BANGKAPOS.COM--Upaya penanggulangan bencana banjir di wilayah Aceh hingga sejumlah provinsi di Sumatra kembali menjadi sorotan publik.
Di tengah masih berlangsungnya pemulihan pascabencana, muncul polemik terkait pemanfaatan kayu gelondongan sisa banjir oleh masyarakat terdampak, yang memicu perdebatan luas di ruang publik dan media sosial.
Sorotan bermula dari pernyataan anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Komisi IV, Alex Indra Lukman.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Alex meminta masyarakat tidak memanfaatkan kayu gelondongan sisa banjir secara sembarangan, meski berada dalam kondisi sulit akibat bencana.
Alex menilai, praktik memanfaatkan kayu sisa banjir untuk kepentingan ekonomi maupun pembangunan rumah harus tetap mengacu pada regulasi yang berlaku.
Ia merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sebagai dasar hukum penanganan material sisa bencana.
“Hari ini kita melihat kayu berbagai jenis dan ukuran dijadikan barang bernilai ekonomis seperti papan dan sejenisnya. Ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut, karena penanganannya harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,” ujar Alex, Rabu (17/12/2025).
Pernyataan tersebut menuai beragam reaksi dari masyarakat.
Sebagian warganet menilai imbauan tersebut kurang empati terhadap kondisi warga terdampak yang kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan.
Namun, ada pula yang memahami kekhawatiran soal potensi pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan jika pemanfaatan kayu dilakukan tanpa pengawasan.
Menanggapi polemik tersebut, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi memberikan penjelasan resmi.
Dalam konferensi pers Perkembangan Penanggulangan Bencana Sumatra pada Jumat (19/12/2025), Prasetyo menegaskan bahwa pemerintah tidak melarang masyarakat memanfaatkan kayu sisa banjir.
Ia menjelaskan, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan surat edaran yang mengatur mekanisme pemanfaatan kayu sisa bencana, khususnya untuk keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi.
“Beberapa hari setelah kejadian bencana di tiga provinsi, Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terkait pemanfaatan kayu untuk kepentingan rehabilitasi, termasuk pembangunan hunian sementara dan hunian tetap,” kata Prasetyo.
Menurutnya, regulasi tersebut telah disosialisasikan kepada pemerintah daerah sebagai pedoman agar pemanfaatan kayu tetap legal, tertib, dan tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
Prasetyo menegaskan, masyarakat tetap diperbolehkan menggunakan kayu sisa banjir, dengan catatan harus dikoordinasikan melalui pemerintah daerah setempat.
“Kalau masyarakat ingin memanfaatkan, tentu harus dikoordinasikan dengan pemerintah terkait di setiap jenjangnya,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya turut menyampaikan pandangannya.
Ia menyoroti peran influencer dan tokoh publik yang dinilai kerap menggiring opini seolah pemerintah tidak bekerja dalam penanganan bencana.
Teddy mengingatkan agar pengaruh di media sosial digunakan secara bijak dan konstruktif, terutama di tengah situasi darurat yang membutuhkan kerja sama semua pihak.
“Kalau ada saudara-saudara yang dianugerahi Tuhan pengaruh, entah kecil atau besar, dan punya kemampuan berbicara panjang lebar, gunakanlah dengan bijak. Jangan justru memperumit keadaan atau menggiring seolah pemerintah dan petugas di lapangan tidak bekerja,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa penanganan bencana membutuhkan sinergi, energi positif, dan dukungan moril bagi masyarakat terdampak.
“Kalau niat membantu, ayo sama-sama. Sampaikan kekurangan di lapangan secara baik, hibur warga, timbulkan optimisme, senyum, dan keyakinan. Itu yang saat ini paling dibutuhkan,” tutur Teddy.
Polemik pemanfaatan kayu sisa banjir ini mencerminkan kompleksitas penanganan bencana di Indonesia.
Di satu sisi, negara dituntut menegakkan aturan dan menjaga lingkungan.
Di sisi lain, empati terhadap warga terdampak yang berjuang bangkit dari keterpurukan juga menjadi kebutuhan mendesak.
Pemerintah berharap regulasi yang ada dapat menjadi jalan tengah, agar pemanfaatan sumber daya pascabencana tetap berpihak pada kemanusiaan tanpa mengabaikan aspek hukum dan keberlanjutan lingkungan.
Tribunnews.com/TribunnewsMaker.com/Febriana)