TRIBUNNEWS.COM - Banjir besar yang melanda Sumatera memicu silang pendapat. Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menuding ulah manusia sebagai biang kerok, sementara sejumlah pakar menekankan faktor alam yang tak bisa diabaikan.
Perbedaan pandangan ini membuka perdebatan lebih luas soal akar masalah bencana dan arah solusi yang mesti ditempuh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terus memperbaharui data mengenai korban Bencana banjir dan longsor di Sumatera.
Berdasarkan data terkini BNPB pada Rabu 3 Desember 2025 pukul 06.30 WIB, data korban menunjukkan:
Korban jiwa: 753 orang meninggal, 650 hilang, dan 2.600 luka-luka.
Kerusakan rumah: 3.600 rusak berat, 2.100 rusak sedang, 3.700 rusak ringan.
Fasilitas umum terdampak:
Jembatan rusak 39,34 persen
Fasilitas pendidikan 42,5%
Fasilitas ibadah 16,97%
Fasilitas kesehatan 1,18%
Pengungsi:
106.200 di Sumatera Barat
538.000 di Sumatera Utara
1,5 juta di Aceh
Total terdampak: 3,3 juta jiwa
Anies Baswedan menanggapi bencana banjir dan longsor di Sumatera dengan menyoroti kerusakan lingkungan sebagai penyebab utama.
Ia mengutip Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 41 sebagai pengingat bahwa kerusakan alam terjadi akibat perbuatan manusia.
Melalui unggahan di Instagram, Anies menegaskan bahwa fenomena badai, banjir bandang, hingga gunung meletus seharusnya menjadi cermin bagi manusia untuk memperbaiki cara memperlakukan alam.
Ia menilai pelanggaran tata ruang, penebangan hutan, pencemaran pesisir, dan perusakan habitat satwa telah memperparah bencana yang pada dasarnya merupakan peristiwa alam. Menurutnya, etika dalam menjaga lingkungan harus dikembalikan agar bencana tidak terus berulang.
Sebelumnya, Anies juga menyinggung soal tobat ekologis yang harus dilakukan manusia demi menyelamatkan alam dan lingkungan.
Adapun tobat ekologis pernah menjadi topik yang dibawa Anies Baswedan saat mencalonkan diri sebagai presiden di Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 lalu.
Saat itu, pasangan calon wakil presiden (cawapres) Anies, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, menyinggung soal tobat ekologis dalam sesi debat cawapres putaran keempat, Minggu (21/1/2024).
Menurut Cak Imin, tobat ekologis perlu dilakukan sebab bencana ekologis telah terjadi di mana-mana. Karenanya, Cak Imin mengajak semua pihak untuk melakukan tobat ekologis.
Secara harfiah, tobat ekologis adalah panggilan untuk mengakui kesalahan, kejahatan, dan kelalaian manusia terhadap lingkungan alam, lalu bertobat dengan sepenuh hati untuk mengubah perilaku, dari penguasa alam menjadi makhluk yang lebih peduli dan menjaga kelestarian alam.
Dengan melakukan tobat ekologis, manusia harus lebih menyadari hubungannya secara lebih mendalam dengan alam, sebagai sesama ciptaan Tuhan.
Para ahli dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB) menegaskan bahwa bencana ini bukan hanya dipicu oleh faktor alam semata, melainkan akibat interaksi kompleks antara kondisi atmosfer, perubahan geospasial, serta kapasitas tampung wilayah yang kian menurun.
“Kondisi atmosfer yang ekstrem, fenomena siklon tropis, serta perubahan penggunaan lahan yang mengurangi kapasitas serapan air menjadi penyebab utama bencana ini,” ungkap tim pakar FITB ITB dalam penjelasannya.
Mereka menekankan, upaya mitigasi harus dilakukan secara multidisipliner, tidak hanya mengandalkan penanganan darurat ketika bencana terjadi.
