TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah meningkatnya risiko cuaca ekstrem dan ancaman siklon tropis yang kian nyata, Indonesia diingatkan akan celah besar dalam infrastruktur teknologinya.
Forum strategis yang digelar oleh Center for Strategic Development Studies (CSDS) dari Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) menyoroti absennya pusat data iklim nasional yang terdedikasi.
Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Erma Yuli Hastin, mengungkapkan bahwa kedaulatan data iklim Indonesia masih lemah karena belum didukung oleh infrastruktur pemodelan yang mumpuni.
“Indonesia sampai hari ini belum memiliki climate data center yang betul-betul didedikasikan untuk perubahan iklim, termasuk earth system model dan high performance computing yang memadai,” kata Erma dalam sebuah diskusi bertajuk 'Anomali Iklim Khatulistiwa, Membaca Data Siklon Tropis Senyar sebagai Peringatan Dini Nasional, Jumat (19/12/2025).
Ketiadaan pusat data ini memaksa Indonesia untuk terus bersandar pada model luar negeri.
Padahal, karakteristik wilayah kepulauan Indonesia membutuhkan akurasi tingkat tinggi yang hanya bisa dicapai dengan teknologi mandiri.
Baca juga: BMKG Pantau Bibit Siklon Tropis 93S, Hujan Lebat Berpotensi Guyur Bali, NTB, dan NTT
Menurut Erma, resolusi data yang ada saat ini belum cukup tajam untuk memetakan risiko hingga tingkat lokal.
“Untuk membaca dampak perubahan iklim secara presisi, kita membutuhkan data dengan resolusi tinggi, sampai satu kilometer,” ucapnya.
Diskusi tersebut juga membedah fenomena Siklon Tropis Senyar yang baru-baru ini menerjang Sumatera.
Meski model global berhasil memprediksi kedatangannya, dampaknya tetap melumpuhkan karena kombinasi faktor cuaca yang kompleks.
“Model global sudah bisa menangkap bahwa Senyar akan mendarat dengan peluang 90 sampai 100 persen,” jelas Erma.
Secara teknis, Senyar sebenarnya bukan termasuk kategori badai raksasa. Namun, statusnya sebagai badai tropis tetap mematikan karena mendarat di atas wilayah yang sudah jenuh air akibat hujan terus-menerus.
“Masalahnya, Senyar itu bahkan belum mencapai 100 kilometer per jam. Dia masih di kategori badai tropis pada saat mendarat,” kata Erma.
"Sudah terjadi hujan berhari-hari sebelumnya, sehingga ketika Senyar datang, dampaknya menjadi besar dan menyebar," imbuhnya.
Selain persoalan infrastruktur data di hulu, hambatan besar juga ditemukan di hilir, yakni penyampaian informasi ke masyarakat.
Direktur Eksekutif New Future Disaster Management Centre (NF-DMC), Rizkia Norinayanti, menilai koordinasi antarlembaga masih menjadi ganjalan serius.
“BMKG memberikan informasi peringatan dini, tapi tidak sampai ke masyarakat. Yang mengoperasionalkan informasi itu menjadi tindakan kesiapsiagaan adalah BNPB,” ucap Rizkia.
Rizkia menggarisbawahi bahwa informasi seringkali tertahan di level birokrasi dan gagal memicu aksi nyata di tingkat warga.
Terlebih, fenomena siklon tropis merupakan hal baru bagi masyarakat di wilayah khatulistiwa.
Siklon tropis adalah siklon yang sumbernya berada di daerah tropis dengan tekanna udara yang sangat rendah disertai angin kencang dan hujan, kadang disertai badai guntur.
“Kalau masyarakat tidak punya gambaran risikonya, peringatan tidak selalu diikuti perubahan perilaku,” pungkas Rizkia.