Legislator DPRD Luwu Timur Protes Tak Dilibatkan di Proyek Rp 200 Triliun
December 20, 2025 05:22 PM

MALILI, TRIBUN-TIMUR.COM - Polemik pemanfaatan lahan aset milik Pemerintah Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan untuk proyek Kawasan Industri Malili terus bergulir.

Sejumlah anggota DPRD mengaku tidak pernah dilibatkan secara kelembagaan dalam proses kerja sama antara Pemkab Luwu Timur dan investor PT Indonesia Huali Industry Park (IHIP).

IHIP merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSM) di Sulsel.

Disebut-sebut, nilai investasi itu seharusnya mencapai ratusan triliun rupiah.

Anggota DPRD Luwu Timur, HM Siddiq BM, menilai persoalan ini lebih dari kelalaian administratif.

Legislator Partai Nasdem itu menduga, ada kesengajaan untuk melewati fungsi pengawasan legislatif.

“Bukan terlewat, ada pihak yang sengaja melewatkan DPRD,” kata Siddiq kepada Tribun-Timur.com, menanggapi polemik sewa lahan tersebut, Sabtu (20/12/2025) sekitar pukul 10.39 Wita siang.

Menurut Siddiq, isu pemanfaatan lahan ini telah lama menjadi pembicaraan di ruang publik.

Baca juga: DPRD Luwu Timur Dinilai Lamban Bentuk Tim Audit Investigasi Sewa Lahan Pemkab - PT IHIP

Namun, ia menilai tidak ada respons serius dari institusi-institusi daerah di Luwu Timur.

“Sudah lama berpolemik, tapi tidak ada institusi di Lutim yang merespons. Saya hanya mendengar pihak Kejati Sulsel yang kayaknya mulai merespons, tapi sejauh mana prosesnya saya juga tidak tahu,” ujarnya.

Siddiq pun menyoal nilai sewa lahan yang disebut-sebut sangat rendah.

Kata dia, nilai sewa lahan sangat rendah  dibandingkan dengan nilai keekonomian lahan dan skala investasi yang akan masuk.

Ia membandingkan dengan kasus lain, di mana perusahaan swasta membayar ganti rugi tanah warga dengan nilai lebih tinggi.

“Ini yang jadi masalah karena sangat murah. Coba bandingkan dengan Kalla Energi yang hanya melintasi tanah warga saja dibayar Rp4 ribu per meter,” kata Siddiq.

Baca juga: IHIP Komitmen Dukung BNN, Bentuk Satgas Hingga Wajibkan Surat Bebas Narkoba ke Pelamar

Padahal, kata dia, investasi yang masuk melalui PT IHIP, yang dijalankan oleh anak perusahaan PT Huai Nickel Indonesia (HNI) diperkirakan bernilai lebih dari Rp200 triliun.

“Perhitungan nilai investasinya mencapai Rp200 triliun lebih,” tegasnya.

Anggota DPRD Sulsel, Muh Nur, mengakui jika DPRD Luwu Timur secara kelembagaan memang tidak dilibatkan dalam kerja sama pemanfaatan lahan aset daerah tersebut.

“Iye betul, DPRD secara kelembagaan tidak dilibatkan, dan itu juga diakui oleh Ketua DPRD saat RDP beberapa pekan lalu terkait isu kontrak lahan aset daerah bersama PT IHIP,” kata politisi yang akrab disapa Cicik itu.

Ia menyebut, fungsi pengawasan DPRD bukan tidak berjalan, namun DPRD Luwu Timur berada pada posisi kecolongan.

Politisi PDI-Perjuangan itu mengaku, posisi itu terjadi akibat minimnya informasi dari pihak eksekutif.

“Pengawasan DPRD tidak terlewat, mungkin bisa dikatakan DPRD Luwu Timur kecolongan,” ujarnya.

Menurut Cicik, sulit bagi DPRD menjalankan pengawasan jika pemerintah daerah tidak membuka secara transparan konsep perencanaan dan pengembangan Kawasan Industri Malili.

“Apa yang mau diawasi kalau pemerintah tidak transparan terhadap konsep perencanaan, termasuk pihak mana yang akan bekerja sama,” tegasnya.

Cicik menilai, keterlibatan lebih luas dari berbagai pihak, termasuk DPRD Sulsel, justru akan membawa dampak positif bagi tata kelola investasi di Luwu Timur.

“Semakin banyak pihak yang peduli, apalagi jika DPRD Sulsel memberi atensi politik, itu akan semakin bagus,” akunya.

Menurutnya, atensi tersebut akan mendorong pemerintah kabupaten lebih terbuka dan melakukan evaluasi kebijakan investasi.

Terutama mengingat nilai investasi PT IHIP yang disebut-sebut mencapai Rp200 triliun.

Ia juga mengungkapkan hingga kini DPRD Sulsel belum pernah bertemu langsung dengan Bupati Luwu Timur untuk membahas persoalan tersebut.

