Sejarah GPIB Penabur, Gereja Pertama di Solo, Ada Kesamaan dengan Keraton, Lonceng Diburu Kolektor
December 21, 2025 11:38 AM

TRIBUNTRENDS.COM - Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Penabur yang berdiri di kawasan Gladak, tepat di pertemuan dua ruas jalan utama Kota Solo, Jalan Slamet Riyadi dan Jalan Jenderal Sudirman, menjadi salah satu bangunan yang merekam perjalanan panjang Kota Bengawan.

Keberadaannya bukan tanpa alasan disebut bersejarah. Gereja ini tercatat sebagai gereja pertama yang dibangun di Kota Solo, sekaligus saksi bisu berbagai perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi sejak era kerajaan hingga masa kemerdekaan Republik Indonesia.

Jejak usia bangunan tersebut dapat dilihat dari sebuah prasasti di sisi selatan gedung utama gereja.

Pada prasasti itu tertulis kalimat berbahasa Latin, “Aedificatum 1832”, yang berarti didirikan pada tahun 1832.

Penanda ini menguatkan posisi GPIB Penabur sebagai salah satu bangunan tertua di jantung Kota Solo.

Meski telah berdiri hampir dua abad dan mengalami sejumlah perubahan fisik, gereja dengan jumlah jemaat sekitar 150 kepala keluarga atau kurang lebih 450 jemaat itu baru resmi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada akhir tahun 2024.

Baca juga: 5 Wisata Ramah Anak di Solo, Destinasi Liburan Akhir Tahun, Ada Solo Safari hingga Playground Gratis

Penetapan tersebut terbilang terlambat jika melihat nilai sejarah yang melekat pada bangunan ini.

Selama bertahun-tahun, GPIB Penabur menyimpan banyak memori penting perjalanan Kota Solo.

Mulai dari masa kekuasaan kerajaan, kolonialisme, hingga lahirnya Republik Indonesia, bangunan ini tetap berdiri dan menjadi bagian dari dinamika kota.

Pendeta GPIB Penabur Kota Solo, Handri Yonathan, menjelaskan bahwa berdirinya gereja tersebut memiliki keterkaitan erat dengan peristiwa besar dalam sejarah Jawa, yakni berakhirnya Perang Diponegoro.

Momentum tersebut sekaligus menjadi titik balik bagi komunitas Kristen di Solo.

"Gereja ini dibangun persis setelah perang Diponegoro selesai 1830. Itulah kemudian kenapa ornag-orang kristen yang tadinya ibadah di dalam benteng keluar lalu membangun Gereja," ungkap Handri saat ditemui TribunSolo.com, Rabu (17/12/2025).

Berakhirnya Perang Jawa juga menandai keluarnya warga Eropa dari dalam benteng, sekaligus membuka ruang interaksi yang lebih luas dengan masyarakat di luar tembok pertahanan.

Dalam konteks inilah, GPIB Penabur hadir bukan sekadar sebagai tempat ibadah, tetapi juga simbol keterbukaan dan perubahan sosial pada masa itu.

Lebih lanjut, Handri menyebutkan bahwa pembangunan Gedung GPIB Penabur tidak terlepas dari peran pemerintah setempat pada zamannya.

Campur tangan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan gereja ini sejak awal telah menjadi bagian dari tata kota dan kehidupan sosial masyarakat Solo.

Pemerintah setempat yang dimaksud kala itu adalah Keraton Kasunanan Solo.

Dimana pembangunan GPIB Penabur pada pertengahan abad ke-19 itu mengikuti filosofi Jawa yang dianut oleh Kerajaan.

Dimana pembangunan tempat ibadah umat kristiani itu segaris lurus dengan keberadaan Masjid Agung Keraton Solo dan Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan.

Seperti di Yogyakarta, Handri menyebut bahwa Keraton Kasunanan Solo memiliki garis tak kasat mata atau yang juga disebut Sumbu Imajiner dari Pantai Selatan Jawa, Keraton Solo, Tugu Pemandengan di depan Balai Kota saat ini hingga ke Gunung Lawu.

