Pendidikan bagi penyandang disabilitas masih kerap dibayangi beragam tantangan. Hal itu turut dialami Fajri Hidayatullah, seorang penyandang disabilitas netra, yang menuturkan kisah panjang perjuangannya meraih pendidikan sejak kecil hingga akhirnya dapat menapaki bangku perguruan tinggi di Jakarta.
Ia mengaku selama 7 tahun hanya belajar di rumah saja karena ada kendala untuk masuk sekolah. "Sempat berdamai sama diri sendiri itu belum bisa untuk terkondisikan dengan baik selama 7 tahun itu di rumah saja, jadi tidak sekolah," ungkap Fajri di Sunyi Coffee Barito, Jakarta, Jumat (28/11/2025).
Pria kelahiran Sumatera Selatan itu bercerita, pada masa ia mengenyam pendidikan belum tersedia program kejar paket seperti sekarang. Ia pun tidak dapat bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) karena terkendala batas usia.
"Kemudian kalau mau masuk SLB sudah terlambat usianya, jadi cukup banyak yang dipertimbangkan sehingga pada saat itu dimiliki di rumah saja," tambahnya.
Selain itu, orang tua pun menghadapi kesedihan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang anak penyandang disabilitas.
"Karena memang orang tua pun sampai detik ini masih banyak problem, ketika memiliki anak disabilitas menjadi hal yang memang sangat menyedihkan buat para orang tua. Sehingga terlambat pada akhirnya di rumah," imbuhnya.
Pindah ke Jakarta
Setelah tujuh tahun hanya belajar di rumah, tepatnya pada 2011 Fajri memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Keputusan pindah ke Jakarta menjadi titik balik dalam perjalanan pendidikan Fajri.
Ia mengikuti program kejar paket sekolah, namun Fajri sempat menghadapi penolakan karena undang-undang mengenai Penyandang Disabilitas belum berlaku secara resmi saat itu. Aturan tentang penyandang disabilitas tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang disahkan pada 15 April 2016.
Fajri juga berpindah-pindah dari Jakarta Timur ke Depok demi menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah melalui program kejar paket.
Hal itu akhirnya berbuah manis dengan ia menyelesaikan studi di jenjang sekolah dasar dan menengah dan akhirnya diterima di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), mengambil jurusan ilmu politik.
"Dari Jakarta Timur kemudian kejar paket lagi ke Walikota Depok, SKB Depok. Jadi berpindah-pindah pada saat itu untuk melakukan program pendidikan yang pada akhirnya jenjang kuliah di Perguruan Tinggi Muhammadiyah Jakarta," tambahnya.
Sempat Diragukan Saat Kuliah
Fajri juga menceritakan bagaimana banyak pihak meragukan kemampuannya saat mengambil program studi S1 Ilmu Politik, namun prestasinya terbukti dengan IPK di atas 3 pada semester awal.
"Seorang disabilitas yang tidak melihat mengambil program studi ilmu politik. Dan pada saat itu benar-benar ditanya setiap hari. Mas, apakah mau pindah prodi? Ya saya memang tidak bisa menjawab dengan kata-kata, tapi dengan pengujian semester awal IPK saya di atas 3 baru berhenti bertanya itu,"
Ia berhasil menyelesaikan studi sarjananya dalam waktu tiga tahun dua bulan. Prestasinya membuka kesempatan untuk melanjutkan S2 Administrasi di perguruan tinggi yang sama.
"Dan pada akhirnya Alhamdulillah saya lulus di 3 tahun 2 bulan dan diminta lanjut oleh Pak Rektor di S2 di Muhammadiyah Jakarta juga. Sehingga mengantarkan saya pada saat di titik ini," kisah Fajri.
Usai lulus, Fajri terus melakukan advokasi agar banyak anak-anak penyandang disabilitas lain merasakan pendidikan yang layak. Ia juga mengapresiasi Direktorat Pendidikan Khusus, Pendidikan Vokasi, dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk menghadirkan pendidikan yang setara.
la juga menekankan pentingnya motivasi, advokasi, dan identifikasi dini bagi anak-anak berkebutuhan khusus agar potensi mereka dapat dioptimalkan.
"Kalau itu bisa identifikasi maka bisa ditangani lebih baik, sehingga proses percepatan pembelajarannya bisa disesuaikan. Maksudnya sebenarnya makin awal kita bisa mengidentifikasi. Maka treatment baiknya akan lebih optimal," tutupnya.







