Pemerintah NPD di Tengah Bencana
December 17, 2025 02:03 PM

*) Oleh: Prof. Mailizar

DALAM dunia psikologi, Narcissistic Personality Disorder (NPD) adalah gangguan kepribadian yang ditandai dengan rasa percaya diri berlebihan, kebutuhan akan kekaguman, dan kurangnya empati terhadap orang lain.

Individu dengan NPD cenderung merasa dirinya paling mampu, tidak membutuhkan bantuan, dan menolak kritik atau masukan dari luar.

Jika karakteristik ini melekat pada individu, dampaknya bisa terasa dalam lingkup keluarga atau pertemanan.

Namun, bagaimana jika pola pikir NPD ini justru tercermin dalam kebijakan pemerintah, terutama saat menghadapi bencana besar yang menelan banyak korban jiwa?

Bencana banjir besar yang melanda Sumatera baru-baru ini menjadi ujian nyata bagi pemerintah Indonesia. Data terakhir menunjukkan korban meninggal telah mencapai 1.030 orang, dengan 206 lainnya masih dinyatakan hilang.

Di tengah situasi darurat ini, pemerintah justru menegaskan sikap menolak bantuan asing. Presiden Prabowo, misalnya, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia mampu menangani bencana ini sendiri dan tidak membutuhkan bantuan dari negara lain.

Sikap ini, meski mungkin dimaksudkan untuk menjaga harga diri bangsa, justru menimbulkan pertanyaan besar: Apakah kebanggaan nasional lebih penting daripada keselamatan dan nyawa rakyat?

Penolakan bantuan asing ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi, ada kebanggaan tersendiri ketika negara mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Namun, di sisi lain, banyak korban yang tidak mendapatkan pertolongan yang layak seperti di wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah yang sampai hari masih terisolir melalui jalur darat.

Kondisi di lapangan menunjukkan masih banyak warga yang terisolasi, kekurangan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.

Sementara itu, waktu adalah faktor krusial dalam penanganan bencana. Setiap jam yang terbuang tanpa bantuan berarti semakin banyak nyawa yang terancam.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana pola pikir NPD bisa berbahaya jika diterapkan dalam kebijakan publik. Jerrold M. Post dalam bukunya Narcissism and Politics: Dreams of Glory menegaskan bahwa narsisisme pada pemimpin politik adalah pedang bermata dua.

Di satu sisi, sifat percaya diri dan visi besar dapat menjadi kekuatan pendorong bagi kepemimpinan yang efektif.

Namun, jika tidak diimbangi dengan empati dan refleksi diri, narsisisme dapat berubah menjadi keangkuhan yang membahayakan, terutama ketika pemimpin menutup diri dari kritik dan masukan luar.

Post menyoroti bahwa pemimpin dengan kecenderungan narsistik seringkali mengutamakan citra dan harga diri di atas kebutuhan riil masyarakat, sehingga respons terhadap krisis menjadi tidak efektif dan bahkan destruktif.

Dalam konteks bencana di Sumatera, pemerintah yang terlalu percaya diri dan menutup diri dari bantuan luar, tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan, justru berisiko mengorbankan rakyatnya sendiri.

Dalam situasi bencana, yang dibutuhkan adalah kecepatan, kolaborasi, dan empati. Menolak bantuan atas nama harga diri, sementara korban terus berjatuhan, adalah bentuk abai terhadap tanggung jawab kemanusiaan.

Seperti yang diuraikan Post, kepemimpinan yang sehat adalah kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan visi besar dengan kerendahan hati untuk menerima bantuan dan kritik.

Beberapa tokoh publik seperti ketua DPD bahkan terang-terangan menyatakan bahwa donasi asing tidak perlu, dan bangsa Indonesia harus mengandalkan kekuatan sendiri.

Namun, pernyataan semacam ini justru menambah luka bagi para korban yang masih menunggu pertolongan.

Mereka yang kehilangan keluarga, rumah, dan harapan, tentu tidak peduli dari mana bantuan datang. Yang mereka butuhkan hanyalah uluran tangan, secepat mungkin.

Dalam konteks global, solidaritas antarbangsa dalam menghadapi bencana adalah hal yang lumrah dan bahkan dianjurkan.

Banyak negara besar pun tidak segan menerima bantuan internasional saat menghadapi bencana besar, karena mereka paham bahwa keselamatan rakyat adalah prioritas utama.

Menolak bantuan bukanlah tanda kekuatan, melainkan bisa menjadi cerminan keangkuhan yang membahayakan, sebagaimana diingatkan oleh Post dalam analisisnya tentang dampak negatif narsisisme politik.

Pemerintah seharusnya mampu membedakan antara menjaga martabat bangsa dan memenuhi kebutuhan mendesak rakyatnya.

Harga diri nasional memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan nyawa dan keselamatan warga. 

Dalam situasi darurat, membuka diri terhadap bantuan asing bukan berarti lemah, melainkan menunjukkan kebesaran hati dan kepedulian terhadap sesama.

Kepemimpinan yang sehat, menurut Post, adalah kepemimpinan yang mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas ego pribadi maupun kolektif.

Bencana di Sumatera ini menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia. Apakah akan terus terjebak dalam ego dan ilusi ‘mampu melakukan segalanya’, ataukah kita berani mengakui keterbatasan dan membuka diri untuk menerima bantuan?

Pemerintah yang bijak adalah pemerintah yang mampu menempatkan keselamatan dan kepentingan rakyat di atas segalanya, termasuk di atas harga diri semu.

Sudah saatnya pemerintah berani mengakui bahwa pola pikir NPD adalah penyakit yang harus segera disembuhkan.

Pemerintah perlu membangun budaya kepemimpinan yang rendah hati, terbuka terhadap kolaborasi, dan mengutamakan keselamatan rakyat di atas ego dan gengsi semu.

Menyembuhkan “penyakit NPD” ini bukan hanya soal memperbaiki citra, tetapi juga soal menyelamatkan nyawa dan memulihkan kepercayaan publik.

Hanya dengan sikap terbuka, empati, dan kerjasama lintas batas, bangsa ini bisa benar-benar kuat dan bermartabat di mata dunia—sejalan dengan refleksi Post bahwa kepemimpinan sejati adalah yang mampu menyeimbangkan visi besar dengan kerendahan hati dan empati.

*) Penulis adalah Guru Besar Universitas Syiah Kuala

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.