TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Cabang DIY menggelar skrining atau deteksi dini penyakit paru di Kantor Kalurahan Tamanmartani, Kalasan, Kabupaten Sleman, Sabtu (20/12/2025).
Ketua PDPI Cabang DIY, dr. Megantara menyebut, sebanyak 80 sampai 85 persen pasien paru yang datang berobat ke fasilitas layanan kesehatan sudah dalam kondisi stadium lanjut yakni stadium 3 dan 4.
Bahkan, hampir tidak pernah ditemukan pasien kanker paru pada stadium awal.
Dia mengungkapkan bahwa selama praktiknya di Jogja, ia belum pernah menangani pasien kanker paru stadium 1 maupun stadium 2.
Dari ribuan kasus yang ditangani, mayoritas pasien datang saat kondisi sudah berat.
“Kalau dihitung, sekitar 85 persen pasien kanker paru yang kami temui sudah stadium 4. Sisanya stadium 3. Stadium 1 dan 2 itu praktis tidak pernah,” ujarnya dalam peluncuran program kader sedulur paru atau sehatkan dunia lindungi rakyat dari gangguan paru, Sabtu siang.
Kondisi tersebut berdampak langsung pada peluang kesembuhan pasien. Menurut dr. Megantara, kanker paru stadium lanjut secara medis hampir tidak memiliki harapan sembuh.
“Kalau keluarga bertanya peluang sembuhnya, secara teori jawabannya nol. Karena memang sudah terlambat,” katanya.
Situasi serupa juga terjadi pada penyakit paru lainnya, seperti tuberkulosis (TB) dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Pasien TB kerap datang dalam kondisi sangat berat, kurus, batuk darah, dengan hasil rontgen paru yang sudah parah.
Sementara pasien PPOK, yang sebagian besar memiliki riwayat merokok, sering kali datang ketika sudah kesulitan berjalan dan sesak napas saat duduk.
Menurutnya, persoalan utama bukan semata pada pengobatan, melainkan keterlambatan deteksi. Persepsi masyarakat terhadap keluhan paru yang beragam membuat banyak orang baru berobat saat kondisi sudah parah.
“Kalau menunggu keluhan, hasilnya macam-macam. Karena itu kita perlu skrining, bukan menunggu pasien datang,” ujarnya.
Untuk itu pihaknya menggandeng kader TP PKK DIY dalam program Sedulur Paru. Melalui program itu kader TP PKK diajarkan untuk melakukan skrining kepada masyarakat terutama kelompok berisiko, meski tanpa gejala.
Dalam sistem JKN sendiri terdapat 14 modul skrining penyakit, tiga di antaranya terkait paru, yakni TB, PPOK, dan kanker paru.
Hasil uji coba skrining di beberapa wilayah menunjukkan, sekitar 15–20 persen warga yang diperiksa tanpa gejala ternyata memiliki risiko penyakit paru dan perlu tindak lanjut medis.
Program ini melibatkan kader PKK karena dinilai paling dekat dengan keluarga dan masyarakat. Selain memiliki jaringan hingga tingkat rumah tangga, PKK juga dinilai strategis dalam edukasi dan pendampingan kesehatan.
Pada tahap awal, skrining dilakukan terhadap sekitar 400 warga dan akan diperluas ke kabupaten lain di DIY.
Warga yang terdeteksi berisiko akan dirujuk ke Puskesmas terdekat untuk pemeriksaan lanjutan, baik menggunakan JKN maupun secara mandiri.
Kepala Bidang Kesehatan Keluarga dan Lingkungan Pokja IV TP PKK DIY, drg. Inni Hikmatin menyatakan, program Sedulur Paru merupakan bagian dari kolaborasi berkelanjutan untuk mengatasi masalah penyakit paru, tidak hanya TB, tetapi juga PPOK dan kanker paru.
“PKK sangat strategis karena jangkauannya dari pusat sampai keluarga. Deteksi dini seperti ini penting agar masalah paru tidak terus ditemukan dalam kondisi terlambat,” ujarnya.