TRIBUNJAKARTA.COM - Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menjadi identitas baru ekosistem Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lahir dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto.
Kini BPI Danantara menjadi entitas super holding raksasa. Entitas tersebut mengelola tujuh BUMN induk/strategis dengan anak perusahaan yang mencapai 844 entitas, baik yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maupun Perusahaan Umum (Perum).
Total nilai aset yang BPI Danantara kelola mencapai USD900 miliar, perkiraan angkanya pun akan terus meningkat seiring bertambahnya aset di bawah naungannya.
Sebagai entitas yang mengelola kekayaan publik dengan skala yang sangat masif, BPI Danantara wajib bertanggung jawab kepada publik atas semua kebijakan dan tindakannya.
“Kita akui saja bahwa BUMN menjadi entitas politik,” kata Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faizal dikutip pada Selasa (16/12/2025).
Pengelolaan, kelembagaan, hingga pengawasan dan pertanggungjawaban menjadi isu sentral yang tak hanya menyoroti besaran dana modal sebesar seribu triliun rupiah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3G Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2025 Tentang BUMN, tetapi juga tata kelolanya.
Dia menegaskan bahwa RTD ini adalah upaya untuk mengambil peran memediasi pemikiran publik tentang apakah kehadiran BPI Danantara merupakan jalan keluar atau justru tetap sebuah problem.
“Pemerintahan yang silih berganti sebagai konsekuensi dari rotasi kekuasaan, sejatinya juga menawarkan cara pandang baru berikut harapan baru. Dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto, sebuah keputusan politik lahir bernama Danantara, identitas baru ekosistem BUMN. Danantara diharapkan menjadi jalan keluar, bukan sebaliknya,” ungkap Akbar Faizal.
Dia menyatakan bahwa Nagara Institute melakukan kajian mendalam untuk forum ini dengan para pemikir, pembuat kebijakan, dan kritikus kebijakan.
Diketahui, Nagara Institute dan Akbar Faizal Uncensored (AFU) kembali menyelenggarakan Round Table Discussion (RTD) dengan topik yang masih sama, terkait Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Acara digelar di Hotel Sahid Raya & Convention Yogyakarta, Selasa (16/12/2025).
Ruang ballroom Hotel Sahid Raya & Convention Yogyakarta menjadi saksi lahirnya sejumlah pemikiran-pemikiran kritis para peneliti dan pemikir negeri yang mengemukakan hasil riset mengenai kebijakan yang diambil pemerintah.
Setelah sukses di Surabaya pada 2 Desember 2025 lalu, RTD jilid II hadir di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengangkat tema ‘Menghitung Risiko dan Harapan Superholding BUMN Danantara’.
RTD Nagara Institute-AFU di Kota Pelajar ini merupakan kelanjutan dari rangkaian diskusi publik nasional yang rencananya menyambangi sepuluh kota besar.
Forum ini sangat urgen, mengingat BPI Danantara menjadi sebuah identitas baru ekosistem Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lahir dalam konteks pemerintahan Prabowo Subianto, kini menjadi entitas super holding raksasa.
Seluruh proses pendiskusian akan tayang secara eksklusif melalui kanal YouTube politik @AkbarFaizalUncensored untuk memastikan jangkauan dan transparansi.
“Sebuah buku akan dibuat dari diskusi ini dan akan kami serahkan kepada Presiden dan pihak Danantara Indonesia sebagai tawaran ide dan gagasan,” tutur Akbar Faizal.
Forum ini diawali dengan pemaparan dari tiga peneliti Nagara Institute yakni Prof Dr Satya Arinanto, SH MH (Guru Besar FH UI); Dr Mohamad Dian Revindo, Ph D(LPEM FEB UI) dan Dr. R. Edi Sewandono, SH MH (SKSG UI).
Prof Satya Arinanto, dari perspektif hukum menilai ada 12 poin penting terkait risiko superholding BUMN dan Danantara.
Beberapa poin itu di antaranya pengaturan nomenklatur, yang kedua penegasan kekuasaan.
