TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) melakukan diskusi panel membahas arah dan masa depan penegakan hukum Indonesia menjelang diberlakukannya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
Diskusi panel bertajuk “Wajah Penegakan Hukum Pasca KUHAP dan KUHP Baru”, mempertemukan advokat, akademisi, pembentuk undang-undang, serta pemerhati kebijakan publik untuk mendiskusikan bagaimana reformasi besar dalam hukum pidana Indonesia akan mempengaruhi sistem peradilan, praktik penegakan hukum, serta perlindungan hak asasi manusia.
Ketua Panitia Rakernas dan HUT ke-40 Ikadin, Heru Muzaki, menekankan, perubahan ini menempatkan advokat sebagai bagian penting dari mekanisme check and balances dalam sistem pemidanaan yang baru.
"Karena itu, implementasi regulasi ini membutuhkan kesiapan kelembagaan, pengawasan yang memadai, dan kemampuan adaptasi dari seluruh profesi hukum agar proses penegakan hukum berlangsung secara efektif, transparan, dan berkeadilan," kata Heru dikutip Minggu (14/12/2025).
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman dalam paparannya, proses legislasi KUHAP baru di DPR yang berlangsung dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui diskusi publik, RDPU, dan kajian akademik yang panjang.
Menurutnya, perubahan KUHAP mengedepankan perlindungan hak tersangka dan terdakwa, termasuk rekaman pemeriksaan melalui CCTV, hak komunikasi, pendampingan hukum, dan akses atas salinan BAP.
Upaya ini, menurutnya, merupakan bagian dari komitmen negara untuk membangun proses peradilan yang lebih akuntabel dan transparan.
Ketua Bidang Penelitian & Pengembangan DPP IKADIN, Hery Firmansyah memberikan perspektif mengenai transformasi filosofis dalam KUHP baru yang menggeser paradigma pemidanaan dari model retributif menuju keadilan korektif dan restoratif.
Menurutnya, hadirnya pidana alternatif seperti kerja sosial dan pidana pengawasan, merupakan langkah penting menuju pemidanaan yang lebih humanis dan proporsional.
Selain itu, pengakuan living law atau hukum adat dalam KUHP menjadi bentuk pengukuhan terhadap nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, namun tetap membutuhkan penafsiran hati-hati agar tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum.
Plt. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menyampaikan, KUHP baru menghadirkan sejumlah pembaruan penting, mulai dari reformulasi pidana mati yang kini mewajibkan masa evaluasi sebelum eksekusi, serta penghapusan sejumlah ketentuan bermasalah yang sebelumnya diatur dalam UU ITE.
Selain itu, KUHP baru memperkenalkan mekanisme pemidanaan yang lebih modern seperti pedoman pemidanaan, pidana pengawasan, kerja sosial, judicial pardon, dan penyelesaian perkara melalui pembayaran denda.
Ia menyebut, berbagai perubahan ini merupakan langkah maju yang perlu terus diawasi dalam implementasinya.
Ketua Umum DPP Ikadin, Maqdir Ismail, mengatakan, terdapat sejumlah persoalan mendasar dalam KUHAP yang perlu dikaji ulang.
Maqdir menyoroti, penetapan tersangka tidak cukup hanya didasarkan pada dua alat bukti, tetapi harus ditopang oleh bukti yang relevan dan benar-benar memenuhi unsur tindak pidana.
Ia juga mengingatkan bahwa mekanisme penahanan masih sangat bergantung pada subjektivitas penyidik tanpa adanya kontrol yudisial yang memadai.
Maqdir turut menyoroti perlunya pembatasan ketat terhadap upaya paksa terkhusus penyadapan dan pemblokiran rekening, yang menurutnya hanya boleh dilakukan terhadap pihak yang benar-benar berstatus tersangka dan didukung bukti substansial, serta tidak boleh meluas pada pihak lain yang tidak terkait langsung dengan tindak pidana.
Semua catatan tersebut, menurutnya, harus menjadi perhatian bersama dan diuji secara serius agar KUHAP dapat diterapkan secara adil dan proporsional.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang.
Pengesahan tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).