Demi Bela Ayah dan Kakak, AI Berubah dari Sayang jadi Sadis hingga Nekat Habisi Ibu Kandung
December 19, 2025 09:27 AM

TRIBUN-MEDAN.com - Kasus dugaan pembunuhan ibu oleh anak kandung di Medan terus membuka fakta-fakta mengejutkan.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, mengungkap bahwa peristiwa tragis yang melibatkan Al dan ibunya, Faizah, masuk dalam kategori kejahatan langka yang dikenal sebagai parisida.

Pengungkapan ini disampaikan Diyah setelah pihaknya memperoleh informasi langsung dari penelusuran lapangan dan pendampingan yang dilakukan bersama lembaga perlindungan anak daerah.

Fenomena Parisida: Anak sebagai Pelaku, Orang Tua sebagai Korban

ANAK HABISI IBUNYA - Kolase potret Faizah Soraya dan putri kandungnya yang diduga pelaku yang menghabisi ibunya sendiri.
ANAK HABISI IBUNYA - Kolase potret Faizah Soraya dan putri kandungnya yang diduga pelaku yang menghabisi ibunya sendiri. (TikTok)

Diyah menegaskan bahwa tindakan yang diduga dilakukan Al bukanlah pembunuhan biasa.

“Kejadian ini adalah parisida, di mana pembunuhan terjadi orangtua sebagai korban dan pelakunya adalah anak,” ungkap Diyah dalam tayangan YouTube tvOne News, Rabu (17/12/2025).

Menurutnya, fenomena anak membunuh orang tua memiliki kompleksitas tinggi dan dipicu oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.

“Di dalam kasus parisida memang banyak faktor, di antaranya adalah faktor emosional anak, kedua faktor ekonomi, ketiga faktor kurangnya dukungan sosial anak, keempat faktor pengasuhan bermasalah,” pungkas Diyah.

Bukan Kasus Tunggal

Diyah menambahkan, peristiwa seperti ini bukan pertama kali terjadi. Beberapa bulan sebelumnya, kasus serupa juga pernah ditangani di Jakarta Selatan.

“KPAI bersama KPAD Labuhan Batu Utara, anak ini (pelaku) ceria, biasa saja.

Jadi kami pernah menangani kasus MAS di Jaksel, kasusnya parisida membunuh bapak dan nenek ya hampir sama, anaknya ceria seperti anak lain,” kata Diyah.

Fakta ini menunjukkan bahwa pelaku parisida tidak selalu menunjukkan perilaku menyimpang secara kasat mata sebelum kejadian.

Sakit Hati yang Terpendam

Lebih lanjut, Diyah mengungkap temuan baru dari hasil pendampingan terhadap Al.

Usai peristiwa terjadi dan sebelum rekonstruksi dilakukan, Al menyampaikan curahan hatinya kepada pendamping.

Awalnya, beredar isu bahwa Al menusuk Faizah karena emosi sesaat setelah melihat kakaknya dimarahi pada Selasa malam.

Namun, hasil penelusuran KPAI menunjukkan motif tersebut jauh lebih dalam.

Membela Kakak dan Ayah

Menurut pengakuan Al, tindakan yang ia lakukan bukan semata-mata untuk membela kakaknya, tetapi juga ayahnya.

“Anak ini sebenarnya membela kakaknya, yang mungkin sering diiniin ibunya. Kemudian juga membela ayahnya.

Jadi yang kami dapatkan informasi, anak ini merasa tidak nyaman dengan perilaku ibunya yang kadang sering marah-marah kepada kakaknya dan ayahnya, terutama kakaknya,” ungkap Diyah.

Perasaan tidak nyaman itu perlahan berubah menjadi beban emosional yang terus menumpuk.

Dendam dan Luka Emosional

Kepada KPAD Medan, Al mengaku menyimpan rasa sakit hati terhadap sang ibu.

“Jadi lebih ke motif utama (pelaku membunuh) mungkin dendam atau sakit hati (kepada ibu),” ujar Diyah.

Rasa tersebut, menurut informasi yang dihimpun KPAI, dipicu oleh karakter Faizah yang kerap meluapkan emosi.

“Iya, informasi yang kami dapatkan juga demikian (si ibu sering temperamen),” imbuh Diyah.

Emosi Anak yang Tak Terkelola

KPAI menilai bahwa faktor emosional menjadi pemicu utama terjadinya parisida dalam kasus ini. Al dinilai belum mampu mengelola perasaannya secara matang.

“Emosional ini karena si anak belum bisa meregulasi kondisi emosinya.

Mungkin dia semacam protes melihat perilaku ibunya. Dia bingung ‘saya ingin membela tapi saya juga tidak terima dengan kondisi ini’,” kata Diyah.

Tragedi ini pun menjadi peringatan keras tentang pentingnya pengasuhan yang sehat, komunikasi keluarga, dan pendampingan emosional bagi anak-anak.

(*/ Tribun-medan.com)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.