TRIBUNJATIM.COM - Kelakuan seorang pria tergeletak tak bergerak di tengah jalan membuat warga kecele.
Sebab, warga yang mendekati tak menemukan luka karena kecelakaan lalu lintas, malah mendapati tanda-tanda gangguan jiwa.
Peristiwa itu terjadi di ruas Jalan Lintas Barat Sumatera, Pekon Tambahrejo Barat, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung, Selasa (16/12/2025) sore.
Warga yang melintas di lokasi kejadian sempat panik.
Baca juga: 2 Karyawan Minimarket Ketakutan Lapor Damkar Minta Usir ODGJ karena Bawa Tongkat Masuk Area Kasir
Semula, pria itu awalnya dikira menjadi korban kecelakaan lalu lintas.
Namun setelah didekati, warga tidak menemukan satu pun luka di tubuhnya dan justru menunjukkan tanda-tanda gangguan jiwa.
Demi menghindari risiko kecelakaan dan membahayakan pengguna jalan lainnya, warga segera menghubungi polisi melalui layanan darurat 110.
Respons cepat ditunjukkan Polsek Gadingrejo yang langsung mendatangi lokasi pria diduga ODGJ yang tidur di Jalinbar .
Kapolsek Gadingrejo Iptu Sugiyanto mengatakan, pria tersebut merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
“Namanya Robana, warga Pekon Bandar Kejadian, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus,” ujarnya Rabu (17/12/2025).
Tak lama berselang, pihak keluarga pria ODGJ datang menjemput dan membenarkan bahwa yang bersangkutan telah lama mengalami gangguan kejiwaan.
Menurut keluarga, Robana memiliki kebiasaan tidur di sembarang tempat, bahkan di badan jalan.
“Pengobatan sudah dilakukan, tetapi kondisinya sering kambuh dan yang bersangkutan kerap pergi meninggalkan rumah,” jelas Sugiyanto.
Ia mengapresiasi kepedulian masyarakat yang cepat bertindak dan melapor terkait pria ODGj yang dtidur di badan jalan.
“Masyarakat jangan ragu memanfaatkan layanan 110. Partisipasi warga sangat membantu dalam mencegah kejadian yang lebih fatal,” tegasnya.
Dilansir dari laman Kemenkes,
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala, dan/atau perubahan perilaku bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia dan terdiagnosis sebagai gangguan jiwa sesuai kriteria diagnosis yang ditetapkan.
Siapapun dapat menjadi ODGJ. Namun sayangnya, ODGJ sering kali menghadapi berbagai mitos dan stigma di masyarakat.
Hal ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan mereka, tetapi juga menghambat proses pemulihan dan akses terhadap perawatan yang layak.
Stigma yang Dihadapi ODGJ
Stigma adalah pandangan negatif yang diberikan oleh seseorang atau masyarakat terhadap ODGJ masih sering terjadi. Stigma tersebut menimbulkan diskriminasi bahkan pengucilan terhadap ODGJ. Beberapa bentuk stigma yang sering muncul meliputi:
Penyebutan istilah yang merendahkan seperti "orang gila"
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah melarang penyebutan atau pelabelan negatif terhadap individu dengan gangguan kejiwaan, sehingga istilah yang digunakan adalah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Keyakinan bahwa gangguan jiwa terkait dengan hal mistis atau roh jahat
Kepercayaan ini seringkali mendorong keluarga untuk mencari pengobatan alternatif ke dukun, bahkan menyebabkan praktik pemasungan atau pengucilan.
ODGJ dianggap tidak berguna dan tidak dapat melakukan kegiatan produktif
Hal ini menyebabkan mereka sering dikucilkan, diisolasi, atau bahkan dipasung di tempat yang tidak layak.
Mengolok-olok orang yang berkonsultasi ke pelayanan kesehatan jiwa (psikiater, psikolog) sebagai "orang gila"
Stigma ini menghambat banyak orang untuk mencari pertolongan profesional. Padahal keterlambatan penanganan menyebabkan semakin parahnya gangguan jiwa yang diderita.
Mitos dan stigma memiliki dampak serius dan negatif bagi ODGJ, di antaranya:
Hambatan dalam mendapatkan penanganan
Rasa malu dan takut dihakimi membuat ODGJ atau keluarga mereka enggan mencari bantuan profesional, sehingga memperlambat proses pemulihan.
Isolasi sosial dan diskriminasi
ODGJ sering dikucilkan dari lingkungan sosial, tidak mendapatkan pendidikan yang layak, mendapat perlakuan kasar dan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Kadang-kadang juga pemasungan dengan berbagai bentuk (dari dikunci di kamar, dirantai atau dikucilkan di rumah tidak layak huni).
Peningkatan beban psikologis
Stigma akan memengaruhi konsep diri ODGJ, menurunkan harga diri, dan memperburuk kondisi mental mereka, sehingga membuat mereka menarik diri dari lingkungan sosial.
Penurunan kualitas hidup dan pemulihan
Stigma yang terus-menerus akan menghambat interaksi sosial dan integrasi ODGJ dengan lingkungan, memperburuk kondisi mereka, dan bagi yang sudah mendapat penanganan dengan baik akan menyebabkan kekambuhan.
Mengatasi mitos dan stigma terhadap ODGJ adalah tanggung jawab bersama, tidak bisa hanya dilakukan oleh tenaga medis dan kesehatan. Langkah yang dapat dilakukan bersama adalah sebagai berikut:
Edukasi kesehatan mental
Dengan menyebarluaskan informasi yang akurat mengenai gangguan jiwa, penyebabnya, dan pilihan penanganannya. Edukasi dapat membantu masyarakat memahami bahwa gangguan jiwa adalah kondisi medis yang dapat diobati, sama seperti penyakit fisik lainnya.
Meningkatkan empati dan pemahaman
Dengan berusaha memahami perspektif ODGJ dan tidak menghakimi, berbicara terbuka tentang kesehatan mental untuk menghilangkan mitos dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.
Mendukung pencarian pertolongan
Dengan mendorong ODGJ dan keluarganya untuk segera mencari bantuan profesional di layanan kesehatan terdekat (Puskesmas, rumah sakit, dan atau rumah sakit jiwa).
Membangun sistem pendukung (support system)
Dengan melibatkan keluarga, teman, dan komunitas agar memiliki peran penting dalam memberikan dukungan emosional, penghargaan, instrumental (bantuan biaya), dan informatif (saran dan nasihat) bagi ODGJ. Penerimaan dan pemahaman keluarga sangat penting untuk keberhasilan penanganan ODGJ.
Melawan diskriminasi
Dengan tidak melakukan pemasungan atau pengucilan, serta melaporkan praktik-praktik diskriminatif terhadap ODGJ kepada pihak berwajib, karena pemasungan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jangankan ODGJ, orang tanpa gangguan jiwa jika dipasung juga akan mengalami gangguan jiwa.
Yaitu mendukung ODGJ untuk dapat hidup produktif dan berintegrasi kembali dengan masyarakat setelah kondisinya terkontrol.
Dengan upaya dan kepedulian bersama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan menghilangkan stigma terhadap ODGJ, sehingga mereka bisa mendapatkan dukungan dan perawatan yang mereka butuhkan untuk mencapai pemulihan yang optimal.