Konflik Thailand-Kamboja Kembali Memanas, SBY dan Jusuf Kalla Diminta Jadi Juru Damai
December 16, 2025 09:38 PM

Teguh Santosa

Pengamat Hubungan Internasional

Direktur Geopolitik GREAT Institute

Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Utara

Konflik perbatasan Thailand–Kamboja kembali memanas dengan korban jiwa dan ribuan warga mengungsi. Di tengah kebuntuan diplomasi ASEAN, sorotan publik kini tertuju pada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla yang dinilai layak tampil sebagai juru damai berpengalaman. Pada 2011 sewaktu menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia, SBY berhasil meredam konflik. Dia berhasil menjalankan peran sebagai Ketua ASEAN. 

Sengketa Perbatasan Kamboja dan Thailand berakar dari Perjanjian Prancis–Siam 1904/1907. Tahun 1962, Mahkamah Internasional (International Court of Justice - ICJ) memutuskan Kuil Preah Vihear milik Kamboja, tetapi wilayah sekitarnya tetap diperdebatkan. Sentimen nasionalis memperburuk ketegangan. Bentrokan besar terjadi pada 2008–2011 dengan korban jiwa.

Persoalan sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja dinilai tidak bisa dilepaskan dari warisan kolonial serta dinamika politik internal masing-masing negara. Perbedaan cara menerima fakta sejarah menjadi faktor utama mengapa konflik serupa bisa diselesaikan di satu kawasan, namun terus berlarut di kawasan lain.

Saat ini, penentuan batas wilayah sudah berbasis koordinat yang jelas. Berbeda dengan masa lalu, ketika batas wilayah hanya ditentukan secara alamiah, seperti dari satu sungai ke sungai lainnya. Karena itu, penerimaan terhadap fakta bahwa garis batas merupakan produk kolonial menjadi kunci penyelesaian konflik.

Contohnya, Indonesia mampu menyelesaikan persoalan perbatasan dengan Timor Leste, Malaysia, dan Singapura karena ada kesediaan menerima kenyataan sejarah tersebut. Indonesia dan Timor Leste, meski sempat berkonflik pada 1999, akhirnya dapat mencapai penyelesaian damai. Sebaliknya, Thailand dan Kamboja—terutama terkait kawasan kuil Preah Vihear masih menghadapi kebuntuan. 

Bukan semata soal hukum internasional, melainkan perbedaan cara merespons fakta bahwa batas wilayah itu dibentuk pada masa kolonial. Sejauh apa pun ditarik ke belakang, akar persoalan tetap berujung pada sejarah kolonialisme.

Optimisme penyelesaian sebenarnya sempat muncul dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur pada 2025. Namun, konflik belum mereda karena faktor internal di masing-masing negara, khususnya kontestasi politik domestik. Thailand, misalnya, tengah menghadapi situasi politik yang tidak stabil. Parlemen dibubarkan dan pemilu dijadwalkan berlangsung dalam beberapa bulan ke depan. Ketegangan perbatasan kerap dimanfaatkan sebagai isu politik menjelang pemilu.

Rivalitas klasik antara kelompok sipil dan militer di Thailand juga dinilai berperan besar. Ada kekhawatiran bahwa kelompok militer berupaya mendiskreditkan pemerintahan sipil dengan menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola konflik perbatasan.

Kondisi ini berbeda dengan hubungan Indonesia dan Timor Leste, di mana relasi personal antara Xanana Gusmao dan Presiden Prabowo Subianto terjalin baik. Di Thailand dan Kamboja, momentum politik justru memperumit situasi.

Secara historis, Thailand memang tidak pernah dijajah, sementara Kamboja merupakan bagian dari Indochina Prancis bersama Vietnam dan Laos. Kesepakatan antara Indochina-Prancis dan Thailand terjadi pada 1907. Kala itu, Mahkamah Internasional (International Court of Justice - ICJ) menempatkan kawasan kuil di wilayah Thailand. Namun pada 1962, Mahkamah Internasional memutuskan kuil tersebut sebagai milik Kamboja.

