional yang menjadi hak seorang Presiden.
“Jadi, saya kira merupakan jauh daripada intervensi, justru Presiden melaksanakan hak dan kewajiban konstitusional dia yang dipandangnya tepat dan benar untuk kepentingan bangsa negara,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis terhadap tiga pejabat PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) terkait kasus kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara, yang dinilai merugikan negara hingga Rp1,25 triliun.
Mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi divonis 4,5 tahun penjara, sementara dua pejabat lainnya, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, masing-masing dihukum 4 tahun penjara.
Namun, putusan tersebut tidak bulat. Ketua majelis hakim Sunoto menyampaikan dissenting opinion bahwa tidak ada unsur korupsi dalam perkara ini dan menilai kasus tersebut lebih tepat diselesaikan secara perdata karena masuk ranah business judgement rule.
Dalam situasi perbedaan pandangan tersebut, Presiden RI Prabowo Subianto menggunakan hak prerogatifnya berdasarkan konstitusi untuk memberikan rehabilitasi kepada ketiga pejabat ASDP.







