TRIBUNNEWS.COM - Fenomena e-sport dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan perkembangan signifikan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Cabang olahraga berbasis digital ini bahkan mencatat sejarah penting saat diperkenalkan sebagai cabang eksibisi pada ajang Asian Games 2018.
Sejak momen tersebut, e-sport semakin mendapat pengakuan luas sebagai bentuk kompetisi yang serius, bukan lagi sekadar aktivitas bermain gim untuk mengisi waktu luang.
Secara konsep, e-sport merupakan olahraga elektronik yang terorganisir dan dijalani dengan sistem pelatihan profesional, layaknya cabang olahraga konvensional seperti sepak bola, bulu tangkis, atau basket.
Menariknya, akar e-sport sendiri telah tumbuh sejak lama yaitu di tahun 1972.
Tidak berhenti sebagai arena hiburan, e-sport juga mulai menyentuh ranah yang lebih luas, termasuk pendidikan.
Muncul pertanyaan menarik, "Bagaimana jika kompetisi e-sport tidak hanya berorientasi pada kemenangan, tetapi juga membawa nilai pembelajaran?"
Pertanyaan inilah yang kemudian melahirkan konsep e-sport pendidikan, sebuah pendekatan baru yang kini mulai mendapat perhatian. Mari kita bahas!
Jika ditelusuri lebih jauh, e-sport sejatinya bukanlah fenomena baru. Akar kompetisi gim sudah muncul sejak awal 1970-an, jauh sebelum internet dan industri gim berkembang seperti saat ini.
Salah satu catatan awal e-sport terjadi pada 1972 di Stanford University, Amerika Serikat, melalui sebuah kompetisi gim Spacewar yang diberi nama Spacewar Intergalactic Olympics.
Meski skalanya masih sangat kecil dan hadiahnya hanya berupa langganan majalah, ajang tersebut menandai lahirnya kompetisi gim terorganisir pertama di dunia.
Baca juga: Ganesha Operation Gandeng Dindikbud Banten Tingkatkan Kompetensi Siswa Jelang SNPMB 2026
Tonggak penting berikutnya hadir pada 1980, ketika Atari menggelar turnamen Space Invaders Championship.
Kompetisi ini menjadi turnamen video game besar pertama yang tercatat secara resmi, melibatkan ribuan peserta dari berbagai wilayah di Amerika Serikat.
Sejak saat itu, gim tidak lagi dipandang semata sebagai hiburan individu, melainkan mulai dikenali sebagai ajang adu kemampuan yang kompetitif.
Memasuki era 1980-an hingga awal 1990-an, ekosistem e-sport terus berkembang.
Kehadiran organisasi pencatat skor seperti Twin Galaxies, yang bahkan bekerja sama dengan Guinness World Records, memperkuat legitimasi kompetisi gim di mata publik.
Pada periode yang sama, turnamen seperti Nintendo World Championships turut memperluas jangkauan e-sport dengan melibatkan peserta lintas usia dan kota.
Memasuki abad ke-21, e-sport kian mengukuhkan diri sebagai industri global.
Struktur kompetisi semakin menyerupai olahraga konvensional, lengkap dengan pelatih, tim profesional, hingga program latihan khusus.
Kehadiran platform streaming seperti YouTube juga memperluas jangkauan penonton secara masif.
Final kejuaraan gim ternama bahkan mampu menarik puluhan juta penonton dari berbagai negara, menandakan bahwa e-sport telah menjadi bagian dari budaya populer dunia.
Perkembangan e-sport di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dinamika kemajuan teknologi informasi di Tanah Air.
Pada masa awal kemunculan komputer dan konsol gim dunia, Indonesia masih berada dalam tahap pembangunan dan transisi, sehingga adopsi teknologi digital berjalan lebih lambat dibandingkan negara-negara maju.
Baru ketika internet mulai dikenal luas pada pertengahan 1990-an, ruang bagi perkembangan gim daring di Indonesia mulai terbuka.
Masuknya internet komersial dan menjamurnya warung internet atau warnet menjadi titik penting bagi tumbuhnya komunitas gim di Indonesia.
Warnet bukan hanya berfungsi sebagai tempat bermain, tetapi juga menjadi ruang bertemu, berlatih, dan bertanding bagi para pemain gim.
Dari sinilah kompetisi gim mulai terbentuk, meski dengan keterbatasan fasilitas dan akses informasi.
Seiring waktu, skala kompetisi pun meningkat. Indonesia mulai terlibat dalam ajang e-sport internasional, salah satunya melalui penyelenggaraan World Cyber Games (WCG) pada 2002 di sejumlah kota besar.
Puncak pengakuan e-sport di Indonesia tercermin ketika cabang olahraga elektronik resmi dipertandingkan sebagai cabang ekshibisi pada Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang.
Momentum ini menandai perubahan besar dalam cara pandang masyarakat, bahwa e-sport bukan lagi sekadar hobi, melainkan bagian dari olahraga prestasi yang memiliki masa depan cerah bagi generasi muda Indonesia.
Pada SEA Games 2025 yang digelar di Thailand, e-sport kembali dipertandingkan dengan sejumlah penyesuaian, di mana empat gim diperlombakan, yakni Mobile Legends: Bang Bang, Arena of Valor, FC Online, dan Free Fire.
