Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa penerapan sanksi pidana harus menjadi alternatif terakhir dalam sengketa hak cipta setelah jalur sanksi administratif ataupun perdata ditempuh, tetapi tidak membuahkan hasil.

Penegasan itu tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 terkait uji materi Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diucapkan di Jakarta, Rabu.

"Dalam konteks hak cipta, sanksi pidana hanya akan diterapkan setelah semua upaya penyelesaian mekanisme yang lain, seperti sanksi administratif atau perdata, dinilai tidak memadai atau tidak memberikan penyelesaian," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

MK menyatakan pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta karena menggunakan ciptaan secara komersial tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta harus mengedepankan sanksi administratif dan mekanisme keperdataan, dibandingkan pidana.

Hal itu, jelas Enny, sejalan dengan prinsip utimum remedium dalam hukum pidana yang meletakkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu masalah hukum.

Menurut Mahkamah, penerapan sanksi pidana sebagai upaya pertama akan dapat menimbulkan kekhawatiran ataupun ketakutan bagi pengguna ciptaan yang banyak berprofesi sebagai seniman, musisi, dan pelaku pertunjukan untuk tampil di publik.

Kondisi itu turut dinilai berpotensi berpengaruh pada ekosistem seni dan budaya. Padahal, ihwal pembentukan UU Hak Cipta, salah satunya, dimaksudkan agar hak cipta dapat menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional.

Enny mengatakan kerugian yang ditimbulkan oleh pelanggaran hak cipta pada dasarnya merupakan kerugian ekonomi yang bersifat multiaspek, tidak hanya bersifat personal yang menitikberatkan pada kepentingan pribadi sehingga penyelesaiannya akan lebih tepat jika tidak langsung menggunakan mekanisme hukum pidana.

"Oleh karena itu, penyelesaian sengketa yang ditempuh seharusnya adalah dengan terlebih dahulu mengedepankan penyelesaian secara administratif dan/atau keperdataan sebelum menempuh penegakan sanksi hukum pidana," ujarnya.

Ditekankan pula oleh MK, tujuan utama penyelesaian secara administrasi dan perdata adalah untuk menyelesaikan sengketa, melindungi hak individu, dan memberikan pemulihan serta ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

Mahkamah pun memandang bahwa hak cipta yang diterapkan dalam UU Hak Cipta mengandung fleksibilitas yang seharusnya diikuti dengan penyelesaian yang memberikan perlindungan kepada semua pihak secara proporsional.

Perlindungan semua pihak yang dimaksud MK adalah misalnya dengan penyelesaian ganti rugi secara administratif atau perdata melalui pembayaran kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dengan begitu, mekanisme pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir.

"Hal tersebut menjadi pedoman dan harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dalam penegakan hukum hak cipta," Enny menegaskan.

Dia juga menegaskan penegakan sanksi pidana dimaksud harus dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai bagian dari penerapan prinsip ultimum remedium.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK mengabulkan permohonan musisi Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana), Nazril Irham (Ariel NOAH), serta 27 musisi dan penyanyi lainnya itu berkaitan dengan norma Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.

Pasal dimaksud berbunyi, "Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00."

MK menegaskan pula bahwa penerapan sanksi pidana yang seharusnya menjadi alternatif terakhir itu tidak hanya berlaku terhadap pelanggaran hak ekonomi dalam pertunjukan ciptaan, sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1) huruf f, tetapi juga terhadap pelanggaran lainnya.

Maka dari itu, dalam amar putusan, MK menyatakan frasa "huruf f" dalam norma Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dimaknai menjadi "dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice".