Bertahan dari Kue Subuh, UMKM Kampung Kue Cirebon Lebih Pilih Tepung Mahal Demi Rasa
December 18, 2025 10:11 PM

Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto

TRIBUNJABAR.ID, CIREBON- Saat sebagian besar warga masih terlelap, aktivitas di Kampung Kue Pekantingan, Desa Pekantingan, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, justru sudah dimulai sejak dini hari.

Dari dapur-dapur sederhana, aroma santan, pandan dan daun suji menguar, menandai dimulainya produksi “kue subuh” yang setiap hari menghidupi puluhan keluarga.

Salah satunya adalah Yani (50), pelaku usaha mikro pembuat kue lapis, talam dan cikak yang telah menekuni usaha ini selama puluhan tahun.

Di balik kue yang dijual serba Rp 1.000 hingga Rp 2.000 itu, tersimpan prinsip kuat, yakni kualitas tak boleh ditawar, meski harus memakai bahan baku yang lebih mahal.

“Kalau pakai tepung lokal itu hasilnya kurang bagus."

"Enggak kenyal, benyek, terus warnanya agak hitam,” ujar Yani saat ditemui di tempat produksinya, Kamis (18/12/2025).

Menurut Yani, secara rasa memang tak jauh berbeda.

Namun tekstur menjadi penentu utama apakah kue bisa dijual atau tidak.

“Kalau dingin tuh jadi keras, kena angin jadi atos. Susah dipotong, terus bantat."

"Jadi enggak bisa dijual. Kalau gitu kan capek-capek bikin, hasilnya gagal,” ucapnya.

Baca juga: Pilihan Tepung Beras Pengaruhi Omzet Penjualan UMKM Kue Tradisional


Karena alasan itulah, Yani memilih bertahan menggunakan tepung beras kemasan bermerek meski harganya jauh lebih mahal dibanding tepung lokal.

“Memang mahal yang kemasan, tapi hasilnya bagus. Ya enggak apa-apa lah,” jelas dia, lugas.

Takut Gagal, Takut Komplain

Bagi Yani, menjaga konsistensi rasa dan tekstur adalah kunci mempertahankan pelanggan yang sudah puluhan tahun setia.

Istri dari Diki (51) itu mengaku, pernah mendapat komplain saat mencoba bahan berbeda.

“Pasti ada yang komplain. ‘Ini kenapa rasanya beda?’ Pelanggan itu sudah hafal dari rasanya,” katanya.

Setiap hari, Yani memproduksi berbagai jenis kue tradisional seperti kue lapis, talam, cikak, dodol hingga cilok.

Kue-kue tersebut dipasarkan ke berbagai wilayah, mulai dari Pasar Arjawinangun, Tegal Gubug, Kertasemaya, Jatibarang hingga Indramayu.

“Ini namanya kue subuh. Sore diambil, berangkatnya malam. Ada yang jam 12, jam 2, bahkan jam 9 malam,” ujarnya.

Dalam sehari, omzet usaha Yani bisa mencapai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta.

Ia dibantu tiga orang pekerja yang mulai bekerja sejak pukul 04.00 WIB hingga sekitar pukul 19.00 WIB.

“Libur paling dua minggu sekali. Kalau saya bikin kue itu harus apik. Kalau bahannya enggak bagus, saya malas bikinnya,” ucap Yani.

Selama 30 tahun, usaha kue inilah yang menjadi tumpuan hidup keluarganya.

“Dari jualan kue ini bisa makan, bisa sekolahin anak-anak. Alhamdulillah,” jelas dia, yang kini memiliki tiga anak.

Baca juga: Berkah Ramadhan, Tukang Kue di Pangandaran Kebanjiran Orderan untuk Buka Puasa dan Lebaran

UMKM Lain, Prinsip yang Sama

Prinsip serupa juga dipegang Wenny (39), pelaku UMKM pembuat kue lapis dan Botok Roti di Kampung Kue Pekantingan. 

Ia mengaku, sudah mencoba membandingkan tepung lokal dengan tepung kemasan.

