TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Puluhan anak-anak didampingi orangtua menghabiskan waktu lebih dari tiga jam tanpa gadget di Sanggar Kinanti Minggir, Sleman, Yogyakarta, pada Sabtu (20/12/2025).
Mereka larut dalam keceriaan di Joga Mendongeng, sebuah kegiatan berbagi cerita untuk anak dan keluarga yang bertujuan melestarikan budaya dongeng sebagai media pendidikan karakter.
Meski digelar sederhana, namun tidak ada kesan membosankan. Di sebuah sanggar yang baru diresmikan, anak-anak antusias mewarnai, membuat gantungan kunci dan mendengarkan beragam dongeng.
Di akhir setiap dongeng, ada kuis menghibur yang memaksa anak lebih fokus dan berlomba mendengar. Interaksi sosial tumbuh secara alami.
"Ya beginilah, meski sederhana kami mencoba membangun interaksi sosial yang riil," kata Inisiator Jogja Mendongeng, Diaz Adityo.
Tahun ini, Jogja Mendongeng memasuki tahun ketiga. Jika dua tahun sebelumnya selalu digelar di Institut Français Indonesia-Lembaga Indonesia Perancis (IFI-LIP) Sagan, Yogyakarta, tahun ketiga ini berbeda. Kegiatan Jogja Mendongeng dibawa jauh dari pusat keramaian kota, yaitu di Minggir, sebuah wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo dan dekat dengan Magelang.
Menurut Diaz, selain gotong-royong semangat kegiatan ini adalah berbagi dan kolaborasi. Itu alasan utama mengapa pelaksanaan di tahun ketiga memilih di Minggir. Di tempat ini, Jogja Mendongeng berkolaborasi dengan Sanggar Kinanti, Sanggar Wiwitan dan Jieun Lab.
Mengusung tema "Gugur Gunung" yang menjadi simbol kebersamaan, gotong-royong dan saling membantu di dalam masyarakat. Tema tersebut bagian dari empati sekaligus harapan bagi wilayah yang sedang menghadapi bencana.
"Ini sebagai respons kami terhadap keadaan saat ini. Kami ingin (tema gugur gunung) sebagai bentuk kepedulian, empati kepada teman-teman yang kena bencana, sehingga menyelenggarakan (acara ini) sederhana," ujarnya.
Jogja mendongeng sebagai laboratorium eksperimen bagi para pendongeng untuk mengembangkan karya dan berkreasi. Karena itu, pendongeng yang tampil di acara ini memiliki ciri dan keunikan masing-masing. Misalnya, Sanggar Wiwitan dengan pendekatan dongeng yang khas, mengaitkan cerita alam, berupa tiga ekor ular dan pemburu dengan nilai-nilai kearifan lokal. Menggunakan pendekatan holistik, dongeng bukan hanya sebagai sarana hiburan, namun sarana edukasi.
Berikutnya, Kak Puan dari Jieun Lab yang membawakan dongeng bertema alam dan tanaman. Anak-anak yang duduk melingkar diajak ikut membayangkan, bagaimana tanaman membantu kehidupan manusia. Puan juga memadukan sains ke dalam dongengnya. Kemudian ada juga kak Lita pendongeng sekaligus pegiat literasi.
"Jadi ini eksperimentasi kami terhadap dongeng. Bahwa dongeng tidak sekedar haha-hiihi tapi mempunyai muatan yang bisa diserap baik, terutama anak-anak," timpal Rangga Dwi A, yang bersama Diaz sebagai inisiator dari Jogja Mendongeng.
Eksperimen dongeng ini diharapkan mampu membantu menumbuhkan minat anak, bahwa dongeng tidak monoton. Sekaligus mengasah kreatifitas dengan cara dongengnya sendiri.
Melalui dongeng, anak-anak diajak untuk menyelami hangatnya interaksi sosial secara ril. Tanpa gadget. Menurut Rangga, melalui kegiatan ini pihaknya ingin mengajak anak-anak untuk bernafas tenang, menikmati kebersamaan dengan sesamanya, yang di kota besar, hal ini sangat sulit dilakukan.
"Dan ternyata bisa kok, anak anak fokus, tanpa gadget," kata dia.(*)