Dan pembangunan rumah ibadah kala itu diperintahkan untuk didirikan di sisi kiri atau barat sumbu imaginer tersebut.

"Ini hasil informasi saat saya menulis sejarahnya ketika saya wawancara dengan Gusti Dipo. Itu kalau ada sumbu imajiner Keraton dari Selatan ke Utara, itu gereja bersama dengan Masjid Agung dengan Santo Antonius itu berada di sebelah kiri sumbu imajiner itu dari Keraton, tugu pemandengan sampai di Gunung Lawu," tutur Handri.

Pembangunan tersebut diyakini sebagai bentuk implementasi filosofi atau ajaran Islam yakni Habluminallah atau hubungan manusia dengan Tuhan.

Posisi GPIB Penabur di Solo pun disebut Handri juga seperti yang ada di Yogyakarta.

Baca juga: Dapat Order Makanan, Driver Ojol Solo Dibayar Surat, Pelaku Didatangi Pihak Kelurahan, Kata Keluarga

GEREJA KRISTEN - Gereja Kristen di Indonesia Barat (GPIB) Penabur, gereja pertama yang didirikan di Kota Solo pada tahun 1832. (TribunSolo/Andreas Chris)

"Jadi rumah-rumah ibadah itu ada di sisi sebelah kiri sumbu. Menurut Gusti Dipo itu maknanya adalah Habluminallah (hubungan dengan Tuhan). Sementara di sisi kanan sumbu imajiner itu ada benteng, barak tentara, kemudian bioskop dan pasar Gede itu menunjukkan Habluminanas (hubungan antar manusia),"

"Nah, menariknya adalah tata ruangnya itu sama persis dengan di Yogyakarta. Jadi keraton, ada sumbu imajiner ke tugu Yogya sampai ke Gunung Merapi itu sama. Gereja GPIB di Yogya posisinya sama persis seperti GPIB di Surakarta. Jadi filosofi Belanda, filosofi Jawa, filosofi Islam itu bercampur menjadi satu," lanjut dia.

Selain terkait tata letak pembangunan gedung gereja, Handri juga menerangkan bahwa masih ada sejumlah hubungan khusus antara GPIB Penabur dengan Keraton Solo.

Salah satu yang masih bisa dilihat sampai saat ini adalah keberadaan lonceng gereja yang diletakkan tepat di atas pintu masuk utama GPIB Penabur.

Menurut Handri, lonceng yang berada di GPIB Penabur sejak didirikan tersebut kembar atau persis seperti yang dimiliki oleh Keraton Solo. 

Sebagai informasi, lonceng gereja tersebut dibunyikan sebagai pertanda ibadah akan digelar di gereja bagi jemaat yang bertempat tinggal di sekitarnya.

"Lonceng, dulu waktu gereja ini dibangun. Belanda itu membuat 2 lonceng, satu di gereja, satunya di keraton," kata dia.

Fakta menariknya, lonceng yang dimiliki oleh GPIB Penabur acap kali ditawar oleh kolektor baik dalam negeri maupun mancanegara. Meski berbahan dasar besi tua, namun menurut Handri dari penilaian para kolektor lonceng tersebut bernilai tinggi karena usianya.

"Sudah banyak yang menawar mau beli loncengnya dengan harga yang nggak masuk akal. Saya mendapat informasi dari orang-orang tua di Gereja, pada tahun 1980-an ada yang mau menawar dengan diganti lonceng baru ditambah uang Rp 100 juta," urainya.

Selain lonceng, pembangunan GPIB Penabur meski bergaya gereja klasik ala Belanda. Handri juga menduga ada sentuhan Jawa di dalamnya seperti interior pintu.

"Dugaan saya adalah interior seperti pintu dan engsel, ini yang menjelaskan ke saya adalah orang arsitektur dimana engsel pintunya itu ditanam di tembok. Gaya seperti ini katanya sudah tidak digunakan lagi untuk bangunan modern seperti sekarang," pungkasnya.

(TribunTrends/TribunSolo)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.