TRIBUNGORONTALO.COM – Sebuah video asusila yang melibatkan dua remaja di area wisata Tangga 2000, Kota Gorontalo, mendadak viral dan menghebohkan masyarakat.
Pihak kepolisian dari Polresta Gorontalo Kota merespons keresahan warga setelah potongan video tersebut tersebar luas di berbagai platform media sosial. Hasil investigasi mengungkap bahwa di balik tindakan tak senonoh tersebut, terdapat unsur manipulasi yang dilakukan oleh pria pemeran video viral itu.
Menurut Kasat Reskrim Polresta Gorontalo Kota, AKP Akmal Novian Reza, kejadian ini berlangsung pada Selasa (09/12/2025) siang.
Korban dalam perkara ini diketahui masih berstatus sebagai siswi di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Gorontalo. Sementara itu, pelaku yang berinisial R (19) kini telah ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasus pelanggaran perlindungan anak tersebut.
Hubungan antara korban dan tersangka RP ternyata sudah berlangsung selama kurang lebih tiga bulan sebelum peristiwa di Tangga 2000 itu terjadi.
AKP Akmal Novian Reza menjelaskan bahwa pihaknya telah mendalami motif di balik terjadinya tindakan asusila tersebut. Berdasarkan keterangan awal, tersangka menggunakan siasat lama yang kerap menjerat anak di bawah umur, yakni janji untuk menikahi.
"Tersangka memberikan harapan palsu kepada korban dengan menjanjikan sebuah pernikahan di masa depan agar korban bersedia menuruti keinginan asusilanya," ungkap AKP Akmal dalam konferensi pers yang digelar Polresta Gorontalo Kota pada Jumat (19/12/2025).
Kronologi Kejadian di Tangga 2000
Rentetan peristiwa dimulai ketika RP menjemput korban langsung dari lingkungan sekolahnya sekitar pukul 11.00 Wita.
Tanpa sepengetahuan orang tua maupun pihak sekolah, korban bersedia mengikuti ajakan pelaku untuk pergi jalan-jalan menggunakan sepeda motor.
Sebelum menuju lokasi utama, keduanya sempat singgah di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Gorontalo. Di sana, mereka membeli minuman dingin berupa es untuk dinikmati bersama sembari mencari tempat yang dianggap nyaman untuk mengobrol lebih jauh.
Setelah dari RTH, RP kemudian mengarahkan kendaraannya menuju kawasan wisata Tangga 2000 yang dikenal memiliki pemandangan langsung ke laut.
Di lokasi inilah, suasana yang semula hanya sekadar kencan biasa berubah menjadi tindak pidana asusila.
AKP Akmal menyebutkan bahwa setibanya di sana, RP mulai melancarkan aksi tidak pantas terhadap korban. Korban yang mulanya merasa ragu, akhirnya luluh setelah RP mengeluarkan janji-janji manis sebagai jaminan tanggung jawabnya.
Akal bulus digunakan oleh tersangka untuk meyakinkan korban bahwa hubungan mereka memiliki masa depan yang serius.
RP meyakinkan bahwa dirinya tidak akan meninggalkan korban jika terjadi konsekuensi medis atau sosial di kemudian hari akibat perbuatan tersebut.
Di bawah pengaruh janji tersebut, terjadilah hubungan layaknya pasangan suami istri di lokasi terbuka itu.
Malangnya, aksi mereka terekam oleh pihak lain dan akhirnya bocor ke media sosial.
Kepolisian saat ini telah menyita sejumlah barang bukti fisik untuk memperkuat tuntutan di persidangan nanti.
Barang-barang tersebut meliputi pakaian yang dikenakan korban dan tersangka saat kejadian, serta rekaman video yang menjadi dasar pelaporan.
Selain bukti fisik, penyidik juga telah mengantongi hasil visum et repertum dari tim medis serta keterangan dari beberapa saksi kunci. Seluruh elemen ini digunakan untuk menyusun berkas perkara yang kuat demi keadilan bagi korban yang masih di bawah umur.
Tersangka R kini harus menghadapi konsekuensi hukum yang sangat berat atas perbuatannya mengeksploitasi anak di bawah umur.
Polisi menjerat pemuda 19 tahun ini dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang memiliki ancaman pidana maksimal.
Secara spesifik, RP dikenakan Pasal 81 ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2016 yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak. Aturan ini merupakan penetapan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang memperketat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Berdasarkan regulasi tersebut, tersangka R terancam hukuman penjara dengan durasi yang tidak sebentar.