“Upaya mitigasi yang efektif harus melibatkan pendekatan multidisipliner, termasuk pengelolaan lingkungan, perencanaan tata ruang, dan teknologi peringatan dini. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan risiko bencana banjir bandang dapat diminimalkan dan dampak yang ditimbulkan dapat dikurangi secara signifikan,” lanjut narasi ahli tersebut.
Dr. Muhammad Rais Abdillah, S.Si., M.Sc., ahli dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer FITB ITB, menjelaskan bahwa saat ini wilayah Sumatera bagian utara sedang berada pada puncak musim hujan tahunan. “Wilayah ini memiliki pola hujan sepanjang tahun dengan kemungkinan dua puncak musim hujan dalam satu tahun. Saat ini, wilayah Tapanuli sedang mengalami puncak musim hujan tersebut,” katanya.
BMKG mencatat curah hujan ekstrem lebih dari 300 milimeter per hari. Sebagai perbandingan, intensitas hujan ekstrem di Jakarta pada banjir besar Januari 2020 mencapai sekitar 370 milimeter dalam satu hari.
Fenomena atmosfer semakin rumit sejak munculnya sistem pusaran (vortex) yang berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka pada 24 November lalu. Siklon ini memicu suplai uap air besar-besaran dan memperluas wilayah hujan di Sumatera bagian utara.
Dr. Rais menjelaskan, “Fenomena atmosfer skala meso dan sinoptik, seperti vortex siklonik dan cold surge vortex, membawa angin kuat dari utara dengan massa udara lembap. Kondisi ini memperbesar intensitas hujan dan risiko banjir.”
Dari sisi geospasial, pakar ITB lainnya, Dr. Heri Andreas, S.T., M.T., mengingatkan bahwa banjir tak bisa dilepaskan dari kondisi daratan. “Banjir tidak hanya dipengaruhi oleh curah hujan, tetapi juga oleh bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi,” ujarnya.
Wilayah yang kehilangan tutupan hutan maupun rawa mengalami penurunan drastis kemampuan menyerap air, sehingga limpasan air meningkat cepat menuju sungai dan kawasan pemukiman.
Para pakar menekankan mitigasi tak boleh berhenti pada pembangunan tanggul atau normalisasi sungai. Konservasi kawasan resapan, penataan ruang berbasis risiko, serta pemodelan geospasial komprehensif harus menjadi prioritas.
Sistem peringatan dini yang komunikatif dan mudah dipahami juga menjadi kunci agar masyarakat bisa melakukan langkah antisipasi lebih cepat. Informasi mengenai potensi bencana harus disampaikan secara jelas, termasuk waktu, lokasi, serta tindakan yang harus dilakukan masyarakat.
Pernyataan terbaru Anies Baswedan yang menyebut banjir di Aceh dan Sumatera sebagai bencana buatan manusia dan menuntut pelakunya diadili, menuai reaksi keras dari warganet.
Netizen ramai-ramai membandingkan sikap kerasnya sekarang dengan alasan-alasan yang pernah ia lontarkan saat ibu kota dilanda banjir.
“jakarta banjir aja lu nyalahin air salah parkir, terus curah hujan juga salah,” tulis akun @agspnj___ dalam kolom komentar, yang disukai oleh puluhan pengguna lain.
Akun lain, @aryawrp, menambahkan dengan nada satir, “Tiba banjir di jakarta dia bilang karena curah hujan".
Selain soal inkonsistensi, banyak juga yang menuduh Anies hanya pandai beretorika tanpa memberikan aksi nyata.
Warganet membandingkannya dengan para influencer yang sibuk menggalang donasi untuk para korban.
“Influencer pada sibuk cari donasi buat bantuan. Ini malah pansos di atas penderitaan orang lain,” tulis seorang netizen.
Komentar lain menuntut Anies untuk bertindak, bukan hanya berbicara. “Minimal nyumbang lah, gausah banyak omom omon, nyumbang seikhlas nya, dibandingkan omon omon,” tulis pengguna lainnya.
Sementara akun @kamaruddin.ghani. “Anis baca ga ya komentar orang” di medsos? Kok ga merubah pola nyari panggungnya ya?” tanyanya.