Bali termasuk wilayah paling berdarah pascatragedi G30S. Inilah riwayat pembantaian PKI di Bali yang dimulai sejak Desember 1965.
---
Intisari hadir di whatsapp channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Bali termasuk daerah paling berdarah pasca-Gerakan 30 September 1965 (G30S). Di tempat inilah para simpatisan Partai Komunis Indonesia, dan mereka yang dianggap terkait dengan PKI, ditumpas sampai akar-akarnya.
Apa yang terjadi di Bali pada 1965-66 itu mendapat sorotan dan intelektual sekaligus aktivis 1965, Soe Hok Gie, dalam tulisannya berjudul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali".
Semua berawal ketika tujuh perwira Angkatan Darat diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965. Mayat mereka kemudian dikubur jadi satu di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Tragedi itu melahirkan narasi yang menyebut bahwa PKI adalah dalang di balik peristiwa tersebut. Menyusul kemudian aksi demonstrasi yang menuntut agar pemerintah segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya.
Setelah itu, Soeharto selaku Pangkomkabtib memimpin aksi pembersihan terhadap mereka yang terkait atau dikaitkan dengan PKI. Dan RPKAD menjadi eksekutor lapangannya.
RPKAD pertama-tama diperintahkan ke Semarang, Jawa Tengah. Sesampainya RPKAD di Semarang, warga membakar habis markas PKI, tentara menyapu bersih pedesaan dengan dibantu oleh penduduk setempat dalam membunuh orang-orang yang diduga komunis.
Sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966, sekitar 200.000 hingga jutaan anggota dan simpatisan PKI dibunuh oleh satuan tentara Indonesia dan milisi sipil yang antikomunis, dengan dikomandoi oleh Soeharto.
Pembantaian PKI 1965 juga terjadi di sejumlah daerah, termasuk di Bali. Pembersihan PKI semakin massif setelah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar pada 11 Maret 1966.
Setidaknya ada 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dihabisi di berbagai penjuru Indonesia. Ada pula yang dipenjara hingga puluhan tahun, salah satunya Kolonel Latief.
Pembantaian PKI juga didukung oleh masyarakat setempat yang antikomunis. Guna memastikan tidak ada lagi tubuh PKI di Indonesia, Presiden Soeharto memutuskan untuk membubarkan PKI dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 1/3/1966.
Keputusan tersebut semakin diperkuat melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966 yang ditetapkan oleh Ketua MPRS Jenderal TNI AH Nasution pada 5 Juli 1966.
Mengutip Kompas.com, operasi pembersihkan orang-orang yang dianggap sebagai simpatisan PKI di Bali mulai dilaksanakan pada 7 Desember 1965. Saat itu, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin oleh Mayor Djasmin mendarat di Bali.
Tapi sebelum itu, suasana Bali memang sudah memanas. Disebutkan bahwa mereka yang menyebut diri gerakan antikomunis sudah menyerang dan membakar rumah-rumah simpatisan PKI.
Beberapa anggota PKI juga ditangkap, sedangkan sebagian lainnya menyerahkan diri kepada polisi untuk mendapat perlindungan.
Ketika sampai di Bali, target utama RPKAD adalah salah satu donatur Central Daerah Besar PKI Bali yang bernama I Gede Poeger. Proses eksekusi terhadap I Gede Poeger dan beberapa pemimpin PKI Bali lainnya dilakukan pada 16 Desember 1965.
Konon katanya, ratusan warga Denpasar melihat sendiri bagaimana Poeger diseret oleh para prajurit RPKAD dengan keadaan dua tangan terikat. Setelah itu tubuhnya ditusuk-tusuk sebelum akhirnya ditembak mati.
Sepanjang akhir 1965 hingga 1966, penumpasan terus terjadi di Bali. Hal itu lalu memunculkan protes keras dari berbagai kalangan, termasuk aktivis mahasiswa, Soe Hok Gie.
Dalam sebuah tulisannya, Gie mengatakan bahwa apa yang terjadi di Bali sebagai sebuah malapetaka yang sangat mengerikan. Meskipun Gie menyerukan protes, bukan berarti dia membela PKI atau membenarkan bagaimana cara mereka menghabisi musuh di tempo hari.
Meskipun PKI dipandang kejam, bukan berarti pasukan RPKAD dan para antikomunis dapat melawan mereka dengan cara yang keji juga. Bahkan, disebutkan bahwa Gie juga sempat mengancam anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) Bali bernama Wedagama yang menyerukan orang-orang Bali untuk membunuh antek PKI karena menurutnya hal itu dibenarkan Tuhan dan tidak melanggar hukum.
Bagi Gie, pernyataan-pernyataan seperti itu hanya akan memunculkan aksi pembunuhan, penyiksaan, dan berbagai hal keji lainnya. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan sekitar 80.000 orang harus kehilangan nyawanya.
Untuk menghentikan kejadian mengenaskan ini, Gie pun mengusulkan pada Brigjen Sukertijo agar segera mengendalikan anak buahnya dan segera memberi aturan yang tegas. Bagi yang bersalah diberi hukuman, sedangkan mereka yang tidak bersalah harus segera dibebaskan.