“Kalau yang lokal itu lebih hitam. Yang kemasan meski enggak pakai pewarna, sudah putih bersih. Baunya juga lebih wangi,” kata Wenny.

Menurutnya, kue berbahan tepung lokal cenderung cepat lembek dan berair, terutama jika menggunakan santan.

“Jam segini saja sudah berair di kemasan. Kalau yang kemasan kan enggak, sampai sore masih bagus,” ujarnya.

Meski harga bahan baku terus merangkak naik, Weni mengaku sulit menaikkan harga jual karena pasar sudah terbiasa dengan harga murah.

“Orang pasar taunya Rp1.000, Rp2.000. Kita mau naikin harga ke bakul itu susah,” ucap Weni.

Dalam sehari, omzet Weni bisa mencapai sekitar Rp 3,2 juta.

Usahanya dijalankan bersama suami dan dibantu lima orang tetangga sekitar.

Baca juga: Warisan Arang dan Rasa Tak Tergantikan dari Banjaran Bandung, Kue Balok Ating Bertahan Sejak 1969

Takut Mengecewakan Pembeli

Sementara itu, Lia (35), pembuat kue apem mangkok, juga memilih tetap menggunakan tepung kemasan demi menjaga tekstur kue.

“Kalau pakai yang lokal itu keras, bantet. Kalau didiamkan lama jadi enggak empuk,” jelas Lia

Lia mengaku lebih memilih bahan kemasan meski harganya lebih mahal karena mempertimbangkan kepuasan pembeli.

“Takut ngecewain pembeli. Kalau kuenya keras, nanti enggak laku di pasar,” katanya.

Dalam sehari, Lia memproduksi sekitar 300 hingga 400 kue apem yang dipasarkan ke sejumlah pasar di Kabupaten Cirebon dengan sistem konsinyasi.

Dinas: UMKM Pilih Tepung Beras Kemasan

Kepala Bidang Usaha Mikro Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Cirebon, Maharto mengakui, bahwa sebagian besar pelaku UMKM jajanan tradisional di wilayahnya memang lebih memilih tepung beras kemasan karena hasilnya lebih baik.

“Memang harga tepung kemasan lebih mahal, tapi teksturnya lebih bagus untuk dijual."

"Bagi usaha mikro, yang penting bahan baku tersedia setiap hari."

"Kalau hari ini ada, besok tidak ada, itu bisa mematikan usaha mereka karena perputaran uangnya harian,” ujar Maharto.

Ia menambahkan, di Kecamatan Klangenan terdapat sekitar 1.000 UMKM di 10 desa, dengan Desa Klangenan dikenal sebagai Kampung Kue yang usahanya telah turun-temurun.

Maharto menambahkan, pelaku UMKM paham terhadap kebijakan pemerintah menutup keran impor beras untuk industri karena jumlah penggunaannya tidak terlalu besar, beli 1 atau 2 bungkus dan masih ada di pasaran.

“Usaha mikro yang penting ada bahan untuk dijual hari ini."

"Harga murah bahan baku nggak ada sekarang ada besok nggak ada kan kasihan, perputaran uang mereka di situ."

"Kalau bahan baku sulit mereka mau makan apa,?” ucapnya
.
Para pelaku usaha sendiri berharap kebijakan pemerintah terkait pangan dan impor bahan baku industri tidak berdampak pada ketersediaan tepung beras kemasan di pasar.

Bagi mereka, kesinambungan pasokan dan kualitas bahan baku menjadi kunci keberlangsungan usaha, pendapatan keluarga, serta penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM.

“Yang kami harapkan sederhana, tepung beras tetap ada, kualitas bagus, dan harganya terjangkau."

"Kalau bahan baku terganggu, kami yang kecil ini yang paling dulu kena dampaknya,” tutup Ibu Yani.

Di Kampung Kue Pekantingan, desa yang diyakini berdiri sejak abad kecil, kue tradisional bukan sekadar panganan.

Ia adalah denyut ekonomi, warisan budaya, sekaligus bukti keteguhan UMKM bertahan di tengah tekanan biaya, demi satu hal sederhana, yakni rasa yang tetap sama sejak puluhan tahun lalu.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.