Meski demikian, putusan hukum dinilai bukan satu-satunya jalan keluar. Indonesia, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2011–2013), pernah menawarkan proposal perdamaian, termasuk pengiriman pasukan penjaga perdamaian tanpa senjata. 

Dalam KTT ASEAN terakhir, juga disepakati pembentukan tim monitoring ASEAN, meski efektivitasnya masih dipertanyakan. Langkah-langkah tersebut dinilai sebagai solusi jangka pendek.  Untuk jangka panjang, pengelolaan kawasan secara bersama—termasuk sumber daya alam—dinilai lebih menjanjikan. ASEAN bahkan bisa menjadikan kawasan sengketa sebagai simbol multikulturalisme dan persaudaraan regional sebagai wujud ASEAN centrality. Namun, hingga kini, upaya tersebut belum terwujud secara konkret.

Dibutuhkan peran figur senior yang memiliki pengalaman dan kredibilitas untuk mendorong solusi permanen. Indonesia dinilai layak menjadi mediator, meski terikat prinsip non-intervensi ASEAN. Dalam konteks ini, tokoh seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla disebut memiliki pengalaman langsung dalam penyelesaian konflik dan dapat bergerak melalui jalur informal.

Sementara itu, posisi Kamboja dinilai cukup sulit. Jika terlalu lunak, pemerintahannya bisa dianggap bersahabat dengan pihak lawan dan terancam secara politik di dalam negeri. Karena itu, sikap Kamboja cenderung realistis dan berhati-hati. Jika konflik kali ini terutama dipicu rivalitas politik di Thailand, ketegangan diperkirakan akan mereda setelah pemilu selesai.

Sejarah konflik Thailand–Kamboja tidak berubah sejak 1907 maupun 1962. Yang berubah adalah dinamika politik internal Thailand, termasuk hubungan antara sipil, militer, dan oligarki. Konflik perbatasan selalu memiliki dua wajah: eksternal dan internal. Cara meresponsnya sangat ditentukan oleh pengambil keputusan. Karena itu, penyelesaian konflik sangat bergantung pada hasil pemilu Thailand dan konfigurasi kekuasaan pascapemilu.

Pada akhirnya, solusi permanen berbasis kemanusiaan dan perdamaian membutuhkan keberanian politik serta peran tokoh-tokoh berpengalaman. Tanpa itu, konflik serupa dikhawatirkan akan terus berulang tanpa penyelesaian jangka panjang.

Garis Waktu Sengketa Perbatasan Thailand dan Kamboja 2025

Pada Februari 2025 

Tentara Thailand melarang wisatawan Kamboja menyanyikan lagu kebangsaan di situs sengketa. 

Pada 28 Mei 2025 

Baku tembak singkat menewaskan seorang prajurit Kamboja.

Pada 23-24 Juli 2025 

Terjadi rangkaian insiden besar, yaitu

Tentara Thailand menginjak ranjau darat.

Bentrokan bersenjata pecah, melibatkan artileri, roket BM-21, dan serangan udara F-16 Thailand.

Serangan menargetkan pangkalan militer, rumah sakit, hingga pemukiman sipil.

Insiden itu menimbulkan puluhan tewas dan luka-luka di kedua pihak, ribuan warga sipil dievakuasi.

Pada Desember 2025

Kamboja resmi menutup seluruh perlintasan perbatasan dengan Thailand tanpa batas waktu.

Bentrokan bersenjata kembali pecah pada 13 Desember 2025, menandai eskalasi konflik terbaru.

Pertempuran intens terjadi di sekitar Kuil Preah Vihear dan Prasat Ta Muen Thom, melibatkan artileri, roket, dan serangan udara.

Sedikitnya 40 orang tewas sejak bentrokan terbaru, termasuk tentara dan warga sipil.

Ratusan ribu penduduk mengungsi dari wilayah konflik di kedua negara.

Sekolah-sekolah di kawasan perbatasan ditutup massal, aktivitas belajar-mengajar terhenti.

Perdagangan lintas batas, tenaga kerja migran, dan pariwisata lumpuh akibat penutupan perbatasan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.