Indonesia menurunkan puluhan atlet untuk berlaga di berbagai nomor, termasuk MLBB putra dan putri, Free Fire, serta FC Online berbasis PC.
Prestasi pun kembali ditorehkan, salah satunya melalui raihan medali perunggu pada nomor MLBB putra.
Capaian ini semakin menegaskan posisi e-sport sebagai cabang olahraga kompetitif yang terus berkembang dan memiliki ruang prestasi bagi generasi muda Indonesia.
Di tengah pesatnya perkembangan e-sport, muncul perhatian penting terhadap dampaknya bagi generasi muda.
Di satu sisi, e-sport kerap dikaitkan dengan aktivitas bermain gim yang berlebihan.
Namun di sisi lain, jika dikelola secara tepat dan terarah, e-sport justru menyimpan potensi edukatif yang besar sebagai sarana pembelajaran yang relevan dengan karakter generasi digital.
Gim berbasis kompetisi mendorong pemain untuk memahami instruksi berbahasa Inggris, melatih kemampuan membaca, serta mengasah kecerdasan visual dan spasial.
Interaksi dalam gim multiplayer juga menuntut koordinasi, komunikasi, kerja sama tim, dan sportivitas.
Nilai-nilai tersebut menjadi fondasi munculnya gagasan e-sport yang tidak hanya berorientasi pada kemenangan, tetapi juga pada proses belajar dan pengembangan karakter.
Gagasan ini diwujudkan melalui The Champion Race, kompetisi e-sport pendidikan pertama di Indonesia yang diselenggarakan oleh Ganesha Operation.
Mengusung konsep Ganesha Operation E-Sport (GO E-Sport), ajang ini memadukan mekanisme kompetisi e-sport dengan konten akademik.
Peserta tidak bertanding menggunakan gim konvensional, melainkan mengerjakan soal-soal pembelajaran secara real-time melalui aplikasi GO Expert, melawan siswa GO lain dari berbagai daerah di Indonesia sesuai jenjang pendidikannya.
The Champion Race diikuti oleh siswa Ganesha Operation dari seluruh Indonesia yang memenuhi persyaratan tertentu.
Pada babak penyisihan, siswa diwajibkan telah mengerjakan minimal 6.000 soal dengan tingkat ketepatan jawaban sedikitnya 75 persen.
Sementara itu, untuk melaju ke babak semifinal, peserta harus mencapai total 12.000 soal dengan akurasi minimal 75 persen, serta mencatatkan dua nilai sempurna dalam proses pengerjaannya.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa kompetisi dibangun di atas proses belajar yang konsisten sejak awal siswa bergabung.
Keunikan tersebut membedakan The Champion Race dari kompetisi e-sport pada umumnya.
Fokus utama ajang ini bukan semata mencari pemenang, melainkan mendorong siswa untuk belajar secara berkelanjutan, berpikir cepat dan tepat, serta berkompetisi secara sehat dalam suasana yang menyenangkan.
Inovasi ini pula yang mengantarkan Ganesha Operation meraih rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai bimbingan belajar pertama yang menyelenggarakan e-sport pendidikan.
Melihat perjalanan panjang e-sport, baik di tingkat global maupun nasional, arah perkembangannya kini semakin jelas.
E-sport tidak lagi berdiri semata sebagai hiburan atau ajang kompetisi prestasi, tetapi mulai bergerak ke ranah yang lebih spesifik, yakni pendidikan.
Tantangan ke depan bukan sekadar memperbanyak turnamen, melainkan menghadirkan model e-sport yang sehat, terarah, dan memberi dampak positif bagi tumbuh kembang pelajar.
Model e-sport pendidikan dari Ganesha Operation menawarkan pendekatan baru dalam dunia belajar.
Kompetisi dikemas untuk mendorong siswa berpikir cepat, fokus, disiplin, dan mampu mengelola tekanan, tanpa meninggalkan esensi pembelajaran itu sendiri.
Dalam konteks ini, e-sport tidak bertentangan dengan pendidikan, justru dapat menjadi sarana pendukung pembentukan karakter dan prestasi akademik jika dirancang dengan tepat.
The Champion Race menjadi salah satu contoh nyata dari arah baru tersebut. Keberlanjutan kompetisi ini menunjukkan bahwa e-sport pendidikan bukan sekadar konsep sesaat.
Pada Sabtu, 13 Desember 2025, babak penyisihan kedua The Champion Race 2026 berhasil digelar oleh Ganesha Operation dan diikuti oleh siswa dari berbagai daerah di Indonesia.
Para peserta yang lolos melaju ke semifinal, sementara siswa lainnya masih memiliki kesempatan melalui babak penyisihan berikutnya, yang dijadwalkan berlangsung pada Februari 2026.
Skema berjenjang yang diterapkan, dengan persyaratan capaian pengerjaan dan ketepatan soal, menegaskan bahwa kompetisi ini menempatkan proses belajar sebagai fondasi utama.
Dengan pendekatan tersebut, The Champion Race tidak hanya menjadi ajang mencari juara, tetapi juga ruang belajar kompetitif yang mendorong siswa terus berkembang. (*)