Hukuman minimal yang membayanginya adalah 5 tahun penjara, sementara hukuman maksimal bisa mencapai 15 tahun di balik jeruji besi.
Langkah tegas ini diambil pihak kepolisian sebagai bentuk komitmen dalam melindungi hak-hak anak di Gorontalo.
Selain itu, kasus ini diharapkan menjadi peringatan bagi masyarakat luas agar lebih waspada terhadap modus operandi serupa yang menyasar remaja.
Baca juga: Breaking News: Nama-nama 19 Camat Dilantik Bupati Gorontalo Sofyan Puhi
Ironi Kasus Serupa: Oknum Polisi Dipecat
Kasus asusila dengan modus janji pernikahan ternyata bukan kali ini saja menghebohkan publik Gorontalo. Belum lama ini, seorang oknum anggota Polri bernama Aksel Mopangga juga tersandung kasus serupa dengan konsekuensi yang lebih tragis bagi kariernya.
Aksel Mopangga secara resmi telah dijatuhi sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari institusi Kepolisian Daerah (Polda) Gorontalo. Pemecatan ini dilakukan setelah ia terbukti melanggar kode etik berat yang mencoreng nama baik kepolisian.
Kabid Humas Polda Gorontalo, Kombes Pol Desmont Harjendro, mengonfirmasi bahwa pemecatan tersebut adalah bentuk ketegasan pimpinan. Aksel tidak hanya kehilangan pekerjaannya, tetapi juga harus berhadapan dengan proses hukum pidana yang sedang berjalan.
Eks polisi muda ini terseret dalam pusaran kasus dugaan persetubuhan serta pemerasan terhadap seorang mahasiswi. Kasus ini bermula pada Juni 2025 lalu dan sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa maupun masyarakat umum.
Menurut pihak keluarga korban, Aksel diduga membujuk korban yang saat itu sedang kuliah di Makassar untuk pulang ke Gorontalo secara diam-diam. Di Gorontalo, korban tinggal satu rumah dengan pelaku dengan dalih akan segera dinikahi secara resmi.
Namun, janji tinggal janji; seiring berjalannya waktu, perlakuan Aksel terhadap korban berubah menjadi intimidasi. Selain dieksploitasi secara seksual, korban juga mengaku menjadi sasaran pemerasan secara ekonomi oleh oknum polisi tersebut.
Keluarga korban sempat berupaya menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan melalui jalur musyawarah. Sayangnya, iktikad baik tersebut tidak disambut baik oleh pelaku, yang justru cenderung menyalahkan posisi korban atas situasi yang terjadi.
Merasa tidak mendapatkan keadilan, keluarga korban akhirnya menempuh jalur hukum dengan melaporkan Aksel ke Propam Polda Gorontalo. Hasil visum dari RSUD Toto Kabila pun dilampirkan sebagai bukti pendukung adanya tindakan yang melanggar hukum.
Kombes Pol Desmont menegaskan bahwa meskipun Aksel memiliki hak untuk mengajukan banding atas putusan PTDH-nya, hal itu tidak akan menghentikan proses pidana. Hukum akan tetap ditegakkan seadil-adilnya tanpa memandang status sebelumnya sebagai anggota Polri.
Dua kasus yang terjadi dalam waktu berdekatan ini menjadi cerminan kelam mengenai betapa seringnya modus "janji nikah" digunakan untuk memanipulasi perempuan dan anak. Fenomena ini memerlukan perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintah daerah.
Kurangnya edukasi mengenai hak-hak reproduksi serta lemahnya pengawasan lingkungan menjadi faktor pendukung suburnya kasus asusila. Perlu adanya langkah preventif yang lebih masif untuk melindungi generasi muda dari bujuk rayu yang berujung pada tindak pidana.
Ke depannya, pihak kepolisian mengimbau para orang tua untuk lebih memperketat pengawasan terhadap pergaulan anak-anak mereka, terutama di luar jam sekolah. Komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak menjadi benteng utama dalam mencegah terjadinya eksploitasi seksual.
Kini, baik RP maupun Aksel Mopangga harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan hukum.
Publik berharap vonis yang dijatuhkan nantinya dapat memberikan rasa keadilan bagi para korban serta memberikan efek jera bagi pelaku lainnya.
(TribunGorontalo.com/*)