Jakarta (ANTARA) - Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan mediasi merupakan cara terbaik dalam menyelesaikan perkara ijazah Presiden Ke-7 RI Joko Widodo daripada harus melalui pengadilan.

Menurutnya, saat ini penyelesaian perkara melalui mediasi diutamakan, baik dalam beberapa kasus pidana (mediasi penal) maupun tata usaha negara (dismissal).

"Pengadilan memenuhi kemajuan hukum, sebab konsep ultimum remedium merupakan upaya terakhir setelah semua upaya lain, termasuk mediasi gagal, yang semula diharapkan sebagai win-win solution," ucap Gayus dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

Dikatakannya apabila mediasi tidak terjadi, masalah tersebut berpotensi terpolarisasi, dimana banyak pihak akan terlibat, karena masing-masing merasa memiliki kebenaran, yang mana merupakan kerugian bagi negara, karena instabilitas akan terjadi.

Gayus mengaku tidak dalam posisi membela siapa pun dan hanya mengupayakan agar perkara tersebut tidak terpolarisasi.

Ia juga tidak mau menyerang salah satu pihak, tetapi secara jernih mendudukkan masalah dalam konteks hukum agar bisa selesai.

Baginya, polemik di tengah masyarakat harus diakhiri, karena kalau dibiarkan bisa membahayakan bangsa. "Rakyat Indonesia diharapkan tidak terpancing dan memperkeruh suasana," tuturnya.

Ia menuturkan apabila nantinya Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar dan Tifauzia Tyassuma, yang kini telah menjadi tersangka terbukti bersalah, akan mendapat sanksi hukum. Sementara itu, apabila ijazah Jokowi yang terbukti palsu, juga akan mendapat sanksi hukum.

Sejauh ini, dia menyebut Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan Jokowi benar kuliah di sana, bahkan lulus menjadi Sarjana Kehutanan dan ijazahnya telah diserahkan kepada yang bersangkutan.

Saat mencalonkan sebagai wali kota, gubernur, dan presiden, katanya, ijazah menjadi salah satu persyaratan, tidak cukup hanya dengan surat keterangan lulus dari almamaternya saja.

Oleh karenanya, sambung Gayus, syarat ijazah itu yang bisa menjadikan keadaan dan perbuatan menggunakan ijazah palsu, walaupun keahlian di bidang kehutanan telah dimiliki oleh Jokowi.

Lebih jauh, ia menjelaskan kepastian hukum bukan satu-satunya pertimbangan bagi hakim dalam memberikan vonis. Secara teori, ada tiga hal yang mendasari vonis hakim, yakni kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.

"Antara keadilan dengan kepastian memiliki muara yang berbeda. Pemalsuan ijazah dalam konteks kepastian hukum ya harus ada sanksi, tapi tidak demikian dengan aspek keadilan," ucap Gayus.

Dijelaskan bahwa dalam kasus ijazah tersebut bisa saja terjadi penyalahgunaan keadaan atau situasi (misbruik van omstandigheiden).

Misalnya, kata dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta ijazah sebagai syarat mencalonkan diri sebagai pejabat publik, tetapi pihak universitas hanya bisa mengeluarkan surat keterangan tanda lulus, karena merasa sebelumnya telah mengeluarkan ijazah.

Akhirnya, lanjut dia, terjadi misbruik van omstandigheiden, dengan membuat ijazah palsu. Konsep tersebut dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1321.

Dengan demikian, dalam perkara itu, Gayus menilai lebih cocok digunakan konsep misbruik van omstandigheiden, bukan Pasal 44-48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai alasan pemaaf dan pembenar, karena hal tersebut lebih condong ke suatu keadaan, bukan perbuatan.

Maka dari itu, dirinya berpendirian mediasi harus diutamakan dalam penyelesaian kasus tersebut. Apalagi, kasus itu hanya soal kebenaran, dimana berawal dari pernyataan seseorang.

Berdasarkan Pasal 1865 KUHPerdata, dia menuturkan orang yang memberikan pernyataan itu diwajibkan membuktikan ucapannya sendiri, sehingga tidak harus lembaga pemerintah (Kejaksaan Agung) yang melakukannya.

"Selain itu, orang tersebut juga harus merasakan kerugian yang nyata dan langsung sebagai akibat dari apa yang diucapkannya tersebut," katanya menambahkan.