“Lalu ada risiko tata kelola, korupsi, monopoli dan risiko investasi, resistensi BUMN dan risiko politisasi,” tegas Satya.
Sedangkam Edi Sewandono, menilai sebagian BUMN tumpang tindih antara bisnis dan rantai nilai yang dilakukan oleh BUMN dibidang perhotelan dan transportasi.
Berikutnya menurut Edi tentang perbedaan kinerja BUMN akibat salah urus yang kaitannya dengan politisasi.
Edi menilai Danantara belum siap menjadi lembaga pengelola dana investasi go international.
“Ini investasi karena kita mau go global, saya sampaikan bahwa kerentanan organ BPI Danantara itu sebenarnya bagaimana strukturnya belum menguasai investasi, masalah kaitannya return and aset,” ujarnya.
Adanya praktik konflik kepentingan struktural Danantara serta kerentanan akuntabilitas lembaga tersebut juga menjadi catatan buruk baginya.
Ditambah lagi ketidakpastian indeks risiko menyangkut kedaulatan negara juga menambah kekhawatiran.
Selain tiga peneliti Nagar Institute, diskusi juga menghadirkan narasumber utama Dr H Mukhamad Misbakhun, (Ketua Komisi XI DPR RI); Ir. Wijayanto Samirin (MPP Ekonomi/Pakar Kebijakan Publik); Ferry Latuhihin, M.Sc (Pakar Ekonomi); serta Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc., Ph.D., (Guru Besar FEB UGM).
RTD Nagara Institute-AFU ini bertujuan untuk menggali informasi, pandangan, dan usulan solusi atas serangkaian pokok pertanyaan yang terbagi menjadi isu umum dan isu spesifik.
Pada lingkup umum, forum ini akan mengkaji masalah fundamental terkait apa saja yang menjadi tantangan utama pengaturan oleh Badan Pengaturan (BP) BUMN dan tantangan utama penatakelolaan BPI Danantara yang berpotensi berdampak pada kinerja BUMN di masa depan.
Selain itu, pendiskusian akan berfokus terhadap upaya yang tepat untuk memperkuat pengaturan usaha BUMN dan pengelolaan super holding agar mencapai optimalisasi kinerja operasional dan investasi.
Hal krusial lainnya yang menjadi sorotan oleh Akbar Faizal dan para peneliti Nagara Institute adalah bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk menjamin keterbukaan usaha dan akuntabilitas demi keberlangsungan BUMN.
Pada lingkup yang lebih spesifik, pembahasan akan menyentuh peran masing-masing perusahaan BUMN dalam menopang kinerja BPI Danantara ke arah super holding investasi dan operasional.
Pertanyaan mengenai sejauh mana kesiapan BPI Danantara dalam mendukung keberlanjutan usaha BUMN, termasuk mitigasi risiko, model dan proses bisnis, serta strategi investasi berbasis holdingisasi, akan dikupas tuntas.
Perbaikan dalam desain transformasi BUMN juga menjadi sorotan, meliputi perbaikan di sisi hukum/regulasi, perbaikan usaha, dan perbaikan kinerja.
Mekanisme perbaikan pada sistem penyaluran dan penggunaan Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN, khususnya efektivitas dan efisiensi serta peran BP BUMN dan BPI Danantara, juga akan dianalisis.
Lebih lanjut, perbaikan yang diperlukan dalam penggunaan dividen untuk bisnis dan investasi—mencakup optimalisasi usaha, transparansi, dan akuntabilitas—serta perbaikan dalam penggunaan aset BUMN oleh superholding (optimalisasi, restrukturisasi, dan pendayagunaan aset) akan dibahas.
RTD ini juga mempertanyakan tantangan yang dihadapi dalam penggunaan aset BUMN sebagai ‘kekayaan negara yang dipisahkan’.
Hingga bagaimana BP BUMN dan BPI Danantara mengatur BUMN dalam menjawab kepentingan daerah terkait kemakmuran ekonomi.