“Beberapa kesempatan selalu kami sampaikan agar melibatkan DPRD Luwu Timur. Tapi sampai sekarang kami belum pernah bertemu dengan Pak Bupati,” pungkasnya.

Berdasarkan dokumen resmi yang diperoleh Tribun, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur sebelumnya telah mengakhiri kerja sama pemanfaatan tanah Hak Pengelolaan (HPL) dengan PT Kawasan Anugerah Indonesia (KAI).

Pengakhiran itu dituangkan dalam Perjanjian Pengakhiran Kerja Sama yang ditandatangani pada 15 September 2025.

Objek kerja sama yang diakhiri mencakup lahan seluas sekitar 3.945.000 meter persegi atau 394,5 hektare di Desa Harapan, Kecamatan Malili.

Dalam perjanjian tersebut, PT KAI wajib mengembalikan penguasaan dan pemanfaatan lahan sepenuhnya kepada Pemkab Luwu Timur.

Namun, dokumen itu tidak memuat satu pun klausul terkait kerja sama baru dengan PT IHIP.

Termasuk membahas nilai sewa, jangka waktu pemanfaatan, maupun skema pembayaran.

Justru, pada dokumen terpisah berupa Surat Perintah Tugas Sekretariat Daerah, disebutkan agenda pendampingan Bupati Luwu Timur dalam rangka persiapan proyek strategis nasional di Kawasan Industri Malili yang akan digarap oleh PT IHIP.

DPRD Sulsel Kaget

DPRD Provinsi Sulawesi Selatan terkejut dengan skema kerja sama sewa lahan yang dilakukan Pemda Luwu Timur.

Sebab skema kerja sama sewa lahan antara Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dengan PT IHIP dilakukan tanpa melibatkan DPRD Luwu Timur.

Polemik itu mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi D DPRD Sulsel.

RDP itu dilakukan bersama Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dan sejumlah pihak terkait, digelar di Gedung DPRD Sulsel, Makassar, Kamis (18/12/2025).

Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Kadir Halid, secara terbuka menyatakan keheranannya karena kerja sama sewa lahan dengan pihak swasta tidak melibatkan lembaga legislatif daerah.

Padahal menurutnya, praktik tersebut tidak lazim dalam tata kelola pemerintahan.

“Terus terang kami kaget. Sepanjang saya empat periode di DPRD Provinsi Sulsel, tidak pernah ada kerja sama dengan pihak swasta yang tidak melibatkan DPRD,” tegas Kadir Halid.

Ia menegaskan, meski bentuk kerja sama disebut sebagai sewa lahan dan bukan pelepasan aset, DPRD tetap seharusnya dilibatkan sebagai bagian dari fungsi pengawasan.

“Contoh kerja sama hotel Rinra, kebun binatang di Benteng Somba Opu, semuanya melibatkan DPRD. Jadi ini kami nilai janggal,” ujarnya.

Selain soal prosedur, DPRD Sulsel juga menyoroti nilai sewa lahan yang dinilai terlalu rendah dibandingkan besarnya investasi yang masuk.

Isu ini sebelumnya dipertanyakan oleh anggota DPRD Sulsel asal Luwu Timur, Esra Lamban.

“Ini sangat tidak masuk akal. Investasi disebut mencapai ratusan triliun, tapi uang yang masuk ke daerah hanya sekitar Rp4 miliar. Tanah masyarakat saja di Desa Harapan bisa Rp400 ribu per meter,” kata Esra dalam forum RDP.

Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Luwu Timur, Ramadhan Pirade, menjelaskan penetapan nilai sewa merupakan hasil keputusan tim appraisal.

Ramadhan Pirade menganggap, kerja sama tersebut tidak melibatkan DPRD karena dianggap bukan pelepasan aset.

“Itu bukan pelepasan aset, hanya kerja sama sewa lahan. Berdasarkan ketentuan nilai di bawah Rp5 miliar, tidak wajib melibatkan DPRD,” ujar Ramadhan.

Namun pernyataan tersebut langsung ditegaskan kembali oleh Kadir Halid.

Kadir Halid menilai argumentasi tersebut tidak sejalan dengan praktik di tingkat provinsi.

“Di Sulsel, semua kerja sama dengan swasta selalu melibatkan DPRD. Itu prinsip pengawasan,” tandasnya.

Dalam RDP tersebut, DPRD Sulsel juga menyepakati langkah lanjutan dengan melakukan kunjungan ke Kementerian Kehutanan untuk menelusuri status lahan.

Upaya itu juga sekaligus berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk menelusuri keabsahan sertifikat lahan dimaksud.

RDP ini dipimpin oleh Kadir Halid dan Rahman, serta dihadiri perwakilan Pemprov Sulsel, jajaran Pemkab Luwu Timur, BPN Luwu Timur, manajemen PT Vale dan PT IHIP, Aliansi Masyarakat Luwu Timur, kelompok mahasiswa serta sejumlah anggota DPRD Sulsel. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.