Alasan Legal Corporate Wilmar Pilih AALF di Perkara Migor: Singgung Putusan Lepas
December 17, 2025 10:42 PM

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kembali menggelar sidang dugaan suap hakim dan perintangan penyidikan kasus vonis lepas korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak goreng, PN Tipikor Jakarta, Rabu (17/12/2025).

Pada persidangan hari ini jaksa menghadirkan 4 orang saksi ke persidangan, untuk mengetahui alasan Wilmar Group memilih Artianto Arnaldo Law Firm untuk mengurus perkara kasus minyak goreng.

Kasus suap CPO ini melibatkan Kantor Hukum Arianto Arnaldo Law Firm (AALF), di mana pengacara Arianto Bakri (AR) dan Marcella Santoso (MS) didakwa menyuap hakim PN Jakarta Pusat agar memberikan putusan lepas (onslag) tiga terdakwa korporasi perkara korupsi izin ekspor CPO, dengan total suap diduga mencapai Rp40 miliar.

Marcella Santoso dan Ariyanto merupakan pengacara tiga terdakwa korporasi kasus pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.

Tiga korporasi tersebut di antaranya Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group, yang seluruhnya telah diputus oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.

Advokat Marcella Santoso didakwa memberikan suap senilai Rp40 miliar kepada majelis hakim agar menjatuhkan vonis lepas atau onslag terhadap tiga terdakwa korporasi dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).

Awalnya suap diberikan Marcella Santoso dan Ariyanto kepada Arif Nuryanta yang kala itu menjabat sebagai eks Wakil Ketua Pengadilan Jakarta Pusat melalui Wahyu Gunawan (WG) panitera muda PN Jakarta Utara.

Arif Nuryanta kemudian memengaruhi majelis hakim yang menangani perkara CPO, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom hingga akhirnya menjatuhkan vonis lepas kepada tiga korporasi yang terlibat.

Putusan onslag pun dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu.

Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp 17 triliun terhadap tiga terdakwa korporasi tersebut.

Di persidangan, Marcella sempat meminta dibebaskan dari surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dan meminta proses pemeriksaan perkara tersebut dihentikan.

Kubu Marcella menyebut pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut dan meminta pemeriksaan perkaranya dihentikan atau batal demi hukum.

Lalu, permintaan seluruh harta benda yang disita penyidik Kejaksaan Agung RI untuk dikembalikan.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menolak eksepsi atau nota keberatan dari Marcella Santoso dan suaminya Ariyanto.

Karena seluruh eksepsi para terdakwa telah ditolak, perkara kini memasuki tahap pembuktian.

Untuk lebih lengkapnya kita akan beragabung dengan Reporter Tribunnews.com, Rahmat Nugraha di PN Tipikor Jakarta.

Advokat Marcella dan Arianto didakwa telah memberikan uang suap senilai Rp 40 miliar kepada majelis hakim yang memberikan vonis lepas atau ontslag dalam kasus pemberian fasilitas ekspor kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO). 

Uang suap ini kemudian dibagikan ke lima orang dari kluster pengadilan, sudah lebih dahulu dituntut dalam berkas perkara lain. 

Rinciannya, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta didakwa menerima Rp 15,7 miliar; panitera muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, menerima Rp 2,4 miliar. 

Sementara itu, Djuyamto selaku ketua majelis hakim menerima Rp 9,5 miliar, sedangkan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp 6,2 miliar. 

Atas suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.

Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta memutuskan Arif Nuryanta divonis 12 tahun 6 bulan penjara pada perkara suap pengurusan perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) vonis lepas korporasi.

Arif Nuryanta juga divonis membayar denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara.

Tak hanya itu, Arif Nuryanta dibebankan pidana tambahan uang pengganti Rp14,7 miliar subsider 5 tahun penjara.

Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharuddin masing-masing dipidana selama 11 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Majelis Hakim turut menjatuhkan ketiga hakim dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

Secara rinci, Djuyamto divonis untuk membayar uang pengganti senilai Rp9,21 miliar serta Ali dan Agam masing-masing Rp6,4 miliar, dengan masing-masing subsider 4 tahun penjara.

Saksikan tayangan LIVE UPDATE lengkapnya hanya di YouTube Tribunnews!

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.