Penulis DEDDI WIJAYA, S.H., M.H.
Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Pancasila Jakarta.
Globalisasi ekonomi telah mendorong intensitas transaksi lintas negara yang semakin tinggi. Investasi asing, perdagangan internasional, kontrak jasa profesional, hingga kerja sama bisnis strategis kini tidak lagi dibatasi oleh batas teritorial negara.
Namun, di balik peluang ekonomi tersebut, terdapat persoalan hukum yang tidak sederhana, terutama terkait kepastian hukum dalam kontrak internasional. Salah satu isu krusial yang kerap diabaikan namun berdampak besar adalah klausula choice of law.
Klausula choice of law merupakan kesepakatan para pihak untuk menentukan hukum yang mengatur kontrak dan menjadi dasar penyelesaian sengketa. Dalam doktrin hukum perdata internasional, klausula ini dipandang sebagai manifestasi asas kebebasan berkontrak atau party autonomy.
Asas ini memberikan ruang bagi para pihak untuk memilih hukum yang dianggap paling sesuai dengan kepentingan mereka. Namun dalam praktik, kebebasan tersebut kerap menimbulkan persoalan baru ketika tidak diimbangi dengan prinsip keadilan dan kepentingan nasional.
Di satu sisi, choice of law sering dipromosikan sebagai instrumen kepastian hukum. Dengan menentukan hukum yang berlaku sejak awal, para pihak diharapkan memiliki kejelasan mengenai hak dan kewajiban kontraktual.
Choice of law juga dipandang mampu mencegah forum shopping dan mempercepat proses penyelesaian sengketa. Namun di sisi lain, klausula ini berpotensi menjadi alat dominasi pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat, terutama dalam kontrak antara investor asing dan mitra domestik.
Dalam konteks Indonesia, asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata memang menjadi landasan utama dalam praktik kontrak.
Akan tetapi, kebebasan tersebut tidak bersifat absolut. Pengadilan Indonesia secara konsisten menegaskan bahwa pilihan hukum asing tidak dapat diterapkan apabila bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) dan aturan hukum yang bersifat memaksa (mandatory rules).
Sayangnya, batasan ini sering kali dipandang sebagai hambatan oleh pelaku usaha, bukan sebagai mekanisme perlindungan kepentingan nasional.
Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika klausula choice of law digunakan sebagai sarana penyelundupan hukum. Tidak jarang hukum asing dipilih semata-mata karena dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi, meskipun tidak memiliki hubungan substansial dengan kontrak.
Praktik semacam ini berpotensi merugikan pihak yang lebih lemah serta melemahkan posisi hukum nasional dalam hubungan kontraktual lintas negara.
Contoh nyata dapat dilihat dari beberapa sengketa kontrak yang melibatkan pihak asing dan badan hukum Indonesia, di mana klausula choice of law menunjuk hukum asing, tetapi kemudian tidak sepenuhnya diakui oleh pengadilan nasional.
Kasus pembatalan perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan menunjukkan bahwa hukum nasional tetap menjadi filter utama.
Meskipun para pihak telah menyepakati hukum asing sebagai hukum yang berlaku, pengadilan tetap menilai keberlakuan kontrak dari perspektif aturan imperatif nasional.
Kasus lain yang kerap muncul adalah sengketa penanaman modal dan kontrak kerja sama pertambangan atau infrastruktur, di mana investor asing mendorong penerapan hukum asing atau arbitrase internasional.
Dalam beberapa perkara, putusan arbitrase internasional menghadapi hambatan eksekusi di Indonesia karena dianggap bertentangan dengan ketertiban umum atau kepentingan nasional.
Kondisi ini menegaskan bahwa choice of law dan choice of forum tidak selalu menjamin kepastian hukum apabila tidak diselaraskan dengan hukum nasional.
Risiko hukum dari penerapan choice of law juga tidak dapat dipandang remeh. Perbedaan interpretasi hukum antarnegara dapat menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kontrak.
Selain itu, perubahan regulasi di negara yang hukumnya dipilih dapat secara langsung memengaruhi validitas dan pelaksanaan perjanjian. Dalam kondisi tertentu, pengadilan bahkan dapat mengesampingkan choice of law yang telah disepakati dan menerapkan hukum nasional, sehingga menggugurkan ekspektasi para pihak.
Lebih jauh, klausula choice of law juga menimbulkan persoalan keadilan kontraktual. Dalam banyak kasus, pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan akses terhadap konsultan hukum internasional lebih mudah mendikte pilihan hukum.
Akibatnya, pihak yang lebih lemah harus tunduk pada sistem hukum asing yang tidak mereka pahami sepenuhnya. Kondisi ini berpotensi mencederai prinsip keseimbangan dan keadilan dalam kontrak.
Oleh karena itu, sudah saatnya klausula choice of law tidak lagi dipandang sekadar sebagai klausula teknis, melainkan sebagai isu kebijakan hukum.
Negara perlu hadir melalui penguatan regulasi dan pedoman yang lebih jelas mengenai batasan penerapan choice of law dalam kontrak internasional.
Tanpa kerangka hukum yang tegas, asas kebebasan berkontrak justru dapat berubah menjadi alat legitimasi ketimpangan dan ketidakadilan.
Pada akhirnya, choice of law memang penting untuk menjamin kepastian dan efisiensi dalam kontrak internasional. Namun kebebasan memilih hukum harus dibatasi oleh itikad baik, keadilan, serta kepentingan nasional.
Tanpa keseimbangan tersebut, choice of law bukan menjadi solusi, melainkan sumber persoalan hukum baru dalam dinamika globalisasi ekonomi